28.4.09

Mawar Melati Semua Indah


Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
***************************************************************************************************


MAWAR MELATI SEMUA INDAH
Oleh: S. Gegge Mappangewa

NANDA meraih pulpen. Perih mengikuti jejak cerita yang akan digoreskannya. Sedih, lelah! Membuatnya tak bisa menggoreskan satu kata pun. Air matanya luruh tiba-tiba, saat karang hati yang pernah dibiarkan terhempas badai apapun, tumbang akhirnya. Dia pun mengalah! Melangkah menemui ibunya, yang memang menginginkan kekalahan itu.
“Inikah yang ibu inginkan?” ucapnya sambil mengibaskan rambut hitamnya.
Mata wanita yang dipanggilnya ibu, berbinar sudah. Tidak lagi basah! Juga tak ada lagi kalimat badai yang keluar dari bibirnya.
Nanda ingin menangis, tapi tetap dipaksa menarik dua sudut bibirnya, minim sekali senyum itu, seminim busana yang kini dipakainya. Di balik senyum itu tersimpan dendam. Lalu dengan langkah dibikin menggoda, dia melenggang di depan ibunya.
“Aku minta doa restu ibu,” penuh kemunafikan dia mengucap kata itu.
Teringat jilbab lebar yang pernah menutupi auratnya, dia ingin menangis. Sangat ingin! Namun lebih ingin lagi, dia ingin membahagiakan ibunya, menuruti keinginannya untuk menjadi bintang idola remaja.
Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
“Ini bukan untuk ibu, Nanda. Apa kamu nggak sakit hati pada ayah yang meninggalkanmu? Kamu bisa saja bertahan dengan kesabaranmu, tapi tolong balaskan dendam ibu. Membuat lelaki bejat itu kembali dan mengemis di rumah ini.”
Nanda ingin menutup telinga, tapi dipilihnya berlaku manis. Menurutnya, ibu tak salah menaruh dendam pada ayah yang menikah lagi. Tapi yang membuatnya tak mengerti, meski harus diterima juga, permintaan ibunya yang menyuruhnya menjadi model.
Kebanggaan ibunya dulu, pada Nanda yang anggun dengan jilbabnya, pada Nanda yang sopan langkahnya, kini pudar. Bahkan profesi Nanda sebagai penulis fiksi, tak dipandangnya. Sebelah mata pun tidak!
“Sudah berapa tahun kamu jadi penulis, siapa yang memujimu? Kamu hanya pemain di balik layar. Kamu cantik, pintar. Anugerah Tuhan jangan disia-siakan!”
Dulu, saat kalimat itu terlontar untuknya, dia masih bisa berkilah, membela diri bahkan tak rela dirinya dibanding-bandingkan dengan Kak Dira, hanya karena profesi.
“Sebelum Kak Dira jadi model, aku nggak pernah merasa dinomorduakan. Tapi kenapa sekarang ibu perlakukan untukku…”
“Ibu ingin melihat kamu sukses seperti kakakmu,”
“Dengan memaksaku? Jilbabku yang ibu kagumi dulu pun ingin ibu lepas paksa dari tubuhku,” setengah menangis dia mengucap kalimatnya.
Tapi ibunya tetap pada pendiriannya. Nanda mencoba cara lain. Banyak diam, bahkan menghindar dari ibunya hingga berkesan perang dingin. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Nanda bahkan terusir dari rumah jika tetap mempertahankan prinsip. Bukan tak ada jalan lain, tapi Nanda merasa jika menuruti keinginan ibunya adalah jalan terbaik saat ini.
***
“Jilbaber kita berganti bikini,”
Sungguh! Gendang telinganya terasa pecah mendengar kalimat itu. Dia tetap melangkah, menelusuri koridor kampus yang penghuninya melayangkan mata ke arahnya. Dia memaksa tersenyum, menganggap koridor kampus sebagai cat walk yang akan ditempatinya melenggang saat jadi model kelak.
“Nanda?” suara tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu, milik Fatah.
Nanda berhenti sejenak, menatap ke arah Fatah yang langsung tertunduk menerima tatapannya. Ini yang pertama kalinya dia menatap lama ke wajah Fatah. Sebelumnya, dia lebih banyak mendengar suaranya dari balik hijab mesjid. Kalaupun bertemu, tidak ‘sedekat’ ini.
“Jenggoter kita patah hati, nih!” teriak mahasiswa lain yang sedang melihat Nanda dan Fatah dalam kebekuan.
Nanda ingin bicara, tapi tak tahu harus mengucap apa. Fatah yang pergi darinya pun, tak mampu ditahan langkahnya. Kali ini dia menangis. Merasa kehilangan Fatah, teman setia di aktivis dakwah.
Sebenarnya Nanda tahu apa yang akan terjadi jika dia menuruti keinginan ibunya. Bahkan keberaniannya datang ke kampus dengan pakaian minim, semata karena ingin ‘uji nyali’ sekaligus membiasakan diri tampail funky.
Nanda telah membulatkan tekad untuk menjadi model! Di balik tekad itu, dia punya rencana tersendiri untuk ibunya. Mungkin semacam dendam tapi itu terpaksa dilakukan setelah tersiksa oleh paksaan dan amarah ibunya.
Padahal dia boleh saja tak serius di audisi model yang diikutinya kemarin, tapi demi dendam itu dia berusaha menjadi yang terbaik. Hasilnya tentu saja menggembirakan, buat ibunya! Meski buat dirinya sangat menyakitkan. Nanda terpilih sebagai nominasi model yang akan masuk karantina dan dibimbing ke jalan glamour.
Nanda menangis saat ibunya memberinya senyum bangga dengan prestasi yang diraihnya. Sekian lama hidup dengan ibunya, tanpa ayah, bahkan tanpa materi berlebih, namun Nanda bahagia. Tapi kini…? Keberhasilan Dira menjadi model, bukannya membuat ibunya puas. Padahal cari apa lagi? Rumah sederhana yang dulu ditempati hidup kekurangan, kini telah ‘disulap’ Dira menjadi istana. Bahkan usaha jahitan telah berubah menjadi konveksi besar. Puas tetap tak teraih. Nanda jadi korban, menggadai iman demi keinginan ibunya.
***
Nanda tahu dendam itu dosa, apalagi jika rasa itu untuk orang yang telah melahirkannya. Tapi Nanda telah meniatkannya sejak dia luluh untuk meluruhkan jilbab dari tubuhnya. Baginya, bayaran perih hati saat dia terpaksa melepas jilbab, haruslah setimpal. Paling tidak memberi teguran pada ibunya yang materialis.
Popularitas di tangan kini. Model agency tempatnya terdidik, bukan hanya memilihnya sebagai juara kedua, namun juga sebagai pemenang favorit pilihan penggemar. Tapi sedikit pun Nanda tak berbangga, bencinya malah semakin menjadi.
Dan benci pun membuncah kini. Saat wajahnya telah terpampang di lembaran majalah remaja sebagai idola, pada hampir tiap sudut kota di papan iklan yang dibintanginya. Apalagi di televisi, hampir semua peran sinetron dilakoninya. Seperti niatnya dari awal, saat namanya telah melambung dan terikat perjanjian kontrak Production House, dia pun kembali ke habitat semula, sebagai jilbaber!
“Kamu gila, Nanda! Bukankah kamu telah terikat kontrak dengan iklan shampo, gimana surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani dengan rumah produksi, peran kamu di sinetron sebagai gadis funky, tanpa jilbab! ” ibunya panik.
“Tapi perjanjian antara ibu dan Nanda, cuma sebatas jadi model…”
Kalimat Nanda terpotong oleh tamparan keras ibunya.
“Jangan anggap sepele! Rumah produksi bisa saja nuntut kamu miliyaran,”
“Kan ada denda kurungan, itu jika ibu tak mau merelakan harta yang ibu peroleh dari Dira, untuk kebebasan Nanda.”
Ibunya memelas, memaksa, juga menampar lagi. Tapi Nanda bergeming. Bahkan mengadakan jumpa pers tentang keputusannya meninggalkan dunia selebritis.
Bukan tak ada perih. Iba telah berubah menjadi ujung pedang yang mengiris-iris saat rumah, mobil dan usaha konveksi ibunya tersegel demi membayar denda pelanggaran surat perjanjiannya dengan rumah produksi. Iba bukan karena tak punya apa-apa lagi, tapi karena ibunya yang tiba-tiba shock, tak kuat menerima kenyataan yang mendadak berubah arah.
“Kamu nggak punya perasaan!” cecar Dira. “Bukan begini caranya membalas sakit hati pada ibu. Sebesar apa pun salahnya, apa susahnya melupakan, memaafkan. Atau karena jiwa kecilmu tak mampu mengingat perjuangan ibu menghidupimu tanpa ayah?
Salahkah dia punya mimpi setelah tidurnya tak kau nyenyakkan dengan tangismu di tengah malam? Minta disusui, digantikan popok!”
Nanda diam. Ujung jilbabnya telah basah air mata. Sementara ibunya terkulai lemas berjuntaian selang infus.
“Sebenarnya bukan saat kamu memilih untuk jadi model, kamu harus melepas jilbab. Tapi saat kamu membangun kebencian pada ibu, di situlah jilbabmu tak pernah pantas! Nanda, bukan kamu yang harus memberi teguran pada ibu, tapi Tuhan!”
Mendengar Dira mengucap kata Tuhan, sesal semakin menyiksa. Sedikit pun dia tak pernah meminta persetujuan-Nya lewat istikharah, saat dia memilih menjadi model. Begitu juga saat melepaskan bencinya lewat dendam, tak pernah sekali pun dia meminta petunjuk lewat doa, dia bertindak sendiri!
“Maafkan Nanda, Bu!”
Tubuh ibunya yeng terkulai, dipeluk lekat. Dibasahi dengan air mata penyesalan. Tubuh itu masih juga bisu, mendekati beku.
“Permisi!”
Pelukan Nanda terlepas. Matanya yang beralih ke asal suara membuat detak jantungnya berirama keras. Dia ingin bicara, menjelaskan pada petugas kepolisian yang datang, jika utangnya pada rumah produksi telah lunas dari hasil pelelangan harta ibunya, tapi mata petugas itu menatap tajam ke arah Dira yang membalas tatapan itu dengan gugup.
“Bisa ikut kami ke kantor?”
Dira tampak tak bisa mengelak. Seolah tahu jika dirinya bersalah. Nanda bisu, bingung, tak mengerti dengan pemandangan yang kini disaksikannya.
“Kak Dira!” desisnya tapi tak dipeduli.
Nanda ingin mengikuti langkah Dira yang dikawal petugas kepolisian, tapi ibunya yang mulai menggerakkan jari, setelah seharian hilang dari kesan kehidupan, memaksanya tinggal dan menemani ibunya.
“Maafkan Nanda, Bu! Nanda menyesal. Aku keterlaluan! Ibu mau memaafkanku, kan?”
Pejaman mata ibunya terbuka sejenak lalu tertutup lagi. Dia ingin membuka mata untuk Nanda, tapi terlalu berat. Kelopaknya menyimpan tangis. Korneanya merindukan sosok Nanda yang anggun dengan jilbabnya. Tapi rindu itu tertahan oleh sesal yang telah membedakan kedua puterinya, hanya karena profesi. Kelopak basah kemudian! Jemarinya mengenggam jari Nanda yang menjabatnya. Erat sekali!
“Nanda, Ibu yang salah…” serangkai kalimat terucap akhirnya.
Nanda menggeleng. Tapi ibunya membuka mata, menatap layu pada Nanda yang masih dibasahi tangis. Tatapan yang meminta Nanda menyerahkan semua kesalahan padanya. Baginya, tak cukup dengan sesal. Harta dan dendam pada suaminya telah membuatnya berpaling dari Tuhan, bahkan memaksa puterinya merintis jalan setapak, di antara duri. Kenyataan kini membuatnya sadar, mengingat kematian yang sekian lama luput dari ingatannya.
“Dira ke mana?”
Bergetar bibir Nanda menerima pertanyaan itu. Tangisnya terhenti, berganti kemirisan. Tentu saja tak tepat menceritakan apa yang baru saja terjadi pada Dira, meski sebenarnya dia pun tak tahu apa yang membuat Dira dijemput petugas kepolisian.
“Kak Dira ada syuting katanya,”
“Ibu ingin memeluknya. Ibu rindu,” katanya sambil meraih remote tv dan meng-on-kan.
Wajah Dira memang ada di layar kaca, tapi tak seperti biasanya. Kali ini wajahnya hadir di acara infotainmen dan menampilkan sosoknya sebagai tersangka pengedar dan pengguna drugs.
Mata Nanda tak betah menatap layar tv. Tatapnya beralih ke arah ibunya. Dia takut, akan terjadi apa-apa pada ibunya menyaksikan kenyataan baru, yang jauh lebih pahit.
“Ibu sedih. Perih! Tapi tak rapuh. Kuharap Dira bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya, seperti ibu yang kini tak bisa membedakan posisi kalian, hanya karena warna …”
Nanda melabuhkan peluknya, menumpahkan tangis di tubuh ibunya yang berusaha setegar mungkin. Dalam pelukan itu, meski perih yang akan mengikuti jejak goresan penanya, dia tetap tak sabar ingin meraih pulpen, lalu bercerita panjang.
Kutulis kisahku, pada karang dengan jari telanjang! batinnya membayangkan kalimat pembuka cerpennya, setelah sekian lama tak menulis.
***






lanjutan cerita......

SIMPAN UNTUKMU SENDIRI


SIMPAN UNTUKMU SENDIRI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SETIAP ke rumah Andien, benakku selalu dilumuti tanya. Tanya yang kusimpan sendiri karena tak ingin, juga takut jika setiap pertanyaanku berkesan menyelidik. Barang-barang mewah, foto keluarga, dan juga rumah megah, seolah sebuah jejak sidik masa lalu Andien.
Andien yang di sekolah periang, seolah tanpa beban apa pun, tapi setiap kudapatkan di rumah, dia tak lebih hanyalah mayat hidup. Kalau pun tertawa atau melayaniku cerita, itu tak lebih hanya peran yang harus dilakonkannya sebagai tuan rumah.

Tapi syukur, setahun berteman dengannya, aku sudah bisa menemukan satu jawaban dari seribu pertanyaan yang selalu hadir di benakku. jawaban itu diperdengarkan untukku tanpa kuminta. Mungkin curiga jika setiap kunjunganku berkesan cari tahu, akhirnya dia buka mulut jika rumah yang ditempatinya, cuma rumah kontrakan!
“Rumah kontrakan?”
Mataku terbelelak. Jelas saja aku heran, cewek seusia Andien. Kelas satu SMA! Memilih rumah kontrakan semegah ini? Taman yang luas, dua lantai, ruang tamu dipajangi foto keluarga, peralatan dapur yang komplit! Apa nggak sebaiknya, cukup dengan tinggal di tempat kost dengan kamar yang luas, lalu dipasangkan AC, plus home theater jika perlu! Daripada harus pilih rumah yang lebih cocok untuk orang berkeluarga seperti ini.
“Mama yang menginginkan ini, Ririn!” ucapnya saat membaca keherananku.
“Tapi kamu nggak takut tinggal sendiri di rumah luas seperti ini, kenapa nggak sekalian cari pembantu untuk membantumu merawatnya?”
Dia menggeleng pelan. Lalu bercerita jika sejak kecil dia ditempa menjadi cewek yang mandiri. Masa SD pun nggak pernah merepotkan harus diantar dan dijemput dari sekolah. Dia berangkat dengan tukang becak langganannya. Pernah tukang becak langganannya berhalangan, tanpa takut dia ikut menunggu di halte. Bertanya pada semua orang trayek bis menuju rumahnya.
Mendengar semua itu, giliranku menggeleng tak percaya. Aku pikir dia mengada-ada. Tapi pikiran salahku itu cepat dibenarkan oleh kenyataan yang kulihat selama ini. Andien yang bisa memimpin ratusan siswa sebagai ketua Osis, ketua panitia di setiap acara sekolah. Anehnya, sebagai pemimpin dia tak pernah mengandalkan telunjuknya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia sendiri yang turun tangan, kalau pun harus menyuruh, kalimatnya tak lebih hanyalah permintaan. Bukan menyuruh apalagi memerintah!
Andien memang terkenal sopan. Bicara dengan teman sekolah pun, seolah berhadapan dengan guru. Bertutur sambil senyum, menunduk sesekali jika perlu!
Aku sendiri ngeri jika harus membayangkan diriku akan seperti Andien. Bukan takut tinggal sendiri di rumah semegah ini. Aku malah takut kehilangan masa yang seharusnya kunikmati. Andien yang seharusnya hanya ‘dibebankan’ oleh tugas sekolah demi mempertahankan peringkat kelas yang memang tak pernah dilepaskannya, juga harus berperan sebagai ‘ibu rumah tangga’ yang merawat rumah.
Andien seolah terkarbit. Meski usia dan wajahnya masih muda, tapi isi kepalanya terlalu tua. Pesta adalah foya-foya, menghambur uang, uang lebih baik ditabung demi keperluan mendadak daripada jalan ke mal tanpa tujuan yang jelas, dan entah prinsip apalagi yang selalu dipertahankannnya. Prinsip yang seharusnya ada pada wanita berkeluarga. Bukan pada Andien yang masih kelas satu SMA!
Meski begitu, Andien bukanlah pelit. Butuh uang berapa tinggal bilang, Andien tak pernah keberatan untuk meminjamkan. Bahkan kegiatan sosial yang diadakan sekolah pun, dia sering mengeluarkan uang pribadi untuk menambah besarnya dana yang akan disumbangkan. Ya, selama itu bukan urusan foya-foya, adalah sah-sah saja menurut Andien.
Belum sejam cerita dengannya, sebuah Nissan Terrano masuk di pekarangan.
“Mamaku datang, Rin!”
“Kamu baik-baik saja, Andien?”
Andien mengangguk! Kecupan wanita itu kemudian mendarat di kening Andien, tanpa sempat merapikan poninya dulu. Ya, tanpa sempat! Dengan langkah tergesa masuk ke dalam rumah. Dari pintu, kulihat dia masuk di kamar yang membelakangi ruang tamu. Andien membuntutinya setelah pamit sebentar denganku.
Saat pamit tadi, ada yang lain di tatapan Andien. Mungkin malu melihat perlakuan mamanya yang sedikit pun tidak menghargaiku sebagai tamu. Jangankan menyapaku, senyum pun tidak. Hanya ekor matanya yang tertuju padaku, melirik seolah mencari tahu, teman bergaul Andien seperti apa.
Tak cukup seperempat jam, Andien dan mamanya keluar. Masih dengan langkah tergesa.
“Kamu baik-baik ya, Sayang!”
Andien menerima kecupan lagi. Bukan sekali! Tubuh mungil Andien pun, didekapnya erat. Rindu di mata anak beranak itu jelas sekali kulihat. Aku berdiri menghampiri saat pelukan mereka terlerai, tapi yang kudapat hanya senyum tanda pamit. Hanya itu!
“Maaf jika mamaku kurang menganggapmu ada. Dia buru-buru sekali! Dia hanya transit di sini, pesawatnya akan berangkat lagi jam satu siang. Dia khawatir ketinggalan pesawat!”
“Memang dari mana?”
“Belum tahu, mama dan papaku tinggal di Yogya? Dia habis mengunjungi anak perusahaan yang ada di Kawasan Industri!”
Perlahan, akhirnya aku banyak tahu tentang Andien. Pikirku selama ini dia orang Makassar. Tapi entah kenapa, tetap saja ada yang mengganjal di pikiranku. Seolah Andien semakin menyembunyikan sesuatu untukku, setiap dia mengungkap cerita tentangnya.
“Itu foto waktu aku masih kelas enam SD,” ucapnya sambil mendekatiku yang sedang melihat foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
“Kamu anak tunggal?”
Kali ini Andien cuma mengangguk, padahal di mataku, ada yang ingin terucap di bibirnya. Saat seperti itulah aku merasa ada yang tersembunyi di balik diri Andien. Mungkin curiga aku melihat perubahan di wajahnya, dia kembali bercerita banyak tentang dirinya. Cerita yang semakin membuatku ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya.
“Aku memang sering ingin punya saudara, tapi Mama dan Papa yang sibuk lebih mengutamakan karir. Jangankan berpikir untuk punya anak lagi, aku saja yang sudah ada seolah tak pernah terpikirkan!”
Aku menepuk bahunya. Meski tak menangis mengucap kalimat itu, kutahu ada yang tergores di balik dadanya. Menyesal juga, aku terlalu ingin tahu tentangnya.
Giliranku untuk bercerita. Memberinya semangat, memintanya bersyukur dengan keadaannya sekarang. Aku pun heran, aku tiba-tiba seperti orangtua yang menasihati anaknya, saat memintanya membuka mata jika dia masih lebih baik ditelantarkan dalam kemewahan. Ada bahkan banyak orangtua yang menelantarkan anaknya di jalanan karena memang tak punya materi untuk menyayangi mereka, atau mungkin juga memang tak ada kasih sayang. Semua harus disyukuri!
Andien menangis di pelukanku. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berarti buat Andien. Selama ini dia selalu merasa tak butuh bantuan. Segalanya bisa diatasi sendiri. Tapi kini tangis yang disimpannya sendiri selama ini, kini dibagi untukku.
***
Seharian di mal membuatku memilih istirahat di kafe lantai dasar. Baru saja kurapatkan duduk, suara anak kecil yang kira-kira masih di bangku SD, menggelitikku untuk balik ke meja yang ada di sampingku. Sejenak mataku terpaku di meja yang dikelilingi oleh beberapa orang, termasuk anak kecil yang merengek dan memanggil papa pada lelaki yang duduk di sampingnya.
Aku tak mungkin salah lihat, meski wajahnya hanya kusaksikan di foto, aku yakin lelaki itu papa Andien. Lalu anak kecil itu, juga wanita yang dipanggilnya mama? Aku mengerutkan kening, wanita itu bukan mama Andien yang kulihat kemarin.
Aku cepat keluar sebelum memesan apa-apa di pramusaji kafe. Andien harus tahu jika papanya punya wanita simpanan. Bukan sibuk kerja seperti alasannya selama ini. Pulsaku yang habis semalam dan belum sempat kuisi ulang memaksaku mencari wartel.
Selangkah sebelum masuk wartel, mataku mendapatkan pemandangan yang semakin ‘mengerikan’. Ini pasti mimpi buruk buat Andien. Mamanya sedang berpegang pada lengan seorang lelaki seusianya. Tak hanya itu, juga seorang anak kecil berada di antara mereka. Bahkan sedang melangkah menuju kafe yang tadi ditempati papa Andien dan keluarga simpanannya.
Beginikah kesibukan mereka selama ini? Tapi kenapa harus di sini, bukankah menurut pengakuan Andien, mama dan papanya tinggal di Yogya?
Andien harus tahu, aku tak boleh membiarkan dia dibohongi terus oleh orangtuanya. Tak peduli itu melukakan buat Andien, aku tak ingin menyimpan kenyataan ini sebagai rahasia.
“Ririn!”
Belum sempat aku berbalik memenuhi panggilan itu, lenganku telah ditarik menjauh.
“Andien?”
“Kamu sudah lihat semuanya, kan? Kuharap kamu jangan bercerita pada siapa pun di sekolah. Aku malu!”
Andien tertunduk menahan tangis karena sadar jika dia sedang di tengah keramaian mal.
“Aku bukan orang Yogya! Rumah yang kutempati bukan rumah kontrakan, Ririn. Rumah itu diwariskan untukku sejak lulus SD. Diwariskan karena mama dan papa memilih cerai.”
Kutarik lengan Andien, tangisnya semakin tak bisa ditahan. Lebih tak bisa ditahannnya lagi, beban yang kini menghimpit dadanya. Saat merapatkan duduk di jok mobilku, dia langsung melanjutkan ceritanya di antara isak.
Aku seperti kehilangan konsentrasi menyetir saat mendengar semuanya. Tentang Andien yang tiap hari Minggu ke mal mencari mama dan papanya. Dia tahu sekali jika mama dan papanya sengaja ke kafe tadi, untuk saling membuktikan bahwa mama maupun papanya bisa bahagia dengan keluarga barunya.
Andien hanya bisa melihat wajah mama dan papanya dari jauh. Bersebelahan meja tanpa tegur sapa! Ya, hanya untuk memanas-manasi, saling membuktikan kebahagiaan mereka! Dan tentu saja Andien tak boleh mendekat, karena keluarga mamanya, juga keluarga papanya tak pernah mengharapkan kehadirannya.
Hanya sebulan tinggal bersama mama tirinya, papa memintanya pulang ke rumah karena selalu menjadi penyebab pertengkaran dengan isteri barunya. Mamanya lebih parah, bukannya mengajak bergabung, malah menghadiahinya rumah warisan asal tak ikut dengannya, karena suami barunya tak ingin ada Andien dalam rumah.
Semua mencari kebahagiaan sendiri sejak Andien masih kelas satu SLTP. Andien harus sendiri! Sendiri menentukan hidup, sendiri mencari bahagia. Termasuk mengintip kebahagaiaan keluarga mama dan papanya yang baru. Karena melihat mama dan papanya, dari jauh pun, adalah kebahagiaan tersendiri buat Andien.
“Semua kusimpan sendiri, Ririn! Bahkan mencari pembantu pun di rumah aku nggak mau karena nggak ingin ada yang tahu rahasia ini. Sekarang kamu terlanjur tahu. Simpan rahasia itu demi aku, Ririn! Kumohon!”
Aku tak tega membiarkannya memelas seperti itu di depanku. Aku berjanji akan tetap menjadi Ririn yang dulu. Sahabat yang tak pernah tahu apa pun tentang Andien. Akan kubiarkan dia menyimpan rahasia itu untuknya tanpa pernah menyingkapnya. Tapi tangisnya, takkan kuijinkan dia menyimpannya sendiri.
***


lanjutan cerita......

Market Day


MARKET DAY
Oleh: S. Gegge Mappangewa
18 April 2009. Sekolah tempatku mengajar menggelar acara Market Day. Siswa membawa barang jualan dari rumah, kemudian digelar di bawah tenda biru yang dipasang di lapangan depan sekolah. Ramai sekali. Sepertinya mereka semua berbakat jadi pedagang!
Di tengah suasana Market Day, saya teringat pasar di kampungku, pasar Bilokka namanya. Karena kampung, tentulah pasar tak bisa buka tiap hari. Lalu muncullah istilah esso pasa atau market day. Hari pasar di kampungku adalah Senin, Rabu, Jumat. Sebagai pasar kecamatan, tentu saja pasar inilah yang paling ramai di antara pasar desa lainnya.


Dan ada hal yang tak akan pernah bisa kulupakan jika teringat dengan hari pasar di kampungku. Dulu, setiap pulang sekolah di hari Senin, Selasa dan Rabu, saya selalu didera penasaran sepanjang perjalanan. Mencoba menebak, apa menu makan siang hari ini? Paserre bale janggo’ (ikan janggo’ bakar) atau hanya tunu bale rakko (ikan asin bakar)? Kalau sayurnya, tak usah ditebak. Ibu tak pernah beli sayur-sayuran di pasar. Ibu selalu memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami sayur-sayuran, jadi saya selalu bisa menikmati sayur hijau bening setiap harinya. Saking melimpahnya sayur, jenis sayur setiap sarapan, makan siang, dan makan malam, selalu berganti. Meski tidak berganti jenis tapi ibu selalu menghidangkan sayur hangat yang baru diangkat dari atas tungku perapian. Bukan dihangatkan, Tapi benar-benar hangat karena baru dimasak.
Back to esso pasa. Karena hari pasar hanya tiga kali sepekan, tentulah untuk menikmati menu ikan segar hanya di hari pasar. Apalagi saat itu di rumah panggung kami belum ada kulkas, bisa dipastikan di hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Ahad, ibu akan menghiasi nampang bundarnya dengan ikan asin atau bahkan hanya telor dadar penghasil protein satu-satunya.
Itu kenangan tentang hari pasar saat masih sekolah dulu. Sekarang…? Masih seperti itu. Hari pasar di kampungku masih tiga kali sepekan. Tapi tentu saja perjalanan pulang sekolahku tak lagi didera penasaran, bukan semata karena saya tidak berstatus pelajar lagi, tapi karena saya tak lagi tinggal di kampung. Bukan berarti tak ada lagi kenangan yang bisa kusimpan di memoriku tentang hari pasar. Banyak sekali! Setiap pulang kampung, saya masih selalu didera penasaran. Mencoba menebak menu apa yang akan dihidangkan ibu untukku? Meski ibu telah punya kulkas yang bisa dijadikan gudang untuk ‘menimbun’ sembako’ segar (terutama ikan), saya masih lebih senang dengan menu di hari H pasar. Ikannya segar sekali! Dan ibu tahu sekali jika saya senang sekali dengan ikan mujair. Setiap dia tahu saya akan pulang menemuinya, bisa dipastikan menunya adalah ikan mujair.
Biasanya, di hari H pasar, pagi-pagi sepulang pasar dia akan membakar ikan mujair! Dia memilihkan yang paling besar untukku. Lebarnya biasa sampai delapan jari orang dewasa. Dilepas sisiknya, kemudian bagian tubuh ikan diiris agar bumbunya meresap. Setelah matang, ibu membumbuinya dengan ulekan cabe, tomat campur kemiri atau kacang…. Hmmmm menu yang disebut paserre’ bale ini membuatku biasa lupa dengan siapa pun. Bahkan ayah yang belum pulang dari sawah biasa tak kusimpankan. Satu ekor utuh untukku! Yang tersisa tinggal tulang. Bahkan, insangnya pun kadang tak bisa lari menghindar dariku. Biar nggak kekenyangan, makan nasinya kukurangi.
Siangnya makan apa ya? Tentu saja ibu tahu kalau setiap pulag kampung, saya paling lama dua hari, jadi siangnya masih menghidangkan ikan mujair untukku. Tapi bukan paserre bale lagi. Kali ini saya akan ‘berhadap-hadapan’ dengan ikan masak. Masih dengan mujair berukuran all size. Saking besarnya kuah ikan masak ibu biasa berminyak. Karena ikan air tawar, jangan harap akan ada bau amis. Saat memasak ikan air tawar ibu menggunakan asam mangga, kalau untuk ikan laut dia menggunakan asam jawa. Kedua asam ini, ibu tak pernah beli. Setiap musim mangga, mangga kecil yang biasanya jatuh sebelum berbiji, ibu pungut kemudian dijadikan asam. Kalau asam jawa, kebetulan tak jauh dari rumah ada pohon asam yang selalu berbuah lebat.
Biasanya, kalau menunya ikan masak, ibu biasa mendampingkannya dengan ronto’, sejenis udang kecil yang masih mentah yang biasa dibuat ebi. Saking segarnya ronto’ nya biasa masih lompat-lompat di mangkok lauk di antara bumbu sambel yang dicampurkannya. Di restoran manapun, tak akan pernah mendapatkan menu seperti ini. Dan tentu saja kenikmatan seperti itu hanya bisa kudapatkan di meja makanku.
Sayurnya? Masih seperti dulu! Kalau bukan dapat di pematang sawah, ibu memetiknya dari halaman rumah yang selalu ditanaminya terong, pare, dan lain-lain. Biasanya, karena tak mau kekenyangan, bukan hanya nasinya yang kukurangi, makan sayurnya pun saya batasi. Nanti sejam setelah makan, baru saya mengambil semangkok sayur lalu memakannya seperti makan sup.
Ingat menu hidangan ibu, saya terkenang dengan sahabat-sahabat saya yang pernah mampir di rumah. Mereka semua ketagihan dengan menu ikan bakar ibu. Itu kalau mereka datang di hari pasar. Kalau nggak, ayah akan mengusulkan ayam kampungnya yang ada di kandang di bawah rumah panggung kami. Karena bagi ibu dan ayah, tamu adalah pembawa rejeki. Harus diistimewakan.
Saat mau kembali ke Makassar, kalau bukan hari pasar, pagi-pagi sekali ibu menyuruhku ke pasar kecamatan sebelah. Tentu saja untuk mencari ikan mujair. Dan ikan mujair itu akan dia pepes. Dibakar tanpa bersentuhan langsung dengan api, tanpa disisiki. Menu seperti ini namanya tapa bale. Biasanya bertahan lama karena tidak langsung diberi bumbu atau sambal. Biar nikmatnya tak berkurang, ibu tetap membuatkan sambal untukku kemudian dia bungkus dengan daun. Tiba di Makassar, buah tangan ibu akan menjadi santapan lezat. Warung dan restoran lainnya…? Nggak dapatt!!!
22 April 2009, SD Mulia Bakti, menunggu siswaku selesai Olimpiade Sains

lanjutan cerita......

BERAWAL DAN BERAKHIR DI MEJA MAKAN


BERAWAL DARI MEJA MAKAN
Oleh: S. Gegge Mapangewa
Jakarta, 17 Maret 2009. Bis bandara mengantarku ke terminal Lebak Bulus sekaligus mengantaku menelusuri sebuah lorong di hatiku. Lorong sunyi masa lalu. Lorong yang menyimpan memori saat enam tahun yang lalu saya menginjakkan kaki di ibukota ini. “Jakarta, I’m coming again!” Sebuah suara menggema di lorong sunyi itu.

Tak ada yang istimewa di bis ini. Meski David Chalik, sang bintang sinetron, hadir satu bis denganku. Dia boleh jadi tokoh utama di sinetron, tapi kali ini nasibku lebih mujur daripada dirinya yang berdiri di depanku karena tak mendapat tempat duduk.
***
Tiba di lokasi training menjelang maghrib. Penat. Lelah. Registrasi secepatnya lalu masuk kamar. Saya ingin sekali isitirahat tapi tentu saja itu tak mungkin, teman sekamar harus kusapa. Sekamar dengan peserta dari Maluku Utara dan Kalimantan Selatan.
Saatnya bergabung dengan peserta lain. Dari meja makan ini kisah berawal. Setelah dipertemukan dengan teman sekamar, kali ini dipertemukan dengan teman semeja makan. Jabat tangan sebut nama. Soleh dari Banten. Barma dari Lampung. Munawar dari Sulbar. Dan saya, Gegge dari Sulsel. Dan siapa sangka, breakfast, lunch dan dinner berikutnya, kami selalu saling mencari untuk satu meja makan. Bahkan untuk menerima materi pun, sering duduk bersebelahan. Hingga perpisahan itu datang merenggut kisah yang sering kami bagi di meja makan.
Soleh dan Munawar yang sudah beranak pinak selalu memberi motivasi menikah. Barma yang pelantun nasyid ternyata sebelumnya adalah penyanyi elekton yang biasa manggung di tempat terbuka. Dan saya yang ketahuan sebagai penulis, selalu dimintai ‘materi kepenulisan’ saat ngumpul. Saya dan Barma selalu jadi bulan-bulanan sindiran karena belum menikah. Bahkan beberapa nama sempat disebutkan untukku segampang itukah memiliih pasangan hidup?
***
Hari terakhir. 21 Maret 2009. Kami satu meja makan lagi. Saya membagikan novel terbaruku (Cupiderman 3G) untuk mereka bertiga. Ternyata keakraban yang berawal di meja makan itu akhirnya berakhir juga di meja makan. Saya, dan kuyakin juga mereka menyimpan rindu di hati masing-masing. Kesibukan membuat kami tak bisa mencurahkan rindu meski hanya sekadar smsan.
Semoga ada meja makan yang akan mempertemukan kami kembali. Amin! Ya, selain kami berempat, peserta dari semua propinsi itu kini terikat dalam ikatan GEMPITA (Generasi Muda Pembina Insan Berprestasi). Sebuah amanah yang tak ringan tapi insya Allah imbalannya juga tak ringan! Allahu Akbar!!!***(Kenangan Training Of Trainer Kebijakan Kepemudaan dalam rangka Penanggulangan Faktor Destruktif)






lanjutan cerita......

27.4.09

KUTERIMA KEKALAHAN INI

Kuterima Kekalahan Ini
Oleh : S. Gegge Mapangewa
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
KUTERIMA KEKALAHAN INI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

AKU benci Intan. Setiap sikapnya, semua ulahnya, seolah ingin menunjukkan padaku, jika dia yang terhebat di sekolah ini. Seakan dia tak pernah memperhitungkan keberadaanku. Atau dia memang tak tahu siapa aku sebenarnya? Rupanya dia harus kuberi tahu siapa aku sebenarnya, dengan caraku sendiri!
Aku memang banyak diam. Terlebih, Intan beda kelas denganku, hingga dia tak tahu jika pada setiap ulangan harian, untuk mata pelajaran apa pun, aku tak pernah dapat nilai di bawah sembilan. Dan itu bukan hasil nyontek. Setiap guru yang masuk, acungkan jempol untukku karena setiap pertanyaan yang tak terjawab oleh siswa lain, kuselesaikan dengan baik. Lalu, mengapa orang-orang di sekolah ini lebih menjagokan Intan?
Sekali lagi. Aku banyak diam! Dari hasil curi dengar, teman-teman kelasku enggan menggosipkan kehebatanku, apalagi membanding-bandingkanku dengan Intan, karena aku seolah tak butuh promosi kehebatan serupa itu. Awalnya memang tidak! Tapi melihat Intan yang selalu senyum penuh kemenangan, seolah menantang kehebatanku, membuatku tak bisa tinggal diam.
“Kalau bukan karena lupa menyamakan satuannya, ulangan Fisika-ku dapat sepuluh lagi,” ucap Intan tanpa ditanya, di tengah keramaian kantin.
Entah ingin memperdengarkan untukku atau tidak, yang jelas aku dengar dan merasa diri telah dipanas-panasi. Aku mencibir.
“Aku dapat delapan, sudah syukur!” timpal Arin tanpa pernah menghentikan aksinya menyantap bakso pesanannya. “Oh ya, kalo di kelas kamu, Put? Ada nggak yang dapat sepuluh?” lanjutnya, kali ini dengan menerbangkan tatapan ke arahku.
Kantin tiba-tiba sepi. Kuyakin semua mata ke arahku. Menunggu jawaban. Kubiarkan mereka dalam penasaran panjang, sambil meraih lembaran jawaban Fisika yang kebetulan kulipat dan kusimpan di saku bajuku.
“Tadi aku nggak sempat lihat, aku dapat berapa?” bohongku. Jelas-jelas bola mataku meloncat kegirangan saat kulihat angka sepuluh di lembar jawabanku tadi. ”Aku nggak permasalahkan mau dapat berapa, yang penting saat ulangan, aku merasa bisa menyelesaikan semua soal tanpa melakukan kesalahan kecil.”
Kesalahan kecil yang kumaksud itu, untuk memanas-manasi Intan yang lupa menyamakan satuan angka hitungannya. Kulihat muka Intan membiaskan kecewa. Kuharap dia sadar, jika di sekolah ini ada yang lebih hebat darinya, aku. Putri!
“Ternyata, aku dapat sepuluh!”
Beberapa siswa berkerumun ke arahku, untuk melihat lembar jawabanku. Intan tentu saja mematung. Selama ini aku memang banyak diam, membiarkan dia menikmati kemenangannya. Sekarang, giliran dia yang harus bungkam, jika itu untuk pamer prestasi di depanku.
Aku paling tak suka dengan kebanggaan yang berlebih, karena kupikir itu sinonim dengan kesombongan. Bagiku, biarkan orang lain yang menilai. Tak usah banyak bicara, hingga harus memamerkan semua keberhasilan.
Hingga detik ini, aku lebih percaya pada ungkapan bahwa; orang yang paling banyak bohongnya adalah orang yang banyak bicara tentang dirinya sendiri. Mungkin Intan orangnya. Hampir di setiap kesempatan mengkampanyekan diri. Aku jadi enek. Dan kuharap ini kali terakhir dia berulah. Jika tidak, untuk kesekiankalinya pula dia akan kupermalukan.
***
Rupanya, kejadian di kantin itu, bukannya membuat dia merasa kalah. Bahkan lebih menggila. Jujur saja, aku jadi gemetar! Merasa telah menemukan saingan, yakni aku, semangat Intan semakin menyala. Semangat untuk mengkampanyekan diri, sekaligus semangat belajar.
Setelah dua malam yang lalu aku kurang tidur karena PR Kimia yang menurutku tingkat kesulitannya tinggi, kini dia mengibas-ngibaskan buku PR-nya di kantin yang telah mendapat paraf dan nilai sepuluh dari Pak Hamran. Aku yakin, untuk kali ini nilai setinggi itu tak bisa kugapai. Untungnya, pelajaran Kimia di kelasku, nanti di jam terakhir. Aku masih punya waktu untuk menyembunyikan kekalahan.
Tak hanya sampai di situ. Begitu bel tanda masuk, Bu Dian mengawali pelajaran bahasa Inggris-nya dengan berita menyakitkan.
“Dari hasil seleksi, Intan dari kelas IB yang berhak ikut debat bahasa Inggris, mewakili sekolah kita.”
Semua mata tertuju ke arahku. Teman-teman kelas memang banyak menjagokan aku. Bu Dian seolah mengerti arti tatapan yang menghujan ke arahku.
“Memang, grammar dan vocabulary Putri sedikit lebih di atas dari Dian. Tapi Putri kalah jauh dalam hal pronunciation. Karena ini untuk lomba debat bahasa Inggris, pronunciation sangat dibutuhkan kefasihannya. Intan lebih bisa untuk itu!”
Tanpa sadar aku bersandar di bangku. Aku butuh penopang, tiba-tiba. Intan yang ingin kutaklukkan, kini disanjung-sanjung di depanku. Perjuanganku untuk menunjukkan pada Intan, tentang siapa aku sebenarnya, berakhir kini. Ya, inilah aku yang sebenarnya. Putri sang pecundang!
Di atas langit, masih ada langit. Aku sadar itu. Tapi aku seperti tak bisa menerima jika Intan yang ada di atasku. Aku tak suka dengan gayanya yang selalu pamer keunggulan. Andai saja, Intan tak sok pamer seperti itu, aku tak punya hak untuk iri, setinggi apa pun prestasinya.
Kekalahan kali ini, adalah sebuah PR untukku. Ini tak boleh dibiarkan berlanjut terus. Aku harus ubah strategi, setelah gagal menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya di depan Intan. Giliran Intan yang harus kucari tahu, tentang siapa dia yang sebenarnya. Mungkin ada sisi negatif tentang dirinya, yang bisa kuangkat untuk mempermalukan dirinya. Bukan untuk melumpuhkan dia, bagaimana pun aku telah mengaku kalah dalam hal prestasi. Aku cuma ingin dia mengurangi kebanggaannya yang terlalu berlebih. Aku ingin dia menyadari dan mau mengakui kelemahannya, bukan hanya tahu pamer keunggulan.
Aku yakin, di balik keunggulan dan kehebatan yang selalu dipamerkannya, dia pasti menyembunyikan sebuah kelemahan. Orang sombong hanyalah orang yang menutup-nutupi kekurangannya. Aku yakin itu!
***
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
Keunggulan Intan bertambah lagi. Cantik, pintar, dan detik ini harus kuakui kalau dia anak orang kaya. Padahal, saat mencari alamat rumahnya, aku berharap, akan mendapatkan gubuk reot dan kumuh. Lalu akan kuumumkan di sekolah jika Intan yang sok pamer itu, hanyalah orang comberan. Tas dan sepatu mahal yang dipakainya, hanya dari hasil mengemis orangtuanya, dan banyak bayangan hitam lagi tentang Intan, yang detik ini tak satu pun terbukti. Intan benar-benar intan yang tergosok sempurna.
“Cari siapa, Nak? Temannya Non Intan, ya?”
Aku mengangguk gugup. Pembantu itu membukakan pintu pagar, tanpa kuminta. Padahal aku ingin pergi.
“Mari silakan masuk. Non Intan lagi ikut lomba…”
Pembantu tua itu sedang mencari-cari kata untuk lanjutan kalimatnya. Dasar pembantu, dia pasti lupa dengan lomba debat bahasa Inggris yang diikuti Intan.
“Nggak tau deh lomba apa, yang jelas ada bahasa Inggris-nya.”
Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. Aku ingin mengambil langkah pulang, tapi pembantu itu menarik lenganku. Memaksaku masuk.
“Tunggu aja! Non Intan nggak lama kok, katanya! Temanin saya cerita ya! Rumah lagi sepi.”
”Papa dan mama Intan ke mana?”
Wanita setengah baya itu, menarik napas panjang.
“Jadi kamu nggak tau kalau mama Non Intan sudah meninggal?”
Aku menggeleng. Kali ini napas wanita yang sudah membekaskan keriput di wajahnya, terasa berat. Mungkin seberat beban yang harus Intan pikul selama ini. Darinya, kutahu kisah yang tak seharusnya aku tahu. Kini aku mengerti, mengapa Intan selalu berkesan pamer keunggulan.
Di rumahnya, Intan hanya diberi tumpangan hidup. Tanpa kasih sayang. Papa dan ketiga kakaknya, tak pernah memperhatikan dia. Bahkan sesekali memperlakukannya kasar. Persoalannya sepele, bahkan bagiku tak masuk akal. Kelahiran Intan dianggap membawa sial karena mamanya meninggal bersamaan dengan kelahiran Intan.
Intan atau siapa pun pasti tak ingin mamanya meninggal, tak wajar memikulkan beban pada Intan hanya karena takdirnya yang lahir dengan membawa kematian buat mamanya.
“Intan dari kecil selalu cari perhatian. Tapi papanya cuek bahkan sering memarahinya. Rapor Intan, jika bukan untuk ditandatangani, jangan harap akan disentuh papanya. Padahal Intan ingin papanya tahu jika dia dapat nilai bagus.”
Aku pamit sebelum Intan datang. Bukan tak berani melihat wajah cerianya, pulang membawa keberhasilan dari lomba debat bahasa Inggris. Aku tak ingin Intan tahu kecemburuanku selama ini. Keluar dari pintu gerbang, aku menoleh lagi ke rumah Intan. Sulit dipercaya, di dalam rumah megah nan luas itu, ada penghuninya yang berpikir picik, dengan menganggap Intan sebagai anak pembawa sial.
Aku tak menemukan itu sebagai kekurangan pada diri Intan. Tapi sebaliknya, Intan memang pemenang yang tak pernah bisa terkalahkan. Tak banyak, bahkan mungkin hanya Intan seorang, yang mampu mengukir prestasi di antara orang-orang terdekat yang sama sekali tak pernah mendukungnya. Aku memang bukan sahabat, bukan teman dekat, tapi aku akan mengacungkan jempol untuk Intan, tanpa merasa dikalahkan.***



lanjutan cerita......

Cerpen Remaja


Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
*******************************************************************************
Kuterima Kekalahan Ini
Oleh : S. Gegge Mapangewa

AKU benci Intan. Setiap sikapnya, semua ulahnya, seolah ingin menunjukkan padaku, jika dia yang terhebat di sekolah ini. Seakan dia tak pernah memperhitungkan keberadaanku. Atau dia memang tak tahu siapa aku sebenarnya? Rupanya dia harus kuberi tahu siapa aku sebenarnya, dengan caraku sendiri!
Aku memang banyak diam. Terlebih, Intan beda kelas denganku, hingga dia tak tahu jika pada setiap ulangan harian, untuk mata pelajaran apa pun, aku tak pernah dapat nilai di bawah sembilan. Dan itu bukan hasil nyontek. Setiap guru yang masuk, acungkan jempol untukku karena setiap pertanyaan yang tak terjawab oleh siswa lain, kuselesaikan dengan baik. Lalu, mengapa orang-orang di sekolah ini lebih menjagokan Intan?
Sekali lagi. Aku banyak diam! Dari hasil curi dengar, teman-teman kelasku enggan menggosipkan kehebatanku, apalagi membanding-bandingkanku dengan Intan, karena aku seolah tak butuh promosi kehebatan serupa itu. Awalnya memang tidak! Tapi melihat Intan yang selalu senyum penuh kemenangan, seolah menantang kehebatanku, membuatku tak bisa tinggal diam.
“Kalau bukan karena lupa menyamakan satuannya, ulangan Fisika-ku dapat sepuluh lagi,” ucap Intan tanpa ditanya, di tengah keramaian kantin.
Entah ingin memperdengarkan untukku atau tidak, yang jelas aku dengar dan merasa diri telah dipanas-panasi. Aku mencibir.
“Aku dapat delapan, sudah syukur!” timpal Arin tanpa pernah menghentikan aksinya menyantap bakso pesanannya. “Oh ya, kalo di kelas kamu, Put? Ada nggak yang dapat sepuluh?” lanjutnya, kali ini dengan menerbangkan tatapan ke arahku.
Kantin tiba-tiba sepi. Kuyakin semua mata ke arahku. Menunggu jawaban. Kubiarkan mereka dalam penasaran panjang, sambil meraih lembaran jawaban Fisika yang kebetulan kulipat dan kusimpan di saku bajuku.
“Tadi aku nggak sempat lihat, aku dapat berapa?” bohongku. Jelas-jelas bola mataku meloncat kegirangan saat kulihat angka sepuluh di lembar jawabanku tadi. ”Aku nggak permasalahkan mau dapat berapa, yang penting saat ulangan, aku merasa bisa menyelesaikan semua soal tanpa melakukan kesalahan kecil.”
Kesalahan kecil yang kumaksud itu, untuk memanas-manasi Intan yang lupa menyamakan satuan angka hitungannya. Kulihat muka Intan membiaskan kecewa. Kuharap dia sadar, jika di sekolah ini ada yang lebih hebat darinya, aku. Putri!
“Ternyata, aku dapat sepuluh!”
Beberapa siswa berkerumun ke arahku, untuk melihat lembar jawabanku. Intan tentu saja mematung. Selama ini aku memang banyak diam, membiarkan dia menikmati kemenangannya. Sekarang, giliran dia yang harus bungkam, jika itu untuk pamer prestasi di depanku.
Aku paling tak suka dengan kebanggaan yang berlebih, karena kupikir itu sinonim dengan kesombongan. Bagiku, biarkan orang lain yang menilai. Tak usah banyak bicara, hingga harus memamerkan semua keberhasilan.
Hingga detik ini, aku lebih percaya pada ungkapan bahwa; orang yang paling banyak bohongnya adalah orang yang banyak bicara tentang dirinya sendiri. Mungkin Intan orangnya. Hampir di setiap kesempatan mengkampanyekan diri. Aku jadi enek. Dan kuharap ini kali terakhir dia berulah. Jika tidak, untuk kesekiankalinya pula dia akan kupermalukan.
***
Rupanya, kejadian di kantin itu, bukannya membuat dia merasa kalah. Bahkan lebih menggila. Jujur saja, aku jadi gemetar! Merasa telah menemukan saingan, yakni aku, semangat Intan semakin menyala. Semangat untuk mengkampanyekan diri, sekaligus semangat belajar.
Setelah dua malam yang lalu aku kurang tidur karena PR Kimia yang menurutku tingkat kesulitannya tinggi, kini dia mengibas-ngibaskan buku PR-nya di kantin yang telah mendapat paraf dan nilai sepuluh dari Pak Hamran. Aku yakin, untuk kali ini nilai setinggi itu tak bisa kugapai. Untungnya, pelajaran Kimia di kelasku, nanti di jam terakhir. Aku masih punya waktu untuk menyembunyikan kekalahan.
Tak hanya sampai di situ. Begitu bel tanda masuk, Bu Dian mengawali pelajaran bahasa Inggris-nya dengan berita menyakitkan.
“Dari hasil seleksi, Intan dari kelas IB yang berhak ikut debat bahasa Inggris, mewakili sekolah kita.”
Semua mata tertuju ke arahku. Teman-teman kelas memang banyak menjagokan aku. Bu Dian seolah mengerti arti tatapan yang menghujan ke arahku.
“Memang, grammar dan vocabulary Putri sedikit lebih di atas dari Dian. Tapi Putri kalah jauh dalam hal pronunciation. Karena ini untuk lomba debat bahasa Inggris, pronunciation sangat dibutuhkan kefasihannya. Intan lebih bisa untuk itu!”
Tanpa sadar aku bersandar di bangku. Aku butuh penopang, tiba-tiba. Intan yang ingin kutaklukkan, kini disanjung-sanjung di depanku. Perjuanganku untuk menunjukkan pada Intan, tentang siapa aku sebenarnya, berakhir kini. Ya, inilah aku yang sebenarnya. Putri sang pecundang!
Di atas langit, masih ada langit. Aku sadar itu. Tapi aku seperti tak bisa menerima jika Intan yang ada di atasku. Aku tak suka dengan gayanya yang selalu pamer keunggulan. Andai saja, Intan tak sok pamer seperti itu, aku tak punya hak untuk iri, setinggi apa pun prestasinya.
Kekalahan kali ini, adalah sebuah PR untukku. Ini tak boleh dibiarkan berlanjut terus. Aku harus ubah strategi, setelah gagal menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya di depan Intan. Giliran Intan yang harus kucari tahu, tentang siapa dia yang sebenarnya. Mungkin ada sisi negatif tentang dirinya, yang bisa kuangkat untuk mempermalukan dirinya. Bukan untuk melumpuhkan dia, bagaimana pun aku telah mengaku kalah dalam hal prestasi. Aku cuma ingin dia mengurangi kebanggaannya yang terlalu berlebih. Aku ingin dia menyadari dan mau mengakui kelemahannya, bukan hanya tahu pamer keunggulan.
Aku yakin, di balik keunggulan dan kehebatan yang selalu dipamerkannya, dia pasti menyembunyikan sebuah kelemahan. Orang sombong hanyalah orang yang menutup-nutupi kekurangannya. Aku yakin itu!
***
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
Keunggulan Intan bertambah lagi. Cantik, pintar, dan detik ini harus kuakui kalau dia anak orang kaya. Padahal, saat mencari alamat rumahnya, aku berharap, akan mendapatkan gubuk reot dan kumuh. Lalu akan kuumumkan di sekolah jika Intan yang sok pamer itu, hanyalah orang comberan. Tas dan sepatu mahal yang dipakainya, hanya dari hasil mengemis orangtuanya, dan banyak bayangan hitam lagi tentang Intan, yang detik ini tak satu pun terbukti. Intan benar-benar intan yang tergosok sempurna.
“Cari siapa, Nak? Temannya Non Intan, ya?”
Aku mengangguk gugup. Pembantu itu membukakan pintu pagar, tanpa kuminta. Padahal aku ingin pergi.
“Mari silakan masuk. Non Intan lagi ikut lomba…”
Pembantu tua itu sedang mencari-cari kata untuk lanjutan kalimatnya. Dasar pembantu, dia pasti lupa dengan lomba debat bahasa Inggris yang diikuti Intan.
“Nggak tau deh lomba apa, yang jelas ada bahasa Inggris-nya.”
Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. Aku ingin mengambil langkah pulang, tapi pembantu itu menarik lenganku. Memaksaku masuk.
“Tunggu aja! Non Intan nggak lama kok, katanya! Temanin saya cerita ya! Rumah lagi sepi.”
”Papa dan mama Intan ke mana?”
Wanita setengah baya itu, menarik napas panjang.
“Jadi kamu nggak tau kalau mama Non Intan sudah meninggal?”
Aku menggeleng. Kali ini napas wanita yang sudah membekaskan keriput di wajahnya, terasa berat. Mungkin seberat beban yang harus Intan pikul selama ini. Darinya, kutahu kisah yang tak seharusnya aku tahu. Kini aku mengerti, mengapa Intan selalu berkesan pamer keunggulan.
Di rumahnya, Intan hanya diberi tumpangan hidup. Tanpa kasih sayang. Papa dan ketiga kakaknya, tak pernah memperhatikan dia. Bahkan sesekali memperlakukannya kasar. Persoalannya sepele, bahkan bagiku tak masuk akal. Kelahiran Intan dianggap membawa sial karena mamanya meninggal bersamaan dengan kelahiran Intan.
Intan atau siapa pun pasti tak ingin mamanya meninggal, tak wajar memikulkan beban pada Intan hanya karena takdirnya yang lahir dengan membawa kematian buat mamanya.
“Intan dari kecil selalu cari perhatian. Tapi papanya cuek bahkan sering memarahinya. Rapor Intan, jika bukan untuk ditandatangani, jangan harap akan disentuh papanya. Padahal Intan ingin papanya tahu jika dia dapat nilai bagus.”
Aku pamit sebelum Intan datang. Bukan tak berani melihat wajah cerianya, pulang membawa keberhasilan dari lomba debat bahasa Inggris. Aku tak ingin Intan tahu kecemburuanku selama ini. Keluar dari pintu gerbang, aku menoleh lagi ke rumah Intan. Sulit dipercaya, di dalam rumah megah nan luas itu, ada penghuninya yang berpikir picik, dengan menganggap Intan sebagai anak pembawa sial.
Aku tak menemukan itu sebagai kekurangan pada diri Intan. Tapi sebaliknya, Intan memang pemenang yang tak pernah bisa terkalahkan. Tak banyak, bahkan mungkin hanya Intan seorang, yang mampu mengukir prestasi di antara orang-orang terdekat yang sama sekali tak pernah mendukungnya. Aku memang bukan sahabat, bukan teman dekat, tapi aku akan mengacungkan jempol untuk Intan, tanpa merasa dikalahkan.***



lanjutan cerita......

Epos La Galigo (Termuat di Annida Edisi April 2009)


Kota I Lagaligo,
Latar Sastra Penuh Sejarah
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.

Semua orang pasti kenal dengan Tana Toraja. Tapi Tana Luwu, mungkin sangat sedikit yang mengenal keberadaan kabupaten yang berjarak sekitar 500 KM dari Makassar ini. Padahal di Tana Luwu yang berbatasan dengan Tana Toraja inilah, karya sastra terpanjang di dunia, I La Galigo, berasal. Kalo epos Mahabarata jumlah barisnya antara 160.000-200.000, I La Galigo bahkan mencapai 300.000 baris panjangnya. (Hmmmm, setebal bantal mungkin ya, kalo dibukukan).
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.
Wah, kalo mau berpanjang lebar tentang I La Galigo, bisa sampe 300.000 baris nih. Nggak kalah asyiknya kalo kita jalan-jalan menyusuri salah satu kota di Tana Luwu, yaitu Palopo. Awalnya sih, kabupaten di Luwu cuman satu dan berpusat di Palopo sebagai kota administratif. Sekarang, setelah pemekaran, udah terbagi menjadi empat kabupaten. Tapi tetap aja, Palopo menjadi kota yang paling ramai di Luwu.
Salah satu obyek wisata yang sering dikunjungi di kota ini adalah Tanjung Ringgit. Meskipun namanya mirip-mirip dengan Tanjung Pinang dan Tanjung Periok, Tanjung Ringgit bukanlah pelabuhan besar. Laut Tanjung Ringgit hanya menjadi dermaga yang menghubungkan Palopo dengan Malangke yang juga masih wilayah Luwu. Malangke ini sangat dikenal sebagai penghasil jeruk manis. Jeruk Malangke, begitu orang biasa menyebutnya. Tanjung Ringgit nggak hanya berfungsi sebagai dermaga menuju Malangke, tapi juga bisa ditempati mancing, sekaligus tempat yang indah untuk menikmati sunset. Nggak heran, mulai sore hingga malam, pantai ini akan berubah menjadi pusat tenda kafe yang menyajikan berbagai jajanan khas Palopo.
Selain ke Tanjung Ringgit, kita juga bisa melepas penat di permandian air terjun Latuppa. Di akhir pekan, tempat ini biasanya ramai dikunjungi warga Palopo yang ingin menikmati sejuknya air sungai Latuppa. Ada air terjunnya, lho! Apalagi, setelah puas mandi, pulang bisa bawa oleh-oleh durian. Tempat ini biasanya banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal di Sulawesi Selatan kalo abis lebaran.
Jejak Sejarah di Kota Tua
Selain wisata alam Tanjung Ringgit dan air terjun Latuppa, Palopo punya tempat wisata bersejarah. Salah satunya adalah Mesjid Tua Palopo. Mesjid ini didirikan oleh Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Tiang utama mesjid ini menggunakan kayu Cinaduri, sedangkan dindingnya terbuat dari tembok yang masih berbahan perekat campuran putih telur. So, karena emang langka, mesjid ini udah dijadikan sebagai bangunan purbakala yang harus dilindungi. Jamaahnya banyak lho! Apalagi kalo Ramadhan, mesjid tua ini selalu ramai. Saking ramainya, jamaah biasa meluber sampai ke jalan raya. Orang yang berkunjung ke Palopo nggak dianggap ‘sah’ kunjungannya kalo belum ke mesjid tua ini.
Di jantung kota, terdapat tugu bergambarkan badik! Bukan melambangkan premanisme, tapi simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Namanya Tugu Toddopuli Temmalara! Masih selokasi dengan tugu ini, ada Rumah Datu dan Museum Palopo. Sesuai dengan namanya, Rumah Datu ini adalah Raja Luwu terdahulu. Bangunannya terbuat dari kayu jati dengan arsitek rumah adat Luwu. Sekarang ‘keraton’ ini dihuni oleh keluarga keturunan Raja Luwu. Karena ini rumah tinggal para keluarga Raja Luwu, jadi nggak terbuka untuk umum. Tapi halamannya sering dimanfaatkan untuk acara pegelaran seni. Spesial untuk acara adat, rumah yang sangat dijaga kelestariannya ini bisa dimanfaatkan keseluruhannya.
Di samping bangunan Rumah Datu terdapat Museum Palopo. Dari arsitekturnya, bangunan ini melukiskan jejak peninggalan jaman Belanda. Isinya banyak ‘bercerita’ tentang masa lalu. Mulai dari perlengkapan perang hingga peninggalan khas Tana Luwu seperti pelaminan, baju adat dan perabot rumah tangga. Sayangnya, untuk ngambil foto di museum ini harus ada ijin dari pihak pariwisata.
Kota Sejahtera
Palopo juga sangat dikenal sebagai penghasil buah. Durian, rambutan, langsat, dan jeruk, semua melimpah di kota ini! Nggak ketinggalan sagunya. Karena sagunya, Palopo dikenal sebagai Kota Kapurung. Kapurung adalah makanan khas Palopo yang terbuat dari sagu berkuah yang dicampur dengan sayuran hijau. Selain buah-buahan, Palopo dikenal sebagai penghasil cengkeh dan kakao. Jangan heran jika pertumbuhan ekonomi di kota ini sangat meningkat dibandingkan dengan kota lain di Sulawesi Selatan. So, sangat murah kalo ingin belanja buah. Tapi belanja pakaian dan sembako, harganya di atas rata-rata. Tapi itu tetap nggak ngaruh buat warganya yang punya penghasilan dari perkebunan.
Ya, meski Palopo nggak punya tempat wisata yang berkelas dunia seperti Tana Toraja, kota ini punya banyak jejak sejarah. Beberapa artikel menyebutkan, Islam pertama kali masuk di Sulawesi Selatan melalui bumi I Lagaligo ini. Sayangnya, sastra I Lagaligo yang masih banyak menganggapnya sebagai mitos ini, tak meninggalkan jejak kecuali cerita I Lagaligo yang berkembang di masyarakat. Karya sastra yang berbahasa Bugis dan ditulis dengan huruf Lontara’(aksara Bugis), naskah aslinya berada di Belanda. So, kalo mau melihat naskah asli I La Galigo jangan berlayar ke Palopo, tapi ke negeri kincir angin itu.*** Jazakillah to Ainil Rachimi di Palopo


















lanjutan cerita......

MENANTANG ANDREA HIRATA


MENANTANG ANDREA HIRATA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Saya punya banyak koleksi buku yang lembar pertamanya ditandatangani oleh penulisnya. Mulai dari penulis-penulis teman FLP hingga buku Serial Cinta Anis Matta. Tapi usai membaca Maryama Karpoov, saya tidak pernah kepikiran untuk memburu tanda tangan Andrea Hirata. Halaman pertama yang biasa kupakai untuk meminta tanda tangan penulis, malah kuisi dengan tanda tanganku. Ya, tanda tanganku! Tapi di atas tanda tangan itu kutulis sebuah catatan untuk Andrea Hirata: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Ya, kutulis seperti itu karena saya iri dengan Andrea Hirata yang banyak mengangkat ayahnya di Maryamah Karpoov.

MENANTANG ANDREA HIRATA
Saya punya banyak koleksi buku yang lembar pertamanya ditandatangani oleh penulisnya. Mulai dari penulis-penulis teman FLP hingga buku Serial Cinta Anis Matta. Tapi usai membaca Maryama Karpoov, saya tidak pernah kepikiran untuk memburu tanda tangan Andrea Hirata. Halaman pertama yang biasa kupakai untuk meminta tanda tangan penulis, malah kuisi dengan tanda tanganku. Ya, tanda tanganku! Tapi di atas tanda tangan itu kutulis sebuah catatan untuk Andrea Hirata: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Ya, kutulis seperti itu karena saya iri dengan Andrea Hirata yang banyak mengangkat ayahnya di Maryamah Karpoov.
Tapi sekali lagi, ayahku jauh lebih hebat dari ayah Andrea Hirata. Akan kuceritakan kehebatan ayahku yang baru saja kulalui bersamanya. Bukan narsis, cuma ingin membuktikan bahwa ayahku benar-benar hebat! Sekali lagi, Paling hebat sedunia!
Kuawali ceritaku dengan menuliskan profesinya. Ayahku petani. Sebenarnya dia sudah pernah ‘pensiun’ dari profesinya itu. Tinggal di rumah, mengaji, menemani cucunya (anak dari kakak), dan tak lupa ke mesjid salat berjamaah. Aku sendiri tak tahu berapa umur ayah sebenarnya. Yang jelas sudah tua. Mungkin lebih tepatnya disebut renta. Gaji ‘pensiunnya’ sudah tentu dari ketujuh anaknya yang semuanya sudah bekerja, ditambah dengan hasil pertanian yang didapatkan dari orang yang menggarap sawahnya. Di bawah rumah panggung kami, tak pernah kosong dari tumpukan gabah. Tak pernah kurang dari sepuluh karung hingga masa panen tiba lagi.
Musim tanam kali ini, ayah turun sawah lagi. Dia ingin menggarap sendiri sawahnya. Meski semua anaknya melarang. Ayah tetap keukeuh untuk kerja sawah lagi. Saat melewati musim tanam, kakak saya sakit. Cukup parah, hingga harus dibawa ke rumah sakit. Baru beberapa hari di rumah sakit, ayah dapat kabar lagi dari Palu, Sulawesi Tengah, kalau adiknya (paman saya) sakit parah dan masuk rumah sakit. Di luar dugaan, ayah memilih meninggalkan sawahnya yang sedang antri menunggu untuk dialiri air dari pengusaha yang biasanya memompakan air dari sungai kampung, juga meninggalkan anaknya yang sedang terbaring berjuntaian selang infus rumah sakit.
Itu masih hal kecil untuk dianggap sebagai ayah yang hebat? Cerita memang belum berakhir. Sebagai petani, apalagi di kampung, ayah juga adalah petani yang buta bahasa. Bahasa Indonesia ayah pas-pasan. Saat bicara, bahasa Indonesia ayah terpatah-patah, sangat-sangat pasif! Meskipun bisa membaca, itu pun tersendat-sendat. Maklum, ayahku tak tamat SD. Hebatnya, begitu mendengar kabar adiknya sakit di Palu, dia tak berpikir dua kali untuk datang menemuinya. Padahal begitu banyak sebenarnya yang harus dipertimbangkan. Sawahnya yang sedang menunggu air, anaknya yang sedang di rumah sakit, perjalanan dari kampungku ke Makassar yang butuh waktu empat jam perjalanan bis cepat. Padahal, setiap naik mobil ayah pasti mabok perjalanan hingga muntah. Dan terlebih yang harus dia pertimbangkan, dia buta bahasa, bagaimana mungkin dia masuk bandara internasional Sultan Hasanuddin? Tapi sekali lagi, dia sangat hebat!
***
Di Bandara Sultan Hasanuddin, kulihat duduknya gelisah. Aku berusaha menenangkannya. Aku juga sempat mati akal. Bagaimana ayah yang buta bahasa bisa masuk untuk memeriksakan tiketnya. Dia memang sering ke Palu dengan pesawat, tapi selalu ditemani salah seorang anaknya. Untungnya, aku punya kenalan cleaning service di bandara. Dengan minta bantuan ke dia, ayah bisa bernapas lega untuk masuk checkin. Sehabis checkin, ayah kembali ke teras bandara. Duduknya sangat gelisah. Berkali-kali kutenangkan dengan kalimat bahwa jika pesawatnya akan berangkat, kenalan saya yang cleaning service akan datang menjemputnya. Saya memang tak mau kalau ayah menunggu di waiting room penumpang. Takutnya, begitu penumpang yang lain beranjak ke pesawat, dia ikut beranjak, padahal bukan pesawat ke Palu. Bahkan nomor kursinya pun dia tak tahu.
Beberapa menit sebelum pesawatnya boarding, kenalan saya yang cleaning service datang menjemputnya. Kucium tangannya! Selamat berjuang, Ayah! Dia sangat ragu, dia bahkan memintaku untuk membayar security, asalkan security loloskan saya masuk untuk mengantarnya masuk ke kabin pesawat. Tapi tentu saja itu tak mungkin.
Ada haru sekaligus bangga pada ayah. Tanpa pernah dia sadari, dia yang buta bahasa, telah melahirkan tujuh orang anak. Tiga di antaranya adalah sarjana sastra. Dan saya sendiri adalah sarjana teknik, meskipun bukan sarjana sastra tapi saya adalah penulis yang telah beberapa kali menang lomba menulis tingkat nasional, punya beberapa buku, semua kampus di Makassar, bahkan hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan telah kudatangi untuk memberikan materi kepenulisan. Dan ayah yang buta bahasa itu, tak sadar jika dia adalah ayah dari seorang penulis. Ayah dari tiga orang sarjana sastra. Dia hanya sadar, bahwa dia harus pergi menemui adiknya yang sakit di Palu.
Lalu bagaimana dengan saya? Hanya karena sibuk mengajar, kakakku yang masuk rumah sakit di kampung, yang untuk menemuinya hanya dengan perjalanan empat jam bis cepat, tak sempat pulang untuk membesuknya. Satu lagi pelajaran berharga yang ayah didikkan untukku! Jauh sebelum pelajaran ini dia antarkan untukku, telah kutulis di lembaran pertama buku Maryamah Karpoov: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Dan lagi-lagi ayah membuktikan di bandara Sultan Hasanuddin malam itu, jika dia memang lebih hebat dari ayah Andrea Hirata!***





lanjutan cerita......

20.4.09

SAHABAT-SAHABAT YANG PERGI


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Kali ini, aku akan bercerita tentang kota yang selama ini menjadi persinggahanku. Sekitar lima kilometer sebelum memasuki kota Barru. Aku selalu singgah di sini, karena hasil ‘perhitungan’ spidometerku, daerah ini adalah median jarak yang harus kutempuh. Bagiku, kota yang paling membosankan setiap perjalanan pulangku adalah Barru. Terlalu panjang! Tapi kali ini, tak begitu panjang. Entah berawal dari mana, satu per satu sahabat yang pernah ada di kota Barru ini bermunculan menemani perjalananku.

SAHABAT-SAHABAT YANG PERGI
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Sehari setelah nyontreng, pagi-pagi sekali, aku bergegas pulang. Rindu pada ayah dan ibu memuncak untuk ditunaikan. Entah, apa namanya. Kekanak-kanakkan, cengeng, atau entah …. Aku tak pernah bisa bertahan di Makassar dua bulan, tanpa pulang menemui ayah dan ibu. Padahal, komunikasi lewat telepon tak pernah putus. Kali ini, Pemilu yang memberiku kesempatan pulang.
Seperti biasa, Honda yang kutunggangi tak hanya mengantarku tiba di pelukan rindu ayah dan ibu, juga selalu mengantarku ke lorong masa lalu dan melambungkanku ke mimpi masa depan. Sepanjang perjalanan juga akan menjadi lintasan muhasabah. Makassar – Sidrap, aku butuh waktu lebih kurang lima jam perjalanan, bahkan terkadang lebih karena hampir di setiap perjalanan pulangku, aku selalu menyempatkan untuk singgah shalat sekaligus tidur.
Kali ini, aku akan bercerita tentang kota yang selama ini menjadi persinggahanku. Sekitar lima kilometer sebelum memasuki kota Barru. Aku selalu singgah di sini, karena hasil ‘perhitungan’ spidometerku, daerah ini adalah median jarak yang harus kutempuh. Bagiku, kota yang paling membosankan setiap perjalanan pulangku adalah Barru. Terlalu panjang! Tapi kali ini, tak begitu panjang. Entah berawal dari mana, satu per satu sahabat yang pernah ada di kota Barru ini bermunculan menemani perjalananku.
Sahabat pertama yang muncul adalah sosok yang pernah muncul dalam hari-hariku saat masih kuliah dulu. Kami satu kosan. Meski tak terlalu akrab, mungkin sudah dikategorikan sebagai sahabat. Sukri namanya. Asli Barru! Orangnya rame. Suka bercanda. Bahkan candanya terkadang keterlaluan. Entah berapa menit, kenangan bersamanya melintas di benakku. Dan saat kenangan bersamanya berkelebat, teriring doa tulus untuknya. Doa ketenangan sekaligus kesejukan pada raganya yang kuyakin hanya tersisa tulang berserakan, tapi ruhnya akan tetap terhimpit bumi. Dia pergi secara tragis dalam sebuah kecelakaan yang meremukkan seluruh tubuhnya hingga tubuh itu bermandikan darahnya sendiri.
Terlalu tragis! Aku berusaha membuang kenangan itu. Menyeramkan untuk dikenang, apalagi sekarang aku pun sedang mengendarai motor. Dulu Sukri kecelakaan saat pulang kampung dengan mengendarai motor, sama dengan yang kulakukan saat ini. Sekali lagi, bayangan itu kutepis. Dan saat layar memoriku berganti, seorang cewek bermata lembut mengganti sosok Sukri di ingatanku. Seperti halnya Sukri, dia juga asli Barru. Aku mengenalnya saat pembekalan KKN. Kami satu kecamatan. Seniorku di Teknik yang memperkenalkan cewek berkulit putih lembut itu padaku. Dari tuturnya, kucoba menerka bahwa dia cewek yang juga berhati lembut.
Awalnya perkenalan itu ‘kuanginlalukan’ saja. Tapi dalam perjalanan ke Enrekang (lokasi KKN), ban mobil kempes. Kami turun istirahat. Dia datang menyodorkan kacang untukku. Kami menikmatinya tanpa suara hingga bis berangkat lagi.
Kedekatan kami akhirnya berubah menjadi sahabat ketika teman seposko di lokasi KKN, ternyata akrab dengan cewek itu karena satu fakultas di Ekonomi. Hingga suatu kesempatan, posko lagi sepi, dia transit di poskoku. Teman seposkoku lagi ke kota kabupaten. Sambil menunggu kendaraan yang akan ke poskonya, kami bercerita. Aku sudah lupa apa yang kami cerita. Tak ada yang istimewa. Tapi dari perbincangan kami, kutahu kalau senior yang memperkenalkannya padaku di acara pembekalan KKN adalah pacarnya. Tapi dari tatapannya, kutahu jika dia menyimpan sesuatu. Dan rahasia itu terbongkar saat seorang cowok, teman seposkonya datang menjemput. Aku berkesimpulan, mereka terjangkit virus cinta lokasi.
Persahabatan kami ternyata tak terputus meski KKN berakhir. Biasa bertemu di kampus, bahkan terkadang bertemu di rumah teman seposkoku yang sudah akrab duluan dengannya karena satu fakultas sekaligus bahkan program studi.
Ijinkan aku merahasiakan nama sahabatku itu.
Sahabat itu ternyata punya nasib cemerlang. Tak perlu susah payah cari kerja setelah wisuda, dia diterima kerja di sebuah perusahaan bonafid di Makassar. Jodohnya pun berkilau. Belum setahun kerja dia dilamar, dijodohkan tepatnya dengan seorang pengusaha. Tapi ternyata dia tak bisa menerima itu. Virus cinta lokasi yang menjangkitinya tak bisa dia jinakkan. Bahkan seniorku pun dia tepis. Tapi siapa yang bisa menolak jodoh? Pengusaha itu adalah jodohnya! Dan mereka harus menikah. Meski di malam pertamanya, dia melarikan diri dari rumah. Berlari mencari lelaki yang pernah menyuntikkan virus cinta lokasi untuknya.
Berlari dia menjauh. Sejauh mungkin. Tapi kaki tangan suaminya dapat menemukan dia di tempat persembunyiannya. Tapi itu belum berakhir. Hanya beberapa hari bermuka manis di depan suaminya, dia menghilang lagi.
Dan siapa sangka, itu adalah kepergiannya yang terakhir. Dia tak pernah kembali lagi. Dia pulang. Terakhir kudapatkan dia tergeletak, tak berdaya di ruangan rumah sakit. Aku dan teman KKN menEmukannya setelah seseorang menelpon kami untuk ke rumah sakit. Malam itu juga, persahabatan kami berakhir. Dia benar-benar pulang bersama lever yang menyerangnya. Dan perjalanan Sidrap - Makassar kali ini, tepat di Kabupaten Barru, kukenang sekaligus kukirim doa untuknya.
Sidrap masih jauh. Masih di Barru. Dua sahabat yang pergi itu membuatku terjaga, kapan giliranku? Kucoba mencari sahabat di Barru yang pernah hadir di masa lalu, tapi cepat kutepis. Cerita yang akan muncul jauh lebih tragis dari kisah Sukri dan cewek bermata lembut itu. Tapi sahabat-sahabat yang pergi itu sedikit menguatkanku, tak ada kisah yang kekal. Semua akan ber-ending…. ***



lanjutan cerita......

6.4.09

Bedah Buku Serial Cinta


Anis Matta adalah seorang di antara jutaan penulis yang menyuguhkan cinta untuk pembacanya. Sebuah buku yang tak bisa disebut sebagai buku tebal, tapi isinya adalah samudera yang menyimpan tumpukan mutiara cinta. Samudera yang ombaknya terkadang mengaduk-aduk perasaan, yang riaknya terkadang menghembuskan cinta sepoi-sepoi. Seperti samudera yang banyak menyimpan spices makhluk, buku ini juga menyimpan beragam jenis kisah cinta. Hingga siapa pun yang ‘menyelaminya’, bukan tak mungkin salah satu kisah di dalamnya akan membuatnya berkomentar; GUE BANGET!!!
SERIAL MANIS MANTAP*
Oleh: S. Gegge Mappangewa**
Berjuta puisi cinta telah tercipta sepanjang peradaban manusia. Cerpen cinta pun begitu, tak mau kalah! Novel, dan banyak lagi karya tulis yang mengulik tentang cinta. Ide cinta adalah aset penulis, mungkin bisa diumpamakan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui. Takkan pernah habis, takkan pernah menemui ending. Cinta akan selalu hadir mewarnai kisah hidup manusia.
Anis Matta adalah seorang di antara jutaan penulis yang menyuguhkan cinta untuk pembacanya. Sebuah buku yang tak bisa disebut sebagai buku tebal, tapi isinya adalah samudera yang menyimpan tumpukan mutiara cinta. Samudera yang ombaknya terkadang mengaduk-aduk perasaan, yang riaknya terkadang menghembuskan cinta sepoi-sepoi. Seperti samudera yang banyak menyimpan spices makhluk, buku ini juga menyimpan beragam jenis kisah cinta. Hingga siapa pun yang ‘menyelaminya’, bukan tak mungkin salah satu kisah di dalamnya akan membuatnya berkomentar; GUE BANGET!!!
Kehadiran Serial Cinta yang membawa dalil syair, lagu hingga ayat, membuat buku ini enak untuk dinikmati ‘lidah’ siapa pun. Isinya yang sangat-sangat ringkas membuatnya tak akan membosankan, tapi malah sebaliknya, membuat pembaca penasaran, atau bahkan lebih ‘terbalik lagi’, pembaca merasakan itu sebagai kisah tak sampai.
Pembiaran
Seperti halnya kebenaran yang harus diungkapkan meski itu pahit. Kepahitan pun harus diungkapkan, jika itu untuk kebenaran. Kepahitan Serial Cinta justru terjadi pada kesalahan-kesalahan kecil yang terbiarkan.
Ada hal yang tak biasa di buku, yang penulisnya sudah sangat terbiasa menulis ini. Beberapa kata dibiarkan tak sempurna hurufnya.
- Antagoni-antagoni harusnya antagonis-antagonis (hal. 3)
- Kenyaman harusnya kenyamanan (hal. 59)
- Menubuhkannya harusnya menumbuhkannya (hal 63)
- Tantanga harusnya tantangan (hal 66)
- Chamistry harusnya chemistry (hal 76)
- Confortability harusnya comfortably
- Tida harusnya tidak (hal 106)
- Harat harusnya harta (108)
- Mengelabuhi harusnya mengelabui (hal.116)
- Dll
Bahkan beberapa huruf yang tertukar posisinya atau bahkan terganti dengan huruf lain, telah mengubah maknanya. Seperti pada kalimat; Kalau benar hati sang raja (hal.12). Seharusnya kata kalau adalah galau. Begitu juga pada kata; keluruhan (hal. 112), sangat tidak nyambung dengan kalimatnya; Keagungan. Keluruhan. Ketinggian. Karena keluruhan yang dimaksud adalah keluhuran. Bahkan yang terparah pada halaman 66; Orang shalih selalu berada di garis bekajikan(harusnya; kebajikan) maksimun dan minum (harusnya minimum).
Pembiaran lain, penggunaan awalan pada kata di mana, di sana, dan di sini. Beberapa kata memang sudah dengan penulisan yang benar, tapi juga tak sedikit yang penulisannya bersambung; disana, disini, dimana ( hal. 130, 173, 186, 187,… .) memang sangat-sangat sepele, tapi itu adalah kaidah untuk membedakan awalan dan kata depan.
Kesalahan lain, beberapa kata atau kalimat yang merupakan istilah asing, tidak dicetak miring. Ini bukan hal sepele, karena kaidah cetak miring ini, sangat memberikan kenyamanan bagi pembaca. Contoh sederhana, siaga dalam bahasa Bugis berarti berapa. Sementara dalam bahasa Indonesia, siaga berarti siap sedia. Jika kata siaga dalam bahasa Bugis tidak dimiringkan, pembaca yang tak mengerti bahasa Bugis akan merasa tak nyaman. Contoh nyata pada Serial Cinta adalah kata duat. Tidak semua pembaca Serial Cinta, tak seluruh penggemar Anis Matta adalah aktivis dakwah, jadi di antara mereka akan ada yang tak tahu jika duat adalah bentuk jamak dari da’i. membaca kata duat yang tidak dicetak miring memungkinkan mereka beranggapan kalau kata duat adalah hasil salah cetak seperti halnya beberapa kata lain yang hurufnya tertukar atau tertinggal.
Serial Manis Mantap
Meski Serial Cinta dihitamkan dengan pembiaran-pembiaran yang mengusik kenyamanan pembacanya, buku ini tetaplah berasa manis karena diksinya. Diksi yang hanya bisa dituliskan oleh penulis yang berhati romantis religius serupa Anis Matta. Diksi adalah pilihan kata. Ya, pilihan! Penulis Anis Matta tak mungkin memilih kata semanis itu jika dia tak punya perbendaharaan kata romantis nan religius yang sering didzikirkan dalam tulisannya, dalam ucapannya. Tak hanya diksi manis yang disuguhkan, pendalaman filosofis dan historis di dalamnya, membuat buku ini sangat mantap untuk dikonsumsi para sang pencinta.
Dan sekali lagi, setelah membacanya, akan ada seri dalam buku ini yang membuat pembacanya ‘bersendawa’ dalam hati; Gue Banget!!! Karena memang, buku ini mengisahkan semua rasa cinta yang pernah ada.
The last but not least, Jika orang berpuasa dianjurkan untuk berbuka dengan yang manis, maka bagi yang ingin memilih bacaan, pilihlah yang manis dan mantap seperti tulisan Anis Matta. Serial Cinta, salah satunya!
***
*Dibawakan pada acara bedah buku Serial Cinta karya Anis Matta, tanggal 22 Februari, di STIE LAN Makassar.


lanjutan cerita......

5.4.09

Sekolah Kundang (Cerpen Pemenang I Lomba Menulis cerpen Majalah Annida 2008)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.

TATAPANNYA melarangku pergi. Biasnya jauh berbeda dengan tatapannya dua bulan lalu, saat aku berdiri di depan kelasnya yang berdindingkan papan lapuk, untuk memperkenalkan diri sebagai guru baru. Beberapa bangku dan meja hampir senasib dengan dindingnya. Sebagian tripleks papan tulisnya pun telah terkelupas. Untung ada gambar Sultan Hasanuddin dan Cut Nyak Dien yang menghiasi dinding, hingga kelas itu sedikit berbeda dengan gudang. Pemandangan itu akan kutinggal kini.
”Jangan pergi, Kak!” Bukan hanya tatapan. Kini hatinya kudengar merintih. Meski bibirnya takkan pernah sanggup mengucapkan kalimat itu untukku.
Di luar rumah mulai ramai. Murid-muridku yang tak lebih dari tiga puluh orang dari tiga kelas yang tersedia di sekolahnya, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk melepas kepergianku. Kuraih jas almamater, lalu keluar menemuinya. Rustan, yang tatapan dan lirih hatinya dari tadi melarangku untuk pergi, mengikuti langkahku dari belakang.
”Kak Galang...!” teriak mereka dari depan tangga rumah panggung.
Aku berdiri di puncak tangga. Bukan hanya murid-muridku yang datang, tapi juga orangtuanya, beserta oleh-oleh untukku. Bawang merah, kol, kentang, wortel, dan banyak lagi jenis sayuran lain. Telah berdiri satu karung penuh isi, masih tersisa beberapa sayuran lagi yang belum masuk dalam karung. Kutatap satu per satu. Dua puluh tujuh orang. Semua hadir untuk melepas kepergianku.
”Kak Galang, jangan lupakan kami ya!” Rustan berucap dari belakangku.
Mereka memang memanggil kakak padaku. Aku tak mengajarnya memanggil pak guru. Aku ingin memasuki hati mereka tanpa ada batas. Ada kasihan yang mendarahkan perasaanku saat pertama menemukan mereka di kelas yang gaduh karena tak ada guru. Di sebuah dusun terpencil. Di antara perkebunan kopi dan ladang bawang. Di antara harapan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.
Awalnya aku bergidik membayangkan saat harus ditugaskan di sana. Di sebuah SD Kecil. Kecil karena muridnya hanya kelas satu hingga kelas tiga. Setelah naik kelas empat mereka akan dipindahkan ke satu-satunya sekolah negeri yang ada di Tongko, desa induk. Sekolah ini dibangun karena anak kelas satu hingga kelas tiga masih terlalu kecil untuk menenteng tas menyelusuri bukit, menyeberangi sungai, berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah satu-satunya yang ada di Tongko. Kalimbua nama dusun ini. Aku rela berpisah dengan teman KKN yang berposko di Tongko setelah mendengar cerita kepala desa tentang SD Kecil yang lebih banyak belajar bermain. Bukan metode active learning, tapi bermain sendiri tanpa guru.
Mungkin inilah yang disebut panggilan jiwa. Selain rela berpisah dengan teman-teman posko, tentu saja aku rela jadi guru tanpa bayaran. Padahal di Makassar, di tempatku mengajar, aku hanya berpredikat guru freelance karena masih harus sibuk dengan kuliah, tapi saat datang mengajukan lamaran sebagai guru Writing Process, aku tak segan-segan menyebut angka gaji yang kuinginkan. Pikirku, semua harus dibeli. Meskipun aku bukan mahasiswa kependidikan yang berbekal ilmu keguruan, tapi pengalamanku sebagai penulis yang harus dibayar.
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.
Perbedaan yang sangat jauh. Di kota, orangtua menyambut anaknya pulang sekolah tidak dengan pertanyaan, ”Belajar apa tadi di sekolah, Nak?” tapi ”Guru siapa yang tadi menghukummu, Nak?” Sementara di kampung, orangtua murid yang datang sekolah yang meminta anaknya dihukum bila tidak taat peraturan sekolah apalagi tidak mau belajar.
”Kak Galang, kemarin saya demam. Nggak masuk sekolah. Padahal kemarin belajar bilangan ganjil dan genap. Saya tertinggal dong!” ucap Nuraeni.
Aku menuruni tangga setelah beberapa lama membiarkan diri dengan lamunanku. Semua oleh-oleh telah dikemas dalam karung. Tiga karung setengah. Tiga karung sayur-mayur dan setengahnya adalah buah alpukat dan segala macam kopi. Biji kopi yang belum digiling tapi sudah dipanggang, kopi bubuk, bahkan ada biji kopi yang masih harus dijemur lagi karena baru dipetik kemarin. Seolah tak ada yang tak mau memberiku oleh-oleh, tanpa pernah berpikir kalau aku tak tahu bagaimana menjemur kopi, apalagi mengelolanya hingga menjadi kopi bubuk.
”Sangat mudah membedakan bilangan ganjil dan genap,” tatapannya sangat senang menerima pelajaran tambahan itu.
Aku lalu memberi privat pada Nuraeni. Menyuruhnya menghitung dengan sepuluh jari tangan. Hitungan pertama dengan telunjuk kanan, hitungan kedua pindah ke telunjuk kiri, lalu jari tengah kanan di hitungan ketiga, begitu seterusnya hingga berakhir di ibu jari kiri di hitungan kesepuluh.
”Sekarang menghitung sampai tujuh dengan cara seperti tadi!”
Nuraeni dengan cepat menghitung sambil menaikkan jari kanan dan jari kiri secara bergantian. Tepat di hitungan ketujuh, tangan kanannya menampilkan empat jari kecuali ibu jari, dan tangan kirinya dengan tiga jari.
”Sekarang pasangkan jari-jari yang kanan dengan yang kiri!”
”Jari kelingking kanan nggak ada pasangannya, Kak!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan jari kelingkingnya.
”Itu berarti angka tujuh adalah bilangan ganjil, karena salah satu jari kamu nggak punya pasangan. Kalo semua jari punya pasangan, berarti itu bilangan genap.”
”Tapi jari saya cuma sepuluh. Kalo angkanya 38, gimana?”
”Ambil angka yang terakhir, yaitu delapan!”
Dia kemudian menghitung dengan metode seperti yang kuajarkan. Saat tiba di hitungan kedelapan, di mana tangan kanan dan tangan kirinya menampilkan masing-masing empat jari, kecuali ibu jari, dia memasangkan jari-jari tersebut.
”Semua ada pasangannya. Berarti 38 itu bilangan genap!” ucapnya.
Dalam lima menit, Nuraeni telah bisa membedakan bilangan ganjil dan bilangan genap. Cara seperti itu sebenarnya tak pernah kudapatkan di bangku sekolah, tapi dulu diajarkan oleh mama saat menemaniku belajar. Mama memang cerdas, selalu mencari cara cepat saat mengajarku di rumah. Padahal mama bukanlah guru, tapi tentu saja tetaplah pendidik bagi aku, anaknya.
”Sudah pukul sebelas!” ucap salah seorang dari orangtua murid.
Aku terjaga. Hari ini aku sudah harus di Tongko sebelum ashar, karena penutupan sekaligus pelepasan mahasiswa KKN akan dilaksanakan ba’da ashar di kecamatan. Intania, murid kelas satu yang selalu terlambat datang ke sekolah karena rumahnya yang jauh dari sekolah, sudah memperlihatkan kelopak mata yang penuh dengan air mata. Tapi belum menangis.
”Kalo Kak Galang mau tinggal di sini, saya nggak akan terlambat lagi ke sekolah. Saya janji akan berangkat subuh-subuh ke sekolah.”
Kantong air mata yang dari tadi dipertahankan keutuhannya, bocor kini. Rupanya masih ada bagian dari negeri ini, di mana ilmu masih sangat langka, yang untuk mendapatkannya haruslah mengemis, menangis, seperti yang dilakukan Intania untukku. Padahal Kalimbua bukanlah suku terpinggirkan. Hanya butuh perjalanan lima jam untuk tiba di desa induk. Dan dari desa induk, hanya butuh dua jam untuk tiba di kota kecamatan. Pasar-pasar di Makassar, hampir semuanya mensuplai sayuran dari sini untuk kemudian dijual, bahkan pasarannya hingga ke Kalimantan. Tak cukup sepuluh kilometer dari kota kecamatan, berdiri gapura batas kabupaten, yang bertuliskan ”Selamat Datang Di Tana Toraja” daerah wisata yang terkenal hingga ke mancanegara. Tapi SD Kecil Kalimbua tak pernah dilirik.
Akan kuceritakan pada siapa pun bahwa kebanggaan yang paling luar biasa bagi seseorang adalah saat dia begitu berarti bagi orang lain. Tapi kenapa SD Kecil ini sering ditinggalkan oleh gurunya? Akhh, aku lupa suatu hal. SD Kecil ini berdiri atas swadaya masyarakat, karena keprihatinan mereka pada anaknya yang masih kecil yang tidak memungkinkan untuk pergi sekolah dengan jalan kaki.
Akhirnya niat masyarakat itu dijembatani oleh seorang guru yang kemudian mengaku sebagai pemrakarsa berdirinya SD Kecil. Saat yang tepat, karena guru tersebut memang hanya mencari popularitas untuk kemudian diprioritaskan dalam kenaikan pangkat. Pihak Diknas, menangkap itu sebagai ide cemerlang. Tapi setelah SD Kecil terbentuk, tak seperti yang diprogramkan. Tiga guru yang bertugas di sana tak ada yang betah. Tentu saja dengan alasan daerahnya yang terisolasi. Toh gaji diterima setiap awal bulan, meski mengajarnya hanya terkadang akhir bulan sampai awal bulan.
”Saatnya Kak Galang untuk berangkat!”
Aku tahu kalimatku tidak diinginkan. Semua mematung. Sementara kabut tebal yang selalu menyelimuti Kalimbua, mulai menipis pertanda pagi telah beranjak. Di dusun ini, matahari memang terkadang tak muncul berhari-hari. Hanya kabut yang setia membawa dingin. Iklim dingin seperti itu yang membuat daerah ini kaya akan sayur-sayuran. Aku memberanikan diri melangkah saat semua mematung menatapku.
”Harusnya Kak Galang tak pernah ada bersama kami.” Nuraeni mengucapkan itu dengan tangis. Dia melepaskan ayam yang terikat kakinya, yang digendongnya dari tadi, lalu berlari menumpahkan tangis di pelukan ayahnya.
Ternyata perpisahan ini terlalu melukakan baginya, hingga berpikir aku lebih baik tak pernah ada di kehidupannya daripada harus datang sesaat lalu pergi.
Kulirik jam di pergelanganku. Melihat kegelisahan itu, Rustan yang dari tadi berdiri di sampingku berlari naik ke rumah. Dia kemudian datang membawakan careel-ku. Rustan memang paling dekat dengan saya selama ini, karena selama dua bulan aku menginap di rumahnya. Mungkin karena hampir tiap malam mendengar cerita tentang kuliah dan pekerjaanku sebagai guru freelance hingga dia sangat sadar bahwa aku memang harus pergi.
”Oleh-olehnya gimana?” ucapku saat careel telah memeluk punggungku dari belakang. Ucapan yang sangat terbata, takut semakin melukai perasaan mereka. Tapi bagaimana mungkin aku membawa oleh-oleh sebanyak tiga karung setengah sementara untuk berjalan kaki tanpa beban pun menuju Tongko sangatlah berat.
”Ambil oleh-olehnya masing-masing!” perintah Rustan.
Anak ini punya bakat jadi pemimpin. Padahal dia baru kelas dua, tapi mampu membuat teman-temannya menatapnya sebagai murid paling dewasa di sekolahnya. Aku belum mengerti apa yang akan mereka lakukan. Semua isi karung itu dikeluarkan dan mereka memegang oleh-olehnya masing-masing.
”Kita antar Kak Galang sampai ke Tongko!” perintah Rustan.
”Horeee...!”
Kesedihan yang tadi membekukan, kini cair. Jadilah kami seperti rombongan karnaval. Jalan berbaris menyusuri perkebunan kopi dan ladang sayur-sayuran. Orangtua mereka ikut dari belakang, meski tak bisa ikut bernyanyi seperti yang sesekali aku lakukan bersama murid-muridku. Lima kilometer dilalui dengan tawa ceria. Berlarian. Beberapa siung bawang merah berjatuhan di pematang, saat anak yang membawanya tergelincir dan jatuh.
Teman-teman posko menyambut kedatanganku dengan mata melotot. Dia tak pernah menyangka kepergianku dilepas dengan ’karnaval’ panjang seperti itu. Tak ada lelah di mata mereka. Keceriaan tadi berganti lagi dengan kesedihan. Apalagi bis yang akan membawa kami pergi telah parkir di depan rumah kepala desa.
Di antara sedih, dibantu orangtuanya, mereka memasukkan kembali oleh-oleh itu ke dalam karung. Nuraeni menyerahkan langsung ayamnya padaku, tentu saja diiringi air mata. Teman-teman posko yang hendak usil dengan mengomentari ayam pemberian itu, jadi kelu. Isak Nuraeni pecah. Aku memeluknya. Kabut datang menyelimuti Tongko, seolah ingin menyembunyikan air mataku.
Tak hanya kabut. Tarian angin yang selama ini terkadang hanya berhembus sepoi, kini meliuk keras hingga membuat pohon-pohon yang harusnya ikut kelu dengan perpisahan ini, harus ikut menari. Tertiup angin, kabut yang menggulung dari Gunung Tongko, tercerai-berai, jatuh satu per satu setelah menipis seperti potongan-potongan kecil benang putih. Tipis. Menyerupai musim salju.
”Kalian harus rajin belajar, biar pintar seperti Kak Galang!”
Suaraku seolah tak terdengar. Aku sadar telah menangis. Mereka menikmati kesedihannya dengan menatapku tiada lepas. Satu per satu mereka datang mencium tanganku, memelukku hingga bahuku basah air mata.
”Kak Galang suatu saat akan kembali ke sini kan?” ucap Rustan. Satu-satunya murid yang mampu berucap saat memelukku. Yang lain hanya diam. Kerongkongan mereka hanya mampu mengeluarkan suara tangis yang kadang tertahan, membuat tangis itu terdengar semakin melukakan.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya hingga bis membunyikan klakson. Kulepas jas almamaterku, lalu kupasangkan di tubuh kecil Rustan. Meski dia sangat bahagia dengan pemberian itu, air matanya tetap saja datang mewakili sisi hatinya yang terluka.
Wajah mereka benar-benar hampa akan harapan saat aku melangkah menaiki bis. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan perihnya patah hati. Aku yakin, baginya, ini lebih dari patah hati. Setelah diberi harapan menapak masa depan, mengejar cita-cita, meraih bintang, tiba-tiba kompas yang diharapkannya harus hilang. Air mataku luruh. Lenganku bahkan tak bisa kuangkat untuk membalas lambaiannya, padahal bis sudah beranjak perlahan. Bergerak menjauh dari mereka, semakin jauh. Hingga akhirnya, hanya ruang di balik dadaku yang mampu mendengar tangis kehilangannya.
***
Acara pelepasan mahasiswa KKN di kota kecamatan, berlalu begitu saja. Suara tangis murid-muridku masih mengiang jelas. Sosoknya masih terbayang jelas.
”Kamu kenal dengan orang yang membawa kata sambutan di atas sana?” tanya Fauzi, teman posko yang kebetulan duduk berdampingan denganku.
Aku tak usah menjawab, karena kutahu itu retoris untukku. Sosok itu juga yang mewakili pak camat karena tak sempat hadir, membawa kata sambutan saat kami baru datang di wilayahnya ini dua bulan lalu.
”Dia itu alumni SD Kecil tempatmu mengabdi dua bulan.”
Aku menatap Fauzi tak percaya, tapi dia meyakinkanku dengan anggukan. Katanya, menurut cerita kepala desa, masih banyak pejabat kabupaten yang dulunya sekolah di SD Kecil itu, bahkan ada yang sudah menjadi anggota dewan. Bukan karena dulunya SD Kecil itu sekolah unggulan, tapi karena SD Kecil itu mendidik orang-orang yang berkemauan besar untuk maju.
Tapi mengapa tak ada yang kembali untuk membangunnya? Bukankah SD Kecil itu yang telah membuat mereka menjadi orang besar?
Sekolah itu telah mereka anggap sebagai ibu yang telah menelantarkannya dulu. Tak bisa memberi ASI yang cukup apalagi gizi sempurna. Dan giliran mereka sekarang untuk menelantarkan SD Kecil itu. Mungkin mereka telah merasa berhasil membalas sakit hatinya dengan ’mengutuk’ sekolah itu jadi batu, tak bisa tumbuh besar. Tapi, tanpa pernah mereka sadari, mereka juga adalah Pejabat Kundang. Guru-guru yang makan gaji dari sekolah itu, namun tak pernah mengabdi, juga adalah Guru Kundang.
Itu hanyalah sebagian kecil kedurhakaan, yang tanpa disadari telah membuat bumi ini sering murka.***


lanjutan cerita......