17.12.09

INI KISAH SAYA


Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai air mata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep… semua!! Saya tak boleh bermimpi, saya harus tetap terjaga bahwa saya hanyalah pecundang.
“Kamu pengecut!”
“Biarin!”
“Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir.”
“Kamu bukan saya, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa saya telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis.”
Pffuihh…! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!

INI KISAH SAYA
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SAAT membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi sound track kisah ini.
Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka
… … …
***
Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendirianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai air mata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep… semua!! Saya tak boleh bermimpi, saya harus tetap terjaga bahwa saya hanyalah pecundang.
“Kamu pengecut!”
“Biarin!”
“Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir.”
“Kamu bukan saya, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa saya telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis.”
Pffuihh…! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!
“Jadi kamu pikir, kemiskinan yang kamu sandang adalah luka? Semua ketaksempurnaan yang kamu miliki adalah kesalahan Tuhan karena telah pilih kasih?”
“Cukup! Saya tidak pernah menyalahkan Tuhan,” potongku saat untuk yang kedua kalinya dia menyebut nama Tuhan di depanku.
“Lalu kenapa masih mau bersembunyi dari semua orang?”
Desah napas keras seolah mengakhiri napasku. Saya memilih bisu. Benakku tetap merangkai untaian kalimat, sekilau mutiara, saat tertuang dalam kisah puisi ataupun cerpen, semua akan kagum. Mataku tetap menatap wajah Sandi, sahabatku. Sesekali kuburu dan kucari tatapannya, saat dia membuangnya dariku. Sinis!
Sandi satu-satunya yang tahu, jika Rudi Wijaya, yang selama ini digilai penikmat puisi dan cerpen remaja, adalah saya. Dan saya tak ingin, ada yang lain tahu. Saya lebih betah menjadi seorang Safar, nama asliku, daripada seorang Rudi Wijaya, nama pena yang sering kugunakan di setiap tulisanku.
Ya, saya bangga dengan diriku sebagai Safar. Seorang pekerja keras, yang tak pernah puas meski orang telah memujanya. Saya hanya bisa tersenyum, menertawai, ketika semua orang memujiku dan menganggap novel yang kuterbitkan indie, dan terjual laris meski saya pemula, adalah keajaiban.
Bagiku, dunia ini tak lagi menyisakan keajaiban. Semua harus ditukar dengan kerja keras. Terlalu menghina, novel yang kutulis selama tiga tahun, dan mendapat predikat The Best Seller, disebutnya sebagai keajaiban.
Patutkah disebut sebagai keajaiban, jika novel itu awalnya kutulis dalam bentuk steno, di atas kertas buram? Bukan kurang kerjaan, meski memang kekurangan kertas. Juga kekurangan dana, hingga steno itu adalah paket hemat, yang membuat biaya rental komputerku menjadi irit. Saya pernah punya mimpi. Punya komputer, dalam sebuah kamar yang ber-AC. Menarikan jari di atas keyboard komputer, sambil sesekali meneguk kopi susu. Tapi benar-benar hanya mimpi!
Masihkah ada yang mau menyebutnya sebagai keajaiban, jika tahu bahwa novel yang kini di tangannya, membuatnya terkagum-kagum, tertunda terbit karena saya harus menunggu celengan ayamku penuh, lalu kupecahkan. Semua karena harus kuterbitkan indie dan kubiayai sendiri. Tak adakah yang bertanya, mengapa novel yang di tangannya begitu buram, hasil foto copy, dan terbit pada sebuah penerbitan yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya?
Jika bukan keinginan yang keras seorang Safar, novel indie itu takkan pernah ada. Terlebih takkan ada seorang Rudi Wijaya, yang kini dielu-elukan. Karenanya, saya benci pada diriku sebagai seorang Rudi Wijaya. Tahunya hanya menangis, dan melarikan diri dalam negeri khayalannya.
“Apa lagi yang menghalangimu untuk memiliki Tania? Kamu tinggal bilang, kamu adalah Rudi Wijaya, yang selalu dielu-elukannya selama ini. Kamu tinggal mencopot nama Safar dari dirimu, lalu berganti menjadi Rudi wijaya.”
“Tania terlalu…”
Sandi memotong.”Terlalu tinggi untuk kau gapai? Begitu? Selamat datang di alam nyata, Safar. Kamu nggak sedang bermain di negeri khayalan yang sering kau ciptakan. Hanya negeri dongeng yang selalu menjadikan cowok tajir hanya sepadan dengan cewek tajir pula.”
Percuma saya jawab. Bicaraku hanya sia-sia. Sandi takkan pernah menyerah untuk memberiku semangat.
Dia benar. Mungkin terlalu lama larut dalam dunia fiksi, hingga saya tak pernah yakin bahwa ada dunia di luar imajinasiku. Dunia nyata. Dunia yang memungkinkan apa pun bisa terjadi. Seperti kejadian yang selalu kuangankan, bahwa Tania yang cantik, kaya, bisa dimiliki oleh seorang Safar yang…? Akh, saya takut melanjutkan kalimatku sendiri.
Tuhan, benarkah ada pungguk yang mewujudkan rindunya pada bulan? Tania bulan yang kumau. Hanya dia! Namanya bersarang di benakku. Sesekali terbang, namun akan selalu kembali dan hinggap di ranting hatiku yang rapuh.
“Saya yakin kamu telah ngaca, Safar. Tapi jangan karena dirimu cakep, lalu memberanikan diri mengirim surat untukku,” ucap Tania saat itu.
Tak hanya berucap. Tania juga membanting pintu mobil, lalu menghamburkan sobekan suratku yang telah dicabiknya, Sakit. Butuh perjalanan waktu yang panjang, butuh benang jahitan yang panjang untuk menyatukan kembali bekas sayatan luka yang Tania goreskan. Syukurku, saat itu tak ada yang melihatku. Tak sepasang mata pun menyaksikan saya tergeletak. Menggelepar seperti unggas yang terkena peluru.
Luka itu menjadi rahasia hidupku. Tapi tak kumengerti. Disakiti serupa itu, mengapa tetap saja saya mengharap. Tak adakah Tania yang lain, Tuhan? Tak adakah Tania lain yang pantas untukku? Saya tak butuh banyak. Satu saja!
Salahku mencinta pada rupa. Hingga tak bisa memuji, jika tak serupa Tania. Serupa cantiknya. Andai ada Tania lain, saya tak butuh dia berpunya ataupun bermewah-mewahan. Saya hanya butuh Tania yang setiap kudapatkan matanya, seperti kejatuhan bola salju. Luka lalu beku! Saya butuh Tania yang air mukanya selalu memancingku untuk tersenyum, meski telah dilukainya. Bahkan dibekukan!
“Kamu belum jera juga?” begitu kata Tania saat mendapatkan saya menatapnya di kantin yang sepi.
“Jangan karena saya nggak pernah jalan dengan cowok mana pun, hingga kamu dengan berani mau melangkah di sisiku sebagai pacar. Nggak akan, Safar! Saya punya cowok. Bukan di sekolah ini! Dia adalah…” kalimatnya terhenti.
Bukan saya yang memotong kalimat itu. Terhenti sendiri lalu melanjutkan langkah meninggalkanku. Cinta memberiku energi untuk memburunya.
“Siapa cowok itu, Tania? Katakan padaku, tunjukan dan suruh cowok itu menghajarku habis-habisan. Agar saya jera mencintaimu. Agar saya takut berharap pada mimpi manis yang nggak pernah bisa kukecap. Saya harus bertemu cowok itu. Saya butuh orang yang bisa membuatku terjaga bahwa kamu nggak bisa kumiliki. Siapa orang itu?”
Saya seperti tak sadar apa apa yang kututurkan. Inilah kalimat terpanjang yang kuungkapkan pada Tania selama ini. Bahkan dalam surat untuknya pun, saya cuma berani berkalimat:
Kamu pernah melihat pungguk? Kalaupun pungguk benar-benar ada, tapi bagiku burung itu hanyalah kiasan untuk memberi antonim pada bulan yang cantik. Pungguk itu berkaki dua, tak punya sayap, bagaimana mungkin terbang ke bulan. Pungguk itu bernama Safar, Tania! Saya tak mungkin menggapaimu, maka jatuhlah untukku!
“Jadi kamu mau kenal dengan cowokku?”
Tania membuka tas. Mungkin untuk mengambil HP, lalu memperkenalkanku dengan cowoknya, atau mengambil foto dari tasnya. Tapi apa yang keluar dari tas itu membuatku tersentak.
“Ini dia orangnya!” ucapnya membusung dada.
Mataku terbelalak. Sebuah novel indie berjudul Kubawa Senja Pulang, dihempaskannya di meja tepat di depan mataku. Di situ tertulis nama penulisnya, Rudi Wijaya!
Itu namaku, Tania! Bisaku hanya membatin. Nama penaku. Nama seekor burung yang sering disebut sebagai pungguk. Itu adalah saya. S-a-y-a! Safar, yang begitu banyak orang meliriknya karena cakep, tapi banyak juga yang terhenyak ketika tahu bahwa saya anak seorang pembantu rumah tangga yang sering dibentak oleh Tania, anak majikannya.
Harusnya giliran saya yang membusung dada, jika Rudi Wijaya itu adalah saya. Safar! Tapi saya takut, Tania hanya menertawaiku. Biarlah, dia memujaku sebagai Rudi Wijaya, mungkin hingga sebuah keajaiban menyatukan kami.
Keajaiban? Saya menggeleng. Keajaiban tiada ada.
Saya beranikan tersenyum untuk Tania. Meski dia balas dengan cibiran. Saya minta maaf atas salahku yang terlalu lancang mencintai Tania, anak majikan ibuku. Uluran tanganku tak disambutnya.
Saya bisa mengerti. Tania tak pernah menduga, perlakuannya untukku yang seolah bukan anak pembantu di rumahnya, membuatku salah menterjemahkan kebaikannya padaku.
***
Selesai membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, tetap mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi sound track kisah ini.
Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka

Kau beri rasa yang berbeda
Mungkin kusalah
mengartikannya

Kau hancurkan hatiku…hancurkan lagi
Ntuk melihatku…

Ini kisah saya. Bukan sembarang saya mengambil lagu ini sebagai sound track kisahku. Bukan kesamaan kisah, tapi kesamaan rupa antara saya dan Ariel Peterpan. Ya, saya mirip Ariel. Sangat mirip! Esok atau lusa, kamu bertemu Ariel, hati-hati minta tanda tangan dan foto bareng. Jangan sampai salah orang, bukan tak mungkin itu saya, Safar. Penulis yang memakai nama pena, Rudi Wijaya!***








lanjutan cerita......

16.12.09

Orkestra Dua Hati


Mello telah mencuri hatinya lewat pandangan, dan kini ditekuk dengan senyuman. Dia semakin yakin, jika dia tak bertepuk sebelah tangan karena saat lagu Purnama Merindu selesai, Mello memberi standing applause yang diikuti oleh penonton lainnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya pertunjukan yang duiikuti Andry mendapat sambutan serupa itu. Entah karena memang telah memberikan pertunjukan yang terbaik, atau karena standing applause tadi dimulai oleh Mello.


ORKESTRA DUA HATI
Oleh: S. Gegge Mappangewa/Andi Tenri Dala F

Akhirnya Andry bisa mewujudkan mimpinya untuk mengunjungi Makasar. Bukan dari hasil tabungannya, yang selama ini selalu disisihkannya demi mengunjungi kota Anging Mammiri itu. Melainkan dari keseriusannya belajar musik. Bakat main biolanya, bermula dari kuartet gesek tempatnya bergabung, yang selalu pentas di setiap ada acara sekolah. Merasa sepi tanpa mendengar gesekan biola, dia bergabung dengan kelompok orkestra, tentu saja setelah audisi dan permainan biolanya dapat diperhitungkan.
Selain di biola, Andry juga sering memainkan alat musik tiup, entah itu flute, klarinet, ataupun terompet dan tuba. Tapi dari kelompok orkestranya, dia lebih dipercaya untuk bermain biola.
Kelompok orkestra itu yang kini menerbangkannya ke Makassar. Asyiknya lagi, dia punya waktu sebulan untuk mengitari setiap jengkal Makassar. Karena pertunjukan kali ini, akan bergabung dengan kelompok orkestra Makassar, sehingga butuh waktu untuk latihan bersama. Dan lagi-lagi, Andry mendapat keberuntungan karena dia yang bermain di biola satu, dipasangkan dengan Cenrani, pemain biola dari orkestra Makassar. Di setiap jeda waktu, entah itu saat latihan apalagi saat jam istirahat, Cenrani banyak memberinya cerita tentang Makassar.
“Orkestra di Makassar belum terlalu digilai. Penikmatnya masih kebanyakan dari kaum pejabat, ningrat, pokoknya kalangan atas!”
Andry membulatkan mata saat menerima kalimat Cenrani itu.
“Kesempatan dong buat aku dapat pangeran saat konser nanti,” candanya.
“Kamu serius mau dapat pangeran dari Makassar?”
“Aku cuma tertarik sama kotanya. Biasanya sih, cowok Makassar kasar-kasar. Apa itu karena pengaruh gelar Ayam Jantan dari Timur? Jadinya suka berantem!”
“Eh, Ayam Tantan dari Timur jangan cuma diartikan dengan keberanian. Ayam jantan juga melambangkan kesadaran akan waktu. Lihat aja, mana ada ayam jantan yang malas-malasan? Setiap subuh datang, dia yang duluan bangun dan memberi berita jika pagi telah datang.”
“Kalo gitu, kita liat aja nanti. kalo ada yang cakep, apalagi anak pejabat. Kenapa nggak?” balas Andry, masih dengan canda.
***
Di balik tirai panggung, para pemain orkestra telah duduk rapi dengan alat musik di tangan masing-masing. Andry dan Cenrani menggunakan stand music dan partitur yang sama, di barisan paling depan. Begitu tirai terbuka, para penonton memberi applause riuh. Dirigen beraksi, musik pun melantun asyik. Dengan didominasi suara gesekan biola, lagu Anging Mammiri yang di-arrangement untuk orkestra menjadi lagu pembuka pertunjukan.
Andry terpukau melihat seluruh kursi yang tersedia di baruga Andi Pangerang Pettarani, terisi. Meskipun di barisan paling depan, ada yang kosong, Andry yakin karena pemiliknya terlambat.
Dan benar adanya, saat lagu Anging Mammiri hendak usai, seorang cowok berkulit putih bersih, berjalan ke arah kursi kosong itu. Cenrani menyenggol kaki Andry yang dari tadi memainkan biolanya, tanpa perhatian penuh pada partitur yang di depannya.
Setiap ada tanda berhenti, Andry bukannya konsentrasi pada partitur atau memperhatikan dirigen, dia asyik beradu pandang dengan Mello, cowok yang duduk di barisan depan itu. Cenrani yang di sampingnya ikut buyar konsentrasinya karena mengkhawatirkan Andry. Dia tahu kepiawaian Andry main biola, tapi lagu Anging Mammiri ini baru kali ini dimainkannya. Bukan tak mungkin akan salah not, atau bahkan memainkan biola sebelum saatnya, setelah saat tanda istirahat beberapa bar.
Sementara di pihak hati Mello, cowok itu tak hanya salut pada kepaiawaian Andry menggesek senar biolanya, tapi juga pada bola mata Andry yang indah dan sesekali menyapu bersih wajahnya. Mello suka dengan tatapan itu, tapi dia tak kuasa untuk terus melayaninya dengan membalas tatapannya. Terkadang, dia lebih memilih tunduk jika Andry tak mau mengalah duluan.
“Kamu kenal cowok yang datang terlambat itu?” tanya Andry saat tirai panggung tertutup kembali, setelah memainkan beberapa lagu pembuka.
“Aku dari tadi menginginkan jam istrahat ini. Siapapun cowok itu, aku nggak mau pertunjukan malam ini gagal. Ingat Andry, kamu nggak hanya membawakan nama orkestra kamu, ataupun kelompok orkestraku. Kita memperkenalkan orkestra, Ndry! Selama ini hanya kalangan orang atas yang suka bahkan kenal dengan orkestra.”
“Jadi cowok yang itu tadi, juga kalangan orang atas?”
Cenrani menggeleng prihatin karena nasihatnya tak digubris. Andry masih saja bertanya tentang Mello.
“Aku udah sering konser di sini. Kursi itu selalu diduduki oleh Andi Sapada, seorang pejabat yang juga pengusaha sukses Makassar. Kalo cowok itu, aku nggak kenal, tapi aku yakin dia ada hubungan dekat dengan Andi Sapada, mungkin saja putranya.”
Senyum Andry semakin mengembang manis. Terlebih ketika sambutan panitia pelaksana telah usai dan tirai terbuka lagi, dan mendapatkan Mello sedang menancapkan tatapan ke arahnya. Jika saja tak takut kedapatan penonton, Cenrani sudah menegur Andry yang belum juga tunduk untuk mencermati partitur di depannya. Padahal alto, selo, dan kontrabas, telah masuk intro. Cenrani takut, Andry melambung terus dengan lamunannya.
Purnama Merindu milik Siti Nurhaliza, menjadi lagu pertama di sesi kedua ini. Saat masuk refrain, Andry mendapatkan bibir Mello bergerak mengikuti irama.
Purnama mengambang cuma berteman
Bintang berkelipan dan juga awan…
Akhh, andai aku purnama yang dirindukannya itu. Bisik hati Andry sambil tetap berusaha konsentrasi pada partitur di depannya. Dan tepat bisikan itu dilantunkan hatinya, Mello tersenyum untuknya, saat beberapa detik dia menyempatkan lagi untuk menatap wajah Mello.
Mello telah mencuri hatinya lewat pandangan, dan kini ditekuk dengan senyuman. Dia semakin yakin, jika dia tak bertepuk sebelah tangan karena saat lagu Purnama Merindu selesai, Mello memberi standing applause yang diikuti oleh penonton lainnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya pertunjukan yang duiikuti Andry mendapat sambutan serupa itu. Entah karena memang telah memberikan pertunjukan yang terbaik, atau karena standing applause tadi dimulai oleh Mello.
Lagu berikutnya, mata Andry semakin berani meninggalkan partitur, demi melihat Mello yang juga menerbangkan tatapan ke arahnya. Canon in D Major, memang lagu kesukaan Andry, saat latihan di rumah dia selalu memainkan lagu gubahan Pachelbel, komponis dari Jerman itu. selama ini, Canon menjadi lagu terindah buat Andry. Tapi sayang, dirigen, bahkan dari kelompok musik tiup mendengarkan suara ‘aneh’ dari biola Andry.
Keseringan melirik ke arah Mello, membuatnya melakukan kesalahan fatal, karena menggesek biolanya di saat seharusnya dia memberi kesempatan untuk pemain biola alto memperdengarkan suara rendah.. Cenrani di sampingnya ingin menyenggol kakinya, tapi takut malah membuatnya semakin panik.
Kesalahan itu membuatnya tak berani menerbangkan mata seliar tadi. Paling tidak, dia telah yakin bahwa Mello pun tak pernah melepaskan tatapan dari arahnya. Dia hanya butuh waktu untuk lebih dekat dengan Mello setelah konser usai. Semoga waktu itu ada untukku! Bisik hatinya lagi.
***
Di back stage, saat konser usai, para pemain orkestra saling bersalaman, sambil tertawa lepas karena sukses memikat perhatian penonton. Mulai dari lagu Makassar, Bugis, Melayu, yang di-arrangement klasik, hingga lagu komponis dari jaman yang berbeda seperti, Bach, Vivaldi, Mozart, Beethoven, bahkan Strauss. Semua berhasil memukau penonton.
Andry dan Cenrani masih dengan seragam warna broken white yang tadi dipakainya konser, berlari keluar baruga dengan melewati pintu belakang. Andry tak ingin kehilangan jejak Mello. Dia harus bertemu dengan cowok itu. Adapun tentang kalimat yang akan diucapkannya saat bertemu dengan Mello nantinya, dia belum pikirkan. Yang ada di kepalanya, dia harus bicara dengan cowok itu.
“Itu dia, Ndry!”
Andry berlari ke arah koordinat yang ditunjuk Cenrani. Di koordinat itu dia mendapatkan Mello sedang berjalan ke arah sebuah mobil Pajero. Ketika tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan bersebelahan dengan Mello, seorang sopir turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mello.
Andry dan Cenrani mempercepat langkah. Sedetik saja mereka terlambat, Mello sudah menutup pintu mobil.
“Ma…maaf! Temanku ini…” kalimat Cenrani terputus. Bukan oleh tatapan tajam Mello, tapi dia memang tak tahu harus berucap apa lagi.
“Boleh kenalan?” Andry to the point.
“Gitu ya cara anak Jakarta kalo ketemu cowok cakep?” bisik Cenrani menggoda.
Andry tak menggubris godaan itu. Dia menunggu reaksi Mello selanjutnya. Tapi tak pernah diharapkannya, Mello menutup pintu mobil lalu memerintahkan sopir untuk melaju.
Bukan hanya Andry, Cenrani ikut tersinggung dengan ulah Mello.
“Jangan-jangan kamu emang benar, kalo Ayam Jantan dari Timur itu emang kasar-kasar?” ucap Cenrani sambil mengambil lengan Andry untuk dibawanya masuk kembali ke baruga.
“Aku tetap nggak mau sama ratakan semua cowok. Mungkin aku yang kecentilan. Aku terlalu ge-er. Aku terlalu…”
“Tapi aku yakin jika cowok itu menaruh hati padamu. Bisa kulihat dari tatapannya padamu saat konser tadi.”
Andry menggeleng. Dia ingin kenangan pahit ini, dikuburnya sebelum meninggalkan Makassar. Mello, cowok yang namanya pun belum dia tahu itu telah memberinya oleh-oleh yang mungkin akan membuatnya trauma untuk datang menikmati kembali indahnya Losari di senja hari.
***
Di sebuah kamar kos ukuran 3 x 3 meter, Mello berbaring di atas seprei tanpa corak. Dia teringat terus pada tatapan Andry di konser orkestra tadi. Dia bahkan ikut terluka saat mengambil keputusan untuk menutup pintu mobil dan berlalu pergi. Dia bukannya sombong apalagi bersikap kasar, tapi dia takut terluka jika berani menyimpan harap berlebihan pada Andry.
Dia yakin, Andry membuntutinya ke tempat parkir karena mengira dirinya anak seorang pejabat. Untuk beli tiket masuk pun dia tak mampu, apalagi dengan kelas VIP. Jika bukan karena kebaikan hati Andi Sapada yang memberinya kesempatan untuk nonton orkestra sekaligus menggunakan fasilitas mobil, dia takkan pernah bisa menyaksikan langsung konser orkestra.
Mello hanya seorang penulis yang tak punya apa-apa selain kerajaan imajinasi. Dia tak hanya bisa jadi raja ataupun pangeran di kerajaan itu, tapi juga Tuhan yang bisa membunuh dan membagi-bagikan takdir pada tokoh ceritanya. Tadi di alam nyata, dia punya kesempatan untuk berperan sebagai Romeo di depan Andry, tapi apa artinya jika kemudian dia harus terluka dan mati. Karena Andi Sapada, bukanlah siapa-siapa baginya. Kenal Andi Sapada pun baru minggu lalu, sejak dia dipercaya untuk menulis biografi Andi Sapada sebagai seorang pejabat dan pengusaha yang berpengaruh di Makassar.
Dia takkan pernah lupa dengan lagu Purnama Merindu. Dianggapnya itu sebagai kalimat Andry untuknya. Ya, purnama cuma berteman dengan bintang berkelipan. Bisik hatinya sambil mulai menghapus wajah Andry, yang namanya pun belum dia kenal.
Dia lebih memilih sendiri karena telah keliru menilai cinta. Membiarkan hatinya berbisik, berkhayal, bermimpi, berimajinasi, tanpa pernah bisa suaranya menembus udara. Ya, mungkin seumpama orkestrasi yang hanya mengandalkan instrumentalia.
Cinta tak kenal kasta, Mello! Andai dia tahu itu, dia dan Andry tak akan terluka seperti ini.
***



lanjutan cerita......

9.12.09

Berita Kehilangan


Seekor elang terbang mencari ranting untuk ditempati bertengger. Namun setiap hendak hinggap, ranting itu bergoyang tertiup angin, bahkan patah. Elang itu heran dan bertanya-tanya, apa ada yang salah pada dirinya? Sementara elang yang lain begitu mudahnya mendapat ranting. Elang itu lelah, lalu bersumpah tak akan mencari ranting lagi. Dia akan terbang sepanjang hidupnya, hingga kedua sayapnya patah, selamanya!
BERITA KEHILANGAN
Oleh: S. Gegge Mappangewa
07 Deseember 2009. Masih pagi. Saat sudah siap berangkat ngajar, kunci lemari tempatku menyimpan laptop, nggak ada di tempat. Bisa dipastikan, saya terlambat tiba di sekolah. Pusing tujuh keliling. Semua tempat yang biasa kutempati menyimpan kunci, nihil! Apesnya lagi, bahkan kunci serepnya pun hilang. Saya menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Sejenak! Setelah itu, saya bangun membongkar semua yang bisa kubongkar…! Laci meja, karton, dan semua yang bisa kubongkar, berantakan di kamar. Sepertinya kuncinya semakin susah kudapatkan di antara kamar yang seperti baru saja reda dari badai.
Saya menenangkan pikiran yang juga sudah terombang badai. Kupungut kembali isi laci dan karton-karton yang tadi kuacak-acak. Satu hal yang membuatku tersenyum sendiri, tanpa kusadari saat membongkar tadi untuk mencari kunci, ternyata ada beberapa barang yang sudah bertahun-tahun bertumpuk tak pernah kulihat, kini berhamburan semua. Barang itu adalah beberapa majalah remaja yang pernah memuat cerpen-cerpenku saat masih produktif nulis.
Yang paling tua adalah majalah edisi tahun 2000. Di dalamnya ada cerpen pertamaku yang termuat di media nasional. Judulnya, Memanah Bintang di Tana Toraja. Ada kalimat yang sangat menusuk “Memilikimu, aku laksana memanah bintang. Nggak akan pernah sampai apalagi tepat sasaran.”
Majalah berikutnya juga ada memuat cerpenku yang judulnya PINALTI CINTA. Ada kalimat yang juga menusuk “Aku seperti tergilas kereta kencana yang ditarik seribu ekor kuda. Tak sadar aku meringis, sebelum merasakan panas di kelopak mataku.”
Dan yang lebih menohok di ulu hati, kalimat pada cerpen KISAH SEEKOR ELANG. “Seekor elang terbang mencari ranting untuk ditempati bertengger. Namun setiap hendak hinggap, ranting itu bergoyang tertiup angin, bahkan patah. Elang itu heran dan bertanya-tanya, apa ada yang salah pada dirinya? Sementara elang yang lain begitu mudahnya mendapat ranting. Elang itu lelah, lalu bersumpah tak akan mencari ranting lagi. Dia akan terbang sepanjang hidupnya, hingga kedua sayapnya patah, selamanya!”
Tanpa kusadari, beberapa cerpen telah kubaca dan melupakan kunciku yang hilang. Saya terjaga. Ternyata beberapa cerpen yang hanya bersumber dalam imajinasiku, kini hadir seperti karma pada hidup yang kulalui akhir-akhir ini.
Pagi semakin beranjak, saya harus berangkat ngajar meski tanpa laptop. Lemariku masih terlalu sayang untuk kucungkil. Tapi, saat hendak berangkat, seorang teman kos yang tahu kalau saya kehilangan kunci datang menawarkan bantuan. Bukan sulap, bukan sihir, lemariku terbuka meski tidak dengan kuncinya, padahal tadi saya sudah mencoba beberapa kunci, tapi tak ada yang bisa membukanya.
Hingga kini, kunci lemariku masih hilang! Dan saya tak ingin lagi mencarinya. Saya akan menggantinya dengan kunci yang baru. Alhamdulillah, kehilangan kunci membuatku menemukan barang-barang yang selama ini tak pernah lagi kulihat. Barang yang membuatku terjaga bahwa selama ini saya telah menjadi ‘tuhan’ kecil dalam cerpen-cerpenku, memberi derita dan bahagia pada tokoh-tokohnya. Dan jika Allah memberiku derita dan masih merasa kurang bahagia, itu adalah kehendak-Nya sebagai Sang Penulis Agung.***




lanjutan cerita......

31.8.09

Belajar Bijak (Pernahkah Kau Merasa)


PERNAHKAH KAU MERASA?
OLEH: S. GEGGE MAPANGEWA
Pernahkah kau merasa kesusahan, kesulitan, tersiksa, terdera derita? Sepertinya rasa ini telah dikecap oleh hati siapa pun. Tak perduli kaya apalagi miskin, yang namanya masalah, seolah telah menjadi asam garam kehidupan. Jangan pikir hanya orang miskin yang mengenal namanya derita lalu didera putus asa lalu memilih mati! Jangan heran jika banyak orang kaya yang mati mendadak! Andai semua kita tersadar, atau paling tidak terbiasa dengan kalimat; “Sesungguhnya di balik kesulitan, akan ada kemudahan!” Mungkin tak ada yang akan ‘mati percuma’. Sejenak kita renungkan, masalah apa yang pernah kita alami, masalah apa yang sekarang membebani pikiran kita. Seberat apapun, CUKUPLAH ALLAH SEBAGAI PENOLONGMU DAN DIALAH SEBAIK-BAIK PENOLONG!
Pernahkah kau merasa sedih yang berlebih, kecewa yang mendalam? Dua rasa ini memang adalah masalah. Tapi seberat apapun sedih dan kecewa itu, itu bukanlah masalah berat. Hanya butuh rawat jalan dan akan sembuh sendiri seiring waktu. Ingatlah, waktu adalah obat yang paling mujarab untuk dua rasa ini. Tentu saja dengan satu syarat, jangan menyimpan dendam pada orang yang menghadiahkan sedih dan kecewa. Jika dendam bersarang, maka penyakit baru akan muncul dan susah menemukan obat yang tepat. Sang pemberi sedih dan kecewa itu biasanya adalah orang yang terdekat dengan kita. Semakin dekat, semakin dalam sedih dan kecewa yang didampakkannya. Tapi sedalam apapun sedih itu, CUKUPLAH MENJADI PELAJARAN UNTUKMU!
Pernahkah kau merasa, semua mata yang menatapmu seolah menghakimi, mencela, bahkan menyumpahimu? Karena rasa ini cukup mematikan, CUKUPLAH AKU YANG MERASA!***



lanjutan cerita......

16.8.09

Belajar Bijak (Hati-Hati Membanting Pintu!)


HATI-HATI MEMBANTING PINTU
OLEH: S. GEGGE MAPPANGEWA
Ramadhan datang mengetuk pintu. Kesempatan untuk membersihkan hati sekaligus melembutkannya. Karena begitu banyak di antara kita yang merasa telah memiliki hati yang sebersih-bersihnya, tapi ternyata tak bisa melembutkannya. Setahun perjalanan sejak Ramadhan yang lalu, adalah mustahil hati kita masih sebersih Syawal yang lalu. Tingkah, lisan hingga prasangka pasti pernah menyesatkan langkah kita, entah itu sengaja atau tidak.
Sejenak, mari kita renungkan, pada siapa kita pernah khilaf dalam tingkah dan lisan, pada siapa kita pernah berprasangka. Tingkah, lisan, dan prasangka yang mungkin telah membuat keakraban terlerai. Terlerai setelah terbakar amarah.
Sengaja ataupun tidak, entah mengapa, banyak sekali orang yang suka membanting pintu saat marah. Andai pintu bisa bicara, dia akan terheran-heran; “Lho, apa salah dan dosaku?” Dan andai pintu benar-benar bicara, dan mengucapkan kalimat itu, orang yang marah dan membanting pintu juga akan lebih heran; ”Lho, kok pintu bisa bicara?” :)

Biasanya, semakin besar kemarahan, semakin besar pula energi yang dikeluarkan untuk membanting pintu. Ingin kuingatkan, hati-hati membanting pintu! Jangan mentang-mentang pintu tak bisa bicara, tak bisa melawan, lalu meluapkan kemarahan pada pintu. Bukan takut salah banting lalu terjepit tangan sendiri.
Sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang telah kamu banting itu, kamu datangi kembali untuk kamu ketuk! Inilah peran yang paling susah dilakoni, mengetuk kembali pintu yang telah dibanting. Bukan keberanian, tapi kelembutan hatilah yang dibutuhkan untuk peran ini. Apalagi jika kita adalah manusia yang merasa harga diri premium, jangan harap kamu bisa datang lagi untuk mengetuk pintu itu! Bahkan dengan harga diri yang berkelas medium hingga kelas low pun akan ragu untuk melakukan peran ini. Ya, hampir tak ada yang pernah berani datang untuk mengetuk kembali pintu yang telah dibantingnya. Makanya, kuingatkan sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang kamu banting itu akan kamu datangi untuk kamu ketuk kembali!
Sebenarnya, meskipun susah, ada beberapa orang yang mampu melakukan ‘adegan berbahaya’ ini. Mereka adalah orang-orang yang harga dirinya berkelas no price. Tapi maukah kita disebut orang yang tak punya harga diri, no price? Karena selama ini, hampir di mata semua orang, meminta maaf adalah sebuah kehinaan. Dan ingin kukatakan, jika kamu mampu melakukannya, kamu bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price, tapi low profile. Bahkan hingga maafmu pun tak diterima, lalu kamu datang mengetuknya beribu-ribu kali, grafik harga dirimu akan semakin naik dan kamu sesungguhnya yang berkelas premium itu!
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jika esok atau lusa, seseorang datang mengetuk pintu hatimu yang telah dia banting, dia bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price.
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jangan tunggu besok, mari mencari pintu yang telah kita banting untuk kita ketuk. Untuk memperbaiki kelas harga diri kita! Dan kamu jangan pernah merasa kelas premium kalau kamu belum pernah mengetuk pintu yang telah kamu banting! Jika kamu telah mampu melakukannya, jangan pernah lagi mengulangi membanting pintu! Semarah apapun kamu.





lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Proudly Present)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan ATM dan STNK. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengganti dompetku yang umurnya telah lebih sepuluh tahun, tapi saya selalu berpikir, toh masih bagus, belum ada cacat. Hanya ukurannya yang kekecilan karena kartu-kartu semakin bertambah menghiasi dompet. Akhirnya, apa yang kukhawatirkan terjadi, ATM dan STNK tercecer entah kapan dan di mana. Saya bahkan baru sadar kalau ATM dan STNK itu hilang, setelah saya membeli dompet baru dan memindahkan semua isi dompet yang lama.
Pikiran mumet. Terbayang susahnya birokrasi jika kehilangan sesuatu. Harus ke kepolisian mengambil surat keterangan hilang, ke samsat urus STNK baru, bayar lagi, dan …. Ahhhh, saya mengambil napas panjang. ATM kublokir, selesai! Saya menunggu-nunggu, suatu saat ada orang yang menemukan barang-barang itu dan menghubungiku.
Tak cukup sepekan, doaku terkabul. Seseorang datang ke alamat yang tertera di STNK, alamatku saat masih kuliah dulu. Sayangnya, dia nggak mau menyerahkan STNK itu tanpa bertemu denganku. Bisa kutebak, dia meminta imbalan. Tapi nggak apa, bukankah memberi hadiah itu perlu. Apalagi, ini sebuah prestasi kejujuran!
Berbekal nomor telepon yang dia titipkan, saya mulai menyusuri keberadaan sang penemu, yang menurut tetangga yang bertemu dengannya, adalah seorang wanita paruh baya yang saat datang, membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil. Saat nomor itu kuhubungi, tepat ketika selesai shalat maghrib, yang mengangkatnya adalah seorang lelaki. Dan tahu apa jawabnya? Dengan bangganya dia berucap:
“Oooh, ATM dan STNK nya ditemukan istriku.”
“Kapan saya bisa ketemu, Pak!”
“Jangan sekarang, saya lagi di pesta minum!” ucapnya bangga.
Pesta minum? Saya kehabisan kata. Bisu. Meski kemudian saya bisa berucap lagi, itu dengan kalimat gugup. Bukan gugup karena takut pada dia yang ternyata “Dewa Mabuk”. Saya sangat-sangat tidak terbiasa dengan orang yang penuh rasa bangga menceritakan dosa-dosanya. Akhhhh… yang penting ATM dan STNK ku kembali.
Saya mulai melobi lagi. Bisa dibayangkan, melobi orang yang lagi mabuk? Tapi syukurlah, entah sadar atau tidak, dia memberitahukan alamatnya. Dan tanpa pikir panjang, saya ke rumahnya untuk menemui istrinya di sebuah perkampungan yang, maaf saja kalau saya sebut sebagai perkampungan kumuh.
Tiba di sana, saya mencoba menanyakan alamat lelaki yang malam itu tengah menikmati pesta minumnya. Tapi apa kata tetangganya?
“Ooohh, jangan cari dia kalo jam-jam begini, dia masih di tempat minumnya.”
Ternyata semua tetangganya sudah kenal dia sebagai “Dewa Mabuk”. Bagaimana tidak, saya saja yang baru dikenalnya lewat telepon, langsung memperkenalkan dirinya dengan bangga sebagai peminum. Semua bisa dibanggakan rupanya, termasuk dosa-dosa. Teringat pada lagu Ebit G. Ade; Mungkin Tuhan mulai enggan, melihat tingkah kita yang selalu bangga dengan dosa-dosa.
Ditemani seseorang, saya menyusuri lorong-lorong sempit menuju rumahnya. Di sana-sini terdengar irama dangdut. Dan langkahku tertahan di sebuah rumah berpintu kayu lapuk, tanpa perabot, sempit. Dadaku ikut menyempit! Seorang wanita muda dengan dua anaknya, menyambutku ramah. Kepala keluarga rumah tangga ini, sedang asyik mabuk-mabukkan. Dan sang istri menunggu di rumah, mungkin akan dibawakan oleh-oleh tamparan saat terlambat membukakan pintu, seperti yang selama ini dipersembahkan sinetron-sinetron. Yang penting ATM dan STNK ku kembali. Batinku lalu memberinya imbalan. Awalnya dia menolak, tapi saat uangnya kuberikan pada anaknya, anak itu menyambarnya lalu berlari masuk kamar.
***
Rupanya kisah belum berakhir meski STNK dan ATM ku sudah di tangan. Saat kuceritakan ke teman-teman tentang pengalaman itu, ternyata daerah yang kumasuki malam itu adalah wilayah abu-abu, lokalisasi terselubung, katanya! Benarkah…? Itu masih katanya…. Saya tak ingin dengan bangga men-judge!***



lanjutan cerita......

2.8.09

KESEMPATAN KEDUA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan terakhir, saya merasa dimata-matai seseorang. Merasa tak tenang. Semua orang di sekelilingku kucurigai, meski tak satu pun mata bisa kutangkap sebagai pelakunya. Saya selalu membujuk hati; itu hanya perasaanku! Tapi semakin kubujuk, semakin kurasa ada sebuah hidden camera yang mengintaiku. Dan mungkin ini bukan lagi curiga, tapi phobia akut. Saking akutnya, getar sms pun kadang membuat dadaku bergemuruh-gemuruh. Beberapa teman yang kutempati sharing malah menganggapku suspect jin. Sungguh terlalu

Saya teringat dengan seorang sahabat saat kuliah dulu. Dia pernah merasakan phobia seperti ini. Hingga suara langkah kaki di luar rumah pun, kadang membuatnya lari sembunyi ke kolong ranjang. Tapi saya tak separah itu. Penyebabnya pun berbeda. Dia phobia karena drug. Semua yang di sekitarnya dianggap sebagai mata-mata yang siap menjebloskannya ke penjara.
Padahal penjara tak sekejam yang ada di benaknya. Hanya persoalan reputasi yang tercemar sebagai napi. Dan napi pun tak selamanya bernoda. Setahun lalu (April 2008) saya diundang untuk berbagi ilmu kepenulisan di Lapastika (Lembaga Pemasyarakatan Narkotika) di Bolangi. Di benakku, saya akan berhadap-hadapan dengan wajah-wajah sangar. Tapi setelah bertemu dengan mereka, ada keinginan untuk memperpanjang tangan, melebarkan bahu, untuk merangkul mereka semua. Beberapa di antaranya bahkan pernah jadi ‘korbanku’. Korban dalam arti penggemar, pernah terbuai dengan cerpen-cerpenku di majalah remaja.
Dan pekan lalu, saya dapat kesempatan lagi untuk masuk di Lapas itu. Masih sebagai pemateri kepenulisan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah masuk sebagai napi Pesertanya berbeda dengan setahun lalu. Tapi semua masih tak sesangar yang kubayangkan. Saat sesi istirahat, saya ke mushalla, beberapa napi datang menyalamiku. Ternyata, mereka adalah peserta setahun lalu. Semua penuh senyum!
“Kak, saya masih di sini! Tiga tahun lagi saya akan bebas!”
Tiga tahun? Ya, tiga tahun dari enam tahun masa hukuman yang harus dilaluinya. Tapi semua masih penuh senyum. Betah Mungkin?
Saat materiku selesai, seorang peserta datang menghampiriku. Dari tatapannya, dan gerak bibirnya yang susah berucap, kutahu dia ingin berahasia denganku. Saya mengerti, lalu mengambil langkah menghindar dari napi yang lain yang cerita denganku. Saya punya waktu tak cukup lima menit dengannya. Karena jam tiga tengngng, saya harus meninggalkan Lapas. Begitu aturannya!
Ternyata dari biodataku, dia tahu kalo saya satu kabupaten dengannya, meski tak satu kampung!
“Kak, minta tolong, hubungi keluargaku! Mereka nggak tahu kalo saya di sini.”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Setahun lebih! Saya tertangkap saat ke Makassar untuk jalan-jalan. Awalnya saya nggak ingin keluargaku tahu kalo saya ada di sini. Tapi, saya harus jujur, saya tetap membutuhkan mereka!”
Deggg!!! Seolah ada pukulan keras yang menghantam dadaku. Setahun raib dari keluarga? Bisa kubayangkan, meski tak ingin kurasakan, bagaimana dahsyatnya perasaan sedih yang menjeram di balik dadanya.
Saya mengangguk, mengiyakan permintaannya, lalu mengambil langkah pergi darinya. Kurasakan tatapannya masih menancap di punggungku, tapi saya tak berbalik membalas tatapan itu. Dan ketika langkahku tiba di luar Lapas, di balik dinding-dinding kokoh itu, hatiku merapuh. Di balik dinding kokoh yang baru saja kumasuki, begitu banyak hati yang menyesali masa lalunya. Allah memberiku lagi kesempatan bertemu dengan orang-orang yang pernah melalaikan waktu luangnya. Ya, kesempatan sering datang mengetuk pintu, tapi tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Mungkin saya pun pernah mendengar ketukan pintu itu, tapi saya pura-pura tuli, tak mau mendengar, dan ketika kesempatan emas itu berlalu, mungkinkah ada kesempatan kedua?***


lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Kesempatan Kedua)


KESEMPATAN KEDUA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan terakhir, saya merasa dimata-matai seseorang. Merasa tak tenang. Semua orang di sekelilingku kucurigai, meski tak satu pun mata bisa kutangkap sebagai pelakunya. Saya selalu membujuk hati; itu hanya perasaanku! Tapi semakin kubujuk, semakin kurasa ada sebuah hidden camera yang mengintaiku. Dan mungkin ini bukan lagi curiga, tapi phobia akut. Saking akutnya, getar sms pun kadang membuat dadaku bergemuruh-gemuruh. Beberapa teman yang kutempati sharing malah menganggapku suspect jin. Sungguh terlalu:)

Saya teringat dengan seorang sahabat saat kuliah dulu. Dia pernah merasakan phobia seperti ini. Hingga suara langkah kaki di luar rumah pun, kadang membuatnya lari sembunyi ke kolong ranjang. Tapi saya tak separah itu. Penyebabnya pun berbeda. Dia phobia karena drug. Semua yang di sekitarnya dianggap sebagai mata-mata yang siap menjebloskannya ke penjara.
Padahal penjara tak sekejam yang ada di benaknya. Hanya persoalan reputasi yang tercemar sebagai napi. Dan napi pun tak selamanya bernoda. Setahun lalu (April 2008) saya diundang untuk berbagi ilmu kepenulisan di Lapastika (Lembaga Pemasyarakatan Narkotika) di Bolangi. Di benakku, saya akan berhadap-hadapan dengan wajah-wajah sangar. Tapi setelah bertemu dengan mereka, ada keinginan untuk memperpanjang tangan, melebarkan bahu, untuk merangkul mereka semua. Beberapa di antaranya bahkan pernah jadi ‘korbanku’. Korban dalam arti penggemar, pernah terbuai dengan cerpen-cerpenku di majalah remaja.
Dan pekan lalu, saya dapat kesempatan lagi untuk masuk di Lapas itu. Masih sebagai pemateri kepenulisan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah masuk sebagai napi:) Pesertanya berbeda dengan setahun lalu. Tapi semua masih tak sesangar yang kubayangkan. Saat sesi istirahat, saya ke mushalla, beberapa napi datang menyalamiku. Ternyata, mereka adalah peserta setahun lalu. Semua penuh senyum!
“Kak, saya masih di sini! Tiga tahun lagi saya akan bebas!”
Tiga tahun? Ya, tiga tahun dari enam tahun masa hukuman yang harus dilaluinya. Tapi semua masih penuh senyum. Betah Mungkin?
Saat materiku selesai, seorang peserta datang menghampiriku. Dari tatapannya, dan gerak bibirnya yang susah berucap, kutahu dia ingin berahasia denganku. Saya mengerti, lalu mengambil langkah menghindar dari napi yang lain yang cerita denganku. Saya punya waktu tak cukup lima menit dengannya. Karena jam tiga tengngng, saya harus meninggalkan Lapas. Begitu aturannya!
Ternyata dari biodataku, dia tahu kalo saya satu kabupaten dengannya, meski tak satu kampung!
“Kak, minta tolong, hubungi keluargaku! Mereka nggak tahu kalo saya di sini.”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Setahun lebih! Saya tertangkap saat ke Makassar untuk jalan-jalan. Awalnya saya nggak ingin keluargaku tahu kalo saya ada di sini. Tapi, saya harus jujur, saya tetap membutuhkan mereka!”
Deggg!!! Seolah ada pukulan keras yang menghantam dadaku. Setahun raib dari keluarga? Bisa kubayangkan, meski tak ingin kurasakan, bagaimana dahsyatnya perasaan sedih yang menjeram di balik dadanya.
Saya mengangguk, mengiyakan permintaannya, lalu mengambil langkah pergi darinya. Kurasakan tatapannya masih menancap di punggungku, tapi saya tak berbalik membalas tatapan itu. Dan ketika langkahku tiba di luar Lapas, di balik dinding-dinding kokoh itu, hatiku merapuh. Di balik dinding kokoh yang baru saja kumasuki, begitu banyak hati yang menyesali masa lalunya. Allah memberiku lagi kesempatan bertemu dengan orang-orang yang pernah melalaikan waktu luangnya. Ya, kesempatan sering datang mengetuk pintu, tapi tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Mungkin saya pun pernah mendengar ketukan pintu itu, tapi saya pura-pura tuli, tak mau mendengar, dan ketika kesempatan emas itu berlalu, mungkinkah ada kesempatan kedua?***


lanjutan cerita......

CERPEN (Cintaku Jauh di Langit)


CINTAKU JAUH DI LANGIT
Oleh: S. Gegge Mappangewa

JAUH kulepaskan tatapan, terbang bebas di atas hamparan kebun teh dan lintasan Jakarta Bandung yang meliuk berliku, juga menukik. Di sini, di atas sebuah bukit, di areal perkebunan teh Puncak, Jawa Barat, kurapatkan duduk dari tadi. Ada rindu menyeruak di antara haru yang kurasakan sesak setiap kucoba mengingat kenangan setahun lalu, di sini, Ramadhan yang lalu, bersama Abraar.
Sengaja memang, kutinggalkan Jakarta menuju Puncak. Hanya untuk melihat kembali saksi kisah bahagia sekaligus kisah perih yang pernah terajut di sini. Kisah itu mengalun kembali seiring menggemanya nama Abraar memenuhi ruang hatiku, ketika kucoba mendesiskan namanya.

Aku tak boleh menangis meski haru menyeruak, aku tak mungkin mengikuti emosi jiwa yang ingin selalu meneriak¬kan namanya. Semua demi keabsahan puasaku, juga kerelaanku menerima takdir. Kisah lalu itu adalah perjalanan hidup, mungkin seperti lintasan Jakarta Bandung yang penuh liku.
"Hey!"
Seorang cowok datang menyapaku. Kubalas dengan senyum. Terlalu sibuk dengan kisah lalu, aku telah meng¬anggap diriku sebagai penghuni tunggal bukit ini. Padahal sejak siang tadi, pengunjung banyak berdatangan. Sekadar menikmati hawa dingin bukit ini, hijaunya hamparan teh atau aktraksi paralayang yang bertolak dari bukit ini sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Paralayang? Aku menggeleng perlahan, tanpa sadar. Cowok di sampingku mengerutkan kening tanda tak mengerti dengan gelenganku.
"Namaku Kade,” ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangan untukku.
“Vira !” balasku singkat tanpa meraih uluran tangannya.
“Kamu sepertinya ada masalah" ucapnya lagi sambil menarik kembali uluran tangannya yang tak kusambut.
Aku terdiam. Dingin yang semakin menusuk membuatku menarik ruslui¬ting jaket, lalu melipat tangan di dada. Kualihkan kembali tatapanku ke kaki bukit. Lintasan Jakarta Bandung, sepi. Hanya sesekali kendaraan melintas, membuat jalan beraspal itu seperti liukan anaconda raksasa yang sedang tertidur. Kade, cowok yang agak jauh di sampingku, nampaknya belum juga beringsut. Bahkan berceloteh sendiri.
"Dulu, setiap ada masalah, aku selalu melarikan diri ke sini,” ungkap¬nya. “Jarak Bandung ke sini, nggak kupeduli. Di sini aku bisa sendiri, bahkan terbang ke langit sana.” lanjut¬nya sambil menatap langit barat.
Aku yang dari tadi menganggapnya patung, kini terhipnotis untuk balik menatapnya. Kalimatnya membuat bayangan Abraar seperti utuh berada di depanku.
Dulu, Abraar selalu ke sini. Tiap minggu! Menunggu angin datang, lalu mengembangkan parasutnya. Terbang melintas di atas hamparan kebun teh, semua karena dia berambisi untuk menjadi atlet para¬layang.
Abraar, pemilik lesung pipit itu kurasa¬kan semakin nyata di depanku. Tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Dan lesung pipinya, seolah memiliki magis yang mampu melesakkan aku masuk ke dalamnya. Namun semua kesempurnaan itu membuatku semakin tak bisa berharap banyak. Jalan bersama dia pun rasanya sudah anugerah besar buatku. Hanya keramahan, juga kerendahan hatinya yang membuatnya mau berteman denganku. Siapa sih yang mau berteman dengan gadis cacat sepertiku? Kalau pun banyak yang memujiku cantik, namun terlalu sedikit yang mau jalan dengan seorang cewek berkaki pincang sepertiku.
Tapi Abraar, awal kedekatannya denganku kuanggap sebuah hinaan. Aku salah sangka, aksi pedekate nya padaku kupikir hanya karena otakku yang encer. Karena kutahu betul, dia selalu berada di peringkat terakhir bahkan pernah terancam tidak naik kelas.
Namun ketika dia berhasil menak¬lukkan hatiku untuk menjadi temannya. Abraar lain dari yang kupikir. Dia tak pernah memberiku kesempatan untuk putus asa, tak pernah malu melangkah di sampingku, yang jalannya terseok-¬seok karena kaki kiriku yang tidak normal sejak lahir.
“Semua karena aku tahu, tak banyak yang mau berteman dengan kamu,” ungkapnya jujur ketika kutanya alasan kedekatannya denganku.
Beribu kalimat sumbang pun akhirnya terlontar. Abraar yang otaknya tumpul di kelas, ternyata juga berotak udang dalam mencari pacar. Vira, gadis cacat yang bukan hanya pintar di kelas tapi juga punya ilmu hitam yang bisa membuat cowok bertekuk lutut. Dan entah kalimat apalagi, yang semakin membuatku sadar dengan kekuranganku.
Aku tenang saja. Toh, Abraar juga tak menanggapinya. Tapi ketenangan itu akhirnya terusik juga. Terusik oleh mimpi seekor pungguk sepertiku yang merindukan bulan, jauh di langit sana. Kedekatanku dan banyak jalan bersa¬manya telah membuat hatiku dihinggapi penyakit cinta yang tidak seharusnya diidap oleh gadis cacat sepertiku.
Kusimpan cinta itu menjadi siksa jiwa. Aku tak peduli itu menyiksa, tak kuhiraukan meski sering membuatku menangis. Semua demi kelangsungan persahabatanku dengan Abraar.
Ya, persahabatan ! Aku tak boleh melewati garis batas itu. Sekali aku menyebut kata cinta buat Abraar, persahabatan itu akan hancur. Tak ingin kusesali ke-bodohanku kelak.
"Hey !"
Sapaan Kade membuat lamunanku buyar. Bahkan dia habis meninggalkan¬ku sendiri tanpa kusadari. Buktinya, sebuah careel berisi parasut telah bergantung di punggungnya. Dulu Abraar begitu gagah setiap membawa careel parasut seperti itu.
"Sori, aku ditugaskan untuk terbang. Untuk memberi aktraksi kepada para pengunjung di sini. Tapi aktraksi ini spesial kupersembahkan untukmu. Untuk awal perkenalan kita, " ujarnya sambil tersenyum.
Dia melebarkan parasutnya, memasang harness dan helm penga¬man. Entah berapa detik dia berdiri mematung, memperhatikan bendera kecil yang ditancapkan di salah satu tembereng bukit. Saat bendera itu berkibar pertanda ada angin, sejenak Kade melirikku sekali, lalu berlari mengambil awalan, dan di ujung ketinggian bukit, dia terbawa angin.
Seperti elang, Kade terbang mengitari perkebunan teh. Manarik dan mengulur tali parasutnya. Aku terpana melihatnya. Seolah Abraar yang sedang terbang di sana. Aku duduk kembali. Pengunjung yang lain masih terus menatapnya. Lain denganku, tadi ketika Kade terbang mengitari perkebunan teh, ada bahagia sekaligus ketakjuban melihatnya, tapi ketika dia memilih untuk terus menarik parasutnya, membuatnya, semakin tinggi. Di posisi terbangnya yang sejajar dengan matahari yang terhalang awan. Dia berhenti di situ. Berdiam diri! Lama sekali. Posisi seperti itu membuat kenanganku dengan Abraar datang mengiris.
Dua bulan terakhir kebersamaanku dengan Abraar, dia selalu terbang ke sana. Terbang hingga ketinggian yang sejajar dengan matahari sore. Padahal sebelumnya, dia tak pernah melakukan itu. Aku bisa menebak, jika dia. memen¬dam masalah berat dan melarikannya ke awan sana.
"Aku bahkan mau terbang hingga ke langit. Sayang nggak bisa! Meski kuyakin itu akan terjadi. Tak lama lagi!" ucapnya suatu sore, saat baru landing dari penerbangannya yang tinggi.
Sedikit pun aku tak menanggapi kalimat itu. Aku hanya memperhatikan dia sibuk melepaskan harness.
Kebiasaan Abraar terbang seperti itu, bermula saat dia dinyatakan gagal menjadi atlet nasional di olahraga paralayang. Jelas sekali ada kecewa, padahal sebelum mengikuti test dia sempat bercerita jika dia tak takut gagal. Toh, ini hanya kujadikan sebagai hobi sekaligus hiburan, katanya. Tapi akhirnya? Kegagalan itu membuatku menemukan Abraar yang lain dalam dirinya yang sebenarnya.
Aku mencoba belajar menghadapi kenyataan. Sedikit demi sedikit aku melangkah menjauh. Siapa tahu kedekatanku dengannya telah membuat dia bermasalah. Apalagi, akhir akhir ini sering kudengar dia menyebut nama Yuni di depanku. Kutahu dia mencintai¬nya, juga kuyakin jika Yuni tak akan menolak jika tahu perasaan Abraar.
Ketika kusadar bahwa aku menjadi penghalang, kucoba untuk beringsut. Bukankah mengharap terus cintanya, juga sebuah siksa bagiku? Jika aku menghindar, itu berarti aku telah memberi kebahagiaan buat Abraar yang juga pernah memberiku bahagia meski akhirnya aku melukai diriku sendiri dengan mimpi yang tak mungkin berwujud.
"Maukah kamu menerima cintaku?"
Seperti tak sadar ketika suatu hari, kudengar dia mengucapkan kalimat itu untukku.
"A..aku!" gugupku.
Dia mengangguk serius. Menatapku tanpa henti. Sayang sekali, tatapan yang sebelumnya selalu kuakui mendamai¬kan, saat itu malah membuat hatiku porak poranda. Bagaimana tidak, kalaupun aku pernah berani bermimpi untuk memilikinya, sedikit pun aku tak berani untuk mewujudkannya, Laksana terbang ke langit, saat untuk kedua kalinya dia mengucapkan cinta padaku. Aku melayang tanpa parasut. Terlebih, tanpa sayap! Karena aku memang bukan burung dara yang sempurna.
“Hey!”
Lagi lagi Kade datang melerai kenanganku bersama Abraar. "Kalau kamu mau, aku bisa memba¬wamu terbang seperti tadi. Aku biasa jadi pelatih untuk penerbang pemula." ucapnya sambil melirik jam di perge¬langannya. "Masih bisa untuk sekali penerbangan."
Aku menggeleng.
"Kenapa, takut? Sekali kamu terbang, kamu akan ketagihan. Yakinlah! Di atas sana kamu boleh membuang semua bebanmu. Bahkan melupakan semua masalahmu. Ketinggian selalu menjanjikan mimpi. Mimpi yang indah!" Kade memohon lagi.
Apapun alasannya. Aku tetap menggeleng! Aku pun tahu, ketinggian selalu memberi mimpi yang indah, tapi aku lebih tahu jika terkadang ngarai menunggu di bawah. Apa artinya melambung sejenak bersama mimpi sementara hati juga harus selalu siap untuk terluka saat harus terhempas?
"Okel Nggak apa apa. Tapi kamu mau jadi temanku, kan?"
Tatapanku lurus menancap ke bola mata Kade. Sedikit teriris hatiku mendengarnya. Bagaimana tidak? Kuyakin kalimat itu terucap darinya karena belum sadar jika gadis yang berada di depannya tak bisa berjalan normal.
"Apa untuk menjadi teman, aku harus menunggu lama?" lanjutnya lagi. "Padahal aku berharap lebih dari itu."
Tatapanku yang tadi menancap di bola matanya, kini kularikan ke kaki bukit. Sore semakin layu, kabut pun menebal. Di bawah sana, speaker Mesjid Atta'Awun mengalunkan kalimat suci. Sebentar lagi maghrib. Aku harus turun.
"Boleh, kan?" desaknya meminta jawaban.
Aku tetap diam. Gelap yang merambat membuat semua kendaraan yang melintas di jalan Jakarta Bandung harus menyalakan lampu sorotnya. Lintasan panjang berliku itu, yang tadi mirip anaconda raksasa yang sedang tertidur, kini kilatan kilatan lampu kendaraan yang melintasinya tak ubahnya barong¬sai raksasa yang sedang berjalan meliuk.
Pengunjung bukit mulai turun satu per satu. Kade berpindah ke depanku. Menatapku tajam! Tapi aku memilih untuk melangkah. Langkah pincang yang terseok. ¬Tersaruk saruk! Dan kuyakin, dengan melihat itu, Kade akan tercengang sekaligus mema¬tung. Tanpa pemah mau mengiringi langkahku.
Selangkah, dua dan tiga kali aku melangkah menuruni bukit. Tanpa berbalik pun kutahu, apa yang sedang Kade perbuat. Dia tak akan pernah mau berteman dengan gadis pincang sepertiku.
Ada haru yang menyeru¬ak ketika semakin kusadar bahwa Kade tak mengikuti langkahku. Bukan karena ingin dia bersamaku, sekali lagi bukan! Haru itu menye¬ruak karena mengingatkanku pada satu satunya orang yang mau melangkah bersamaku. Abraar!
Ramadhan tahun lalu pun aku masih sempat menuruni bukit ini bersama Abraar. Buka puasa dan shalat jama'ah di Mesjid Atta'Awun. Lalu pulang membawa moci dan peuyem sebagai oleh oleh.
Aku tak boleh menangis. Tekadku sambil menyeret langkah. Kuingin cepat tiba di mesjid. Menanti maghrib dan mengadukan semua bebanku pada Allah yang bersinggasana di langit yang jauh. Sekaligus mengirim doa buat Abraar di sana.
Aku tak pernah melupa¬kan selalu kupuji kemurahan hati Abraar yang mau berteman denganku. Meski untuk mencintaiku, belakang¬an kutahu jika itu hanyalah pelarian. Kepiawaian Abraar mempermainkan tali parasutnya, keberaniannya menan-tang angin, tak diragukan lagi untuk menjadi atlet nasional paralayang. Tapi, semua keahlian itu harus diabaikan karena dokter memvonisnya sebagai penderita kanker otak ketika ikut test kesehatan, dalam seleksi atlet nasional.
Lama sekali baru aku tahu penyakit Abraar itu, meski kulihat ada duka yang menggantung di setiap tatapannya. Meski kuarasakan ada keanehan dari sikapnya yang selalu menerbangkan parasut ke ketinggian yang sejajar dengan matahari. Barulah setelah dia terbaring lemas dan hendak menghembus¬kan napas terakhirnya, dia meminta maaf atas cinta semunya padaku.
Ada Yuni yang mengisi ruang hatinya. Begitu cintanya pada Yuni, Abraar tak ingin Yuni teruka dengan kehilangan dirinya kelak Aku pun jadi korban pelarian itu. Aku tak tahu perasaan apa yang berkeca¬muk di hatiku saat mendengar pengakuan Abraar. Aku ingin membenci tapi dia telah membuatku berarti.
Hanya sesaat setelah aku membasuh tubuhku dengan wudhu, adzan maghrib menggema. Segelas air putih kuteguk, tambah beberapa buah moci. Lalu meraih mukenah dan mengambil tempat di barisan jamaah yang hendak shalat.
Khusyu' sekali aku dalam shalat, lalu melantunkan doa untuk Abraar. Doa untuk ketenangannya di 'ketinggian' sana.
Ketika aku keluar mesjid, hendak membeli oleh-¬oleh khas Puncak. Kudapat-kan sosok Kade yang sedang menghampiri seorang cewek yang lumayan manis. Tentu saja aku tak cemburu apalagi terluka. Allah yang pemurah pernah mengirimkan Abraar untuk mencintaiku. Meski dengan cara lain. Kuyakin juga, Allah, kekasihku yang bersinggasana di langit sana, akan selalu hadir di hati. Untuk mendengar doaku!
***
(Termuat di Aneka Yess! Edisi Oktober 2003)



lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Gerimis Ini Turun Untukmu)


GERIMIS INI TURUN UNTUKMU
OLEH : S. GEGGE MAPPANGEWA
Perpisahan adalah kesedihan yang teramat manis. Kalimat itu diucapkan Romeo pada Juliet, yang dituntun oleh William Shakespeare. Sungguhkah kesedihan itu teramat manis? Tentu saja tergantung jenis perpisahannya. Karena begitu banyak orang yang tak sudi menangisi perpisahan dan lebih menyesali pertemuan. Tragisnya lagi, terucap kata; tiada maaf bagimu!


Maaf! Andai semua orang terbiasa dengan kata itu, semua kesedihan akan teramat manis. Tapi bukan salah siapa jika kata maaf itu susah untuk terucapkan, karena memang ada salah yang tak bisa termaafkan. Padahal kata orang bijak, memaafkan kesalahan memang lebih baik, tapi melupakan kesalahan orang jauh lebih baik. Tapi yang jadi masalah, ada salah yang tak bisa termaafkan, yakni salah yang tak bisa terlupakan.
Seorang sahabat yang telah bertahun-tahun kukenal. Tak ada istimewa dengan hubungan kami. Bertemu paling sekali sepekan. Tahun-tahun yang terlewatkan tak ada istimewa. Hanya sekadar tertawa bersama saat bersua. Bertukar mimpi. Lalu, ketika perpisahan akan menjadi bagian dari hidup kami, seketika semua jadi istimewa.
Pada detik-detik kepergiannya, saya merasakan ada ikatan yang sulit terlerai. Ada rasa yang sulit kuurai. Melarut, menggumpal, lalu seakan ingin jadi derai. Masih mampu kutahan derai itu. Hingga yang ada adalah kabut menjelaga di mataku. Inikah kesedihan yang teramat manis itu? Saya teringat dengan salah seorang sahabat yang pernah mengirimkan sms untukku dan hingga kini ku save; JIKA SUATU SAAT….! MUNGKIN HARI INI, ESOK, LUSA, ATAU KAPAN. AKU TAK BERNAPAS LAGI. KETAHUILAH, SAUDARAKU! HADIAH TERINDAH YANG PERNAH KUDAPAT DARIMU ADALAH PERSAUDARAANMU KARENA ALLAH. SEMOGA KITA TETAP ISTIQAMAH DAN DIPERSAUDARAKAN DI JANNAH!
Mungkin selama ini memang tak ada yang istimewa di antara persahabatan kami, hanya sebuah cerita sederhana dari pertemuan yang biasanya hanya sekali sepekan. Tapi kesederhanaan itu telah memberikan hadiah terindah untuk kami; Persaudaraan karena Allah! Semoga hadiah itu benar, Persaudaraan Karena Allah! Persaudaraan yang menyimpan berjuta-juta maaf. Karena sekali lagi, kata maaf itu sangat-sangat susah untuk dilantunkan. Padahal dari situlah bermuara kesucian. Dan kesucian selalu ternoda oleh salah, masalah, dan masa lalu!*** (Saat kisah ini kutulis, di luar sana gerimis turun ragu, membekukan sedih yang teramat manis)

lanjutan cerita......

28.4.09

Mawar Melati Semua Indah


Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
***************************************************************************************************


MAWAR MELATI SEMUA INDAH
Oleh: S. Gegge Mappangewa

NANDA meraih pulpen. Perih mengikuti jejak cerita yang akan digoreskannya. Sedih, lelah! Membuatnya tak bisa menggoreskan satu kata pun. Air matanya luruh tiba-tiba, saat karang hati yang pernah dibiarkan terhempas badai apapun, tumbang akhirnya. Dia pun mengalah! Melangkah menemui ibunya, yang memang menginginkan kekalahan itu.
“Inikah yang ibu inginkan?” ucapnya sambil mengibaskan rambut hitamnya.
Mata wanita yang dipanggilnya ibu, berbinar sudah. Tidak lagi basah! Juga tak ada lagi kalimat badai yang keluar dari bibirnya.
Nanda ingin menangis, tapi tetap dipaksa menarik dua sudut bibirnya, minim sekali senyum itu, seminim busana yang kini dipakainya. Di balik senyum itu tersimpan dendam. Lalu dengan langkah dibikin menggoda, dia melenggang di depan ibunya.
“Aku minta doa restu ibu,” penuh kemunafikan dia mengucap kata itu.
Teringat jilbab lebar yang pernah menutupi auratnya, dia ingin menangis. Sangat ingin! Namun lebih ingin lagi, dia ingin membahagiakan ibunya, menuruti keinginannya untuk menjadi bintang idola remaja.
Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
“Ini bukan untuk ibu, Nanda. Apa kamu nggak sakit hati pada ayah yang meninggalkanmu? Kamu bisa saja bertahan dengan kesabaranmu, tapi tolong balaskan dendam ibu. Membuat lelaki bejat itu kembali dan mengemis di rumah ini.”
Nanda ingin menutup telinga, tapi dipilihnya berlaku manis. Menurutnya, ibu tak salah menaruh dendam pada ayah yang menikah lagi. Tapi yang membuatnya tak mengerti, meski harus diterima juga, permintaan ibunya yang menyuruhnya menjadi model.
Kebanggaan ibunya dulu, pada Nanda yang anggun dengan jilbabnya, pada Nanda yang sopan langkahnya, kini pudar. Bahkan profesi Nanda sebagai penulis fiksi, tak dipandangnya. Sebelah mata pun tidak!
“Sudah berapa tahun kamu jadi penulis, siapa yang memujimu? Kamu hanya pemain di balik layar. Kamu cantik, pintar. Anugerah Tuhan jangan disia-siakan!”
Dulu, saat kalimat itu terlontar untuknya, dia masih bisa berkilah, membela diri bahkan tak rela dirinya dibanding-bandingkan dengan Kak Dira, hanya karena profesi.
“Sebelum Kak Dira jadi model, aku nggak pernah merasa dinomorduakan. Tapi kenapa sekarang ibu perlakukan untukku…”
“Ibu ingin melihat kamu sukses seperti kakakmu,”
“Dengan memaksaku? Jilbabku yang ibu kagumi dulu pun ingin ibu lepas paksa dari tubuhku,” setengah menangis dia mengucap kalimatnya.
Tapi ibunya tetap pada pendiriannya. Nanda mencoba cara lain. Banyak diam, bahkan menghindar dari ibunya hingga berkesan perang dingin. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Nanda bahkan terusir dari rumah jika tetap mempertahankan prinsip. Bukan tak ada jalan lain, tapi Nanda merasa jika menuruti keinginan ibunya adalah jalan terbaik saat ini.
***
“Jilbaber kita berganti bikini,”
Sungguh! Gendang telinganya terasa pecah mendengar kalimat itu. Dia tetap melangkah, menelusuri koridor kampus yang penghuninya melayangkan mata ke arahnya. Dia memaksa tersenyum, menganggap koridor kampus sebagai cat walk yang akan ditempatinya melenggang saat jadi model kelak.
“Nanda?” suara tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu, milik Fatah.
Nanda berhenti sejenak, menatap ke arah Fatah yang langsung tertunduk menerima tatapannya. Ini yang pertama kalinya dia menatap lama ke wajah Fatah. Sebelumnya, dia lebih banyak mendengar suaranya dari balik hijab mesjid. Kalaupun bertemu, tidak ‘sedekat’ ini.
“Jenggoter kita patah hati, nih!” teriak mahasiswa lain yang sedang melihat Nanda dan Fatah dalam kebekuan.
Nanda ingin bicara, tapi tak tahu harus mengucap apa. Fatah yang pergi darinya pun, tak mampu ditahan langkahnya. Kali ini dia menangis. Merasa kehilangan Fatah, teman setia di aktivis dakwah.
Sebenarnya Nanda tahu apa yang akan terjadi jika dia menuruti keinginan ibunya. Bahkan keberaniannya datang ke kampus dengan pakaian minim, semata karena ingin ‘uji nyali’ sekaligus membiasakan diri tampail funky.
Nanda telah membulatkan tekad untuk menjadi model! Di balik tekad itu, dia punya rencana tersendiri untuk ibunya. Mungkin semacam dendam tapi itu terpaksa dilakukan setelah tersiksa oleh paksaan dan amarah ibunya.
Padahal dia boleh saja tak serius di audisi model yang diikutinya kemarin, tapi demi dendam itu dia berusaha menjadi yang terbaik. Hasilnya tentu saja menggembirakan, buat ibunya! Meski buat dirinya sangat menyakitkan. Nanda terpilih sebagai nominasi model yang akan masuk karantina dan dibimbing ke jalan glamour.
Nanda menangis saat ibunya memberinya senyum bangga dengan prestasi yang diraihnya. Sekian lama hidup dengan ibunya, tanpa ayah, bahkan tanpa materi berlebih, namun Nanda bahagia. Tapi kini…? Keberhasilan Dira menjadi model, bukannya membuat ibunya puas. Padahal cari apa lagi? Rumah sederhana yang dulu ditempati hidup kekurangan, kini telah ‘disulap’ Dira menjadi istana. Bahkan usaha jahitan telah berubah menjadi konveksi besar. Puas tetap tak teraih. Nanda jadi korban, menggadai iman demi keinginan ibunya.
***
Nanda tahu dendam itu dosa, apalagi jika rasa itu untuk orang yang telah melahirkannya. Tapi Nanda telah meniatkannya sejak dia luluh untuk meluruhkan jilbab dari tubuhnya. Baginya, bayaran perih hati saat dia terpaksa melepas jilbab, haruslah setimpal. Paling tidak memberi teguran pada ibunya yang materialis.
Popularitas di tangan kini. Model agency tempatnya terdidik, bukan hanya memilihnya sebagai juara kedua, namun juga sebagai pemenang favorit pilihan penggemar. Tapi sedikit pun Nanda tak berbangga, bencinya malah semakin menjadi.
Dan benci pun membuncah kini. Saat wajahnya telah terpampang di lembaran majalah remaja sebagai idola, pada hampir tiap sudut kota di papan iklan yang dibintanginya. Apalagi di televisi, hampir semua peran sinetron dilakoninya. Seperti niatnya dari awal, saat namanya telah melambung dan terikat perjanjian kontrak Production House, dia pun kembali ke habitat semula, sebagai jilbaber!
“Kamu gila, Nanda! Bukankah kamu telah terikat kontrak dengan iklan shampo, gimana surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani dengan rumah produksi, peran kamu di sinetron sebagai gadis funky, tanpa jilbab! ” ibunya panik.
“Tapi perjanjian antara ibu dan Nanda, cuma sebatas jadi model…”
Kalimat Nanda terpotong oleh tamparan keras ibunya.
“Jangan anggap sepele! Rumah produksi bisa saja nuntut kamu miliyaran,”
“Kan ada denda kurungan, itu jika ibu tak mau merelakan harta yang ibu peroleh dari Dira, untuk kebebasan Nanda.”
Ibunya memelas, memaksa, juga menampar lagi. Tapi Nanda bergeming. Bahkan mengadakan jumpa pers tentang keputusannya meninggalkan dunia selebritis.
Bukan tak ada perih. Iba telah berubah menjadi ujung pedang yang mengiris-iris saat rumah, mobil dan usaha konveksi ibunya tersegel demi membayar denda pelanggaran surat perjanjiannya dengan rumah produksi. Iba bukan karena tak punya apa-apa lagi, tapi karena ibunya yang tiba-tiba shock, tak kuat menerima kenyataan yang mendadak berubah arah.
“Kamu nggak punya perasaan!” cecar Dira. “Bukan begini caranya membalas sakit hati pada ibu. Sebesar apa pun salahnya, apa susahnya melupakan, memaafkan. Atau karena jiwa kecilmu tak mampu mengingat perjuangan ibu menghidupimu tanpa ayah?
Salahkah dia punya mimpi setelah tidurnya tak kau nyenyakkan dengan tangismu di tengah malam? Minta disusui, digantikan popok!”
Nanda diam. Ujung jilbabnya telah basah air mata. Sementara ibunya terkulai lemas berjuntaian selang infus.
“Sebenarnya bukan saat kamu memilih untuk jadi model, kamu harus melepas jilbab. Tapi saat kamu membangun kebencian pada ibu, di situlah jilbabmu tak pernah pantas! Nanda, bukan kamu yang harus memberi teguran pada ibu, tapi Tuhan!”
Mendengar Dira mengucap kata Tuhan, sesal semakin menyiksa. Sedikit pun dia tak pernah meminta persetujuan-Nya lewat istikharah, saat dia memilih menjadi model. Begitu juga saat melepaskan bencinya lewat dendam, tak pernah sekali pun dia meminta petunjuk lewat doa, dia bertindak sendiri!
“Maafkan Nanda, Bu!”
Tubuh ibunya yeng terkulai, dipeluk lekat. Dibasahi dengan air mata penyesalan. Tubuh itu masih juga bisu, mendekati beku.
“Permisi!”
Pelukan Nanda terlepas. Matanya yang beralih ke asal suara membuat detak jantungnya berirama keras. Dia ingin bicara, menjelaskan pada petugas kepolisian yang datang, jika utangnya pada rumah produksi telah lunas dari hasil pelelangan harta ibunya, tapi mata petugas itu menatap tajam ke arah Dira yang membalas tatapan itu dengan gugup.
“Bisa ikut kami ke kantor?”
Dira tampak tak bisa mengelak. Seolah tahu jika dirinya bersalah. Nanda bisu, bingung, tak mengerti dengan pemandangan yang kini disaksikannya.
“Kak Dira!” desisnya tapi tak dipeduli.
Nanda ingin mengikuti langkah Dira yang dikawal petugas kepolisian, tapi ibunya yang mulai menggerakkan jari, setelah seharian hilang dari kesan kehidupan, memaksanya tinggal dan menemani ibunya.
“Maafkan Nanda, Bu! Nanda menyesal. Aku keterlaluan! Ibu mau memaafkanku, kan?”
Pejaman mata ibunya terbuka sejenak lalu tertutup lagi. Dia ingin membuka mata untuk Nanda, tapi terlalu berat. Kelopaknya menyimpan tangis. Korneanya merindukan sosok Nanda yang anggun dengan jilbabnya. Tapi rindu itu tertahan oleh sesal yang telah membedakan kedua puterinya, hanya karena profesi. Kelopak basah kemudian! Jemarinya mengenggam jari Nanda yang menjabatnya. Erat sekali!
“Nanda, Ibu yang salah…” serangkai kalimat terucap akhirnya.
Nanda menggeleng. Tapi ibunya membuka mata, menatap layu pada Nanda yang masih dibasahi tangis. Tatapan yang meminta Nanda menyerahkan semua kesalahan padanya. Baginya, tak cukup dengan sesal. Harta dan dendam pada suaminya telah membuatnya berpaling dari Tuhan, bahkan memaksa puterinya merintis jalan setapak, di antara duri. Kenyataan kini membuatnya sadar, mengingat kematian yang sekian lama luput dari ingatannya.
“Dira ke mana?”
Bergetar bibir Nanda menerima pertanyaan itu. Tangisnya terhenti, berganti kemirisan. Tentu saja tak tepat menceritakan apa yang baru saja terjadi pada Dira, meski sebenarnya dia pun tak tahu apa yang membuat Dira dijemput petugas kepolisian.
“Kak Dira ada syuting katanya,”
“Ibu ingin memeluknya. Ibu rindu,” katanya sambil meraih remote tv dan meng-on-kan.
Wajah Dira memang ada di layar kaca, tapi tak seperti biasanya. Kali ini wajahnya hadir di acara infotainmen dan menampilkan sosoknya sebagai tersangka pengedar dan pengguna drugs.
Mata Nanda tak betah menatap layar tv. Tatapnya beralih ke arah ibunya. Dia takut, akan terjadi apa-apa pada ibunya menyaksikan kenyataan baru, yang jauh lebih pahit.
“Ibu sedih. Perih! Tapi tak rapuh. Kuharap Dira bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya, seperti ibu yang kini tak bisa membedakan posisi kalian, hanya karena warna …”
Nanda melabuhkan peluknya, menumpahkan tangis di tubuh ibunya yang berusaha setegar mungkin. Dalam pelukan itu, meski perih yang akan mengikuti jejak goresan penanya, dia tetap tak sabar ingin meraih pulpen, lalu bercerita panjang.
Kutulis kisahku, pada karang dengan jari telanjang! batinnya membayangkan kalimat pembuka cerpennya, setelah sekian lama tak menulis.
***






lanjutan cerita......

SIMPAN UNTUKMU SENDIRI


SIMPAN UNTUKMU SENDIRI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SETIAP ke rumah Andien, benakku selalu dilumuti tanya. Tanya yang kusimpan sendiri karena tak ingin, juga takut jika setiap pertanyaanku berkesan menyelidik. Barang-barang mewah, foto keluarga, dan juga rumah megah, seolah sebuah jejak sidik masa lalu Andien.
Andien yang di sekolah periang, seolah tanpa beban apa pun, tapi setiap kudapatkan di rumah, dia tak lebih hanyalah mayat hidup. Kalau pun tertawa atau melayaniku cerita, itu tak lebih hanya peran yang harus dilakonkannya sebagai tuan rumah.

Tapi syukur, setahun berteman dengannya, aku sudah bisa menemukan satu jawaban dari seribu pertanyaan yang selalu hadir di benakku. jawaban itu diperdengarkan untukku tanpa kuminta. Mungkin curiga jika setiap kunjunganku berkesan cari tahu, akhirnya dia buka mulut jika rumah yang ditempatinya, cuma rumah kontrakan!
“Rumah kontrakan?”
Mataku terbelelak. Jelas saja aku heran, cewek seusia Andien. Kelas satu SMA! Memilih rumah kontrakan semegah ini? Taman yang luas, dua lantai, ruang tamu dipajangi foto keluarga, peralatan dapur yang komplit! Apa nggak sebaiknya, cukup dengan tinggal di tempat kost dengan kamar yang luas, lalu dipasangkan AC, plus home theater jika perlu! Daripada harus pilih rumah yang lebih cocok untuk orang berkeluarga seperti ini.
“Mama yang menginginkan ini, Ririn!” ucapnya saat membaca keherananku.
“Tapi kamu nggak takut tinggal sendiri di rumah luas seperti ini, kenapa nggak sekalian cari pembantu untuk membantumu merawatnya?”
Dia menggeleng pelan. Lalu bercerita jika sejak kecil dia ditempa menjadi cewek yang mandiri. Masa SD pun nggak pernah merepotkan harus diantar dan dijemput dari sekolah. Dia berangkat dengan tukang becak langganannya. Pernah tukang becak langganannya berhalangan, tanpa takut dia ikut menunggu di halte. Bertanya pada semua orang trayek bis menuju rumahnya.
Mendengar semua itu, giliranku menggeleng tak percaya. Aku pikir dia mengada-ada. Tapi pikiran salahku itu cepat dibenarkan oleh kenyataan yang kulihat selama ini. Andien yang bisa memimpin ratusan siswa sebagai ketua Osis, ketua panitia di setiap acara sekolah. Anehnya, sebagai pemimpin dia tak pernah mengandalkan telunjuknya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia sendiri yang turun tangan, kalau pun harus menyuruh, kalimatnya tak lebih hanyalah permintaan. Bukan menyuruh apalagi memerintah!
Andien memang terkenal sopan. Bicara dengan teman sekolah pun, seolah berhadapan dengan guru. Bertutur sambil senyum, menunduk sesekali jika perlu!
Aku sendiri ngeri jika harus membayangkan diriku akan seperti Andien. Bukan takut tinggal sendiri di rumah semegah ini. Aku malah takut kehilangan masa yang seharusnya kunikmati. Andien yang seharusnya hanya ‘dibebankan’ oleh tugas sekolah demi mempertahankan peringkat kelas yang memang tak pernah dilepaskannya, juga harus berperan sebagai ‘ibu rumah tangga’ yang merawat rumah.
Andien seolah terkarbit. Meski usia dan wajahnya masih muda, tapi isi kepalanya terlalu tua. Pesta adalah foya-foya, menghambur uang, uang lebih baik ditabung demi keperluan mendadak daripada jalan ke mal tanpa tujuan yang jelas, dan entah prinsip apalagi yang selalu dipertahankannnya. Prinsip yang seharusnya ada pada wanita berkeluarga. Bukan pada Andien yang masih kelas satu SMA!
Meski begitu, Andien bukanlah pelit. Butuh uang berapa tinggal bilang, Andien tak pernah keberatan untuk meminjamkan. Bahkan kegiatan sosial yang diadakan sekolah pun, dia sering mengeluarkan uang pribadi untuk menambah besarnya dana yang akan disumbangkan. Ya, selama itu bukan urusan foya-foya, adalah sah-sah saja menurut Andien.
Belum sejam cerita dengannya, sebuah Nissan Terrano masuk di pekarangan.
“Mamaku datang, Rin!”
“Kamu baik-baik saja, Andien?”
Andien mengangguk! Kecupan wanita itu kemudian mendarat di kening Andien, tanpa sempat merapikan poninya dulu. Ya, tanpa sempat! Dengan langkah tergesa masuk ke dalam rumah. Dari pintu, kulihat dia masuk di kamar yang membelakangi ruang tamu. Andien membuntutinya setelah pamit sebentar denganku.
Saat pamit tadi, ada yang lain di tatapan Andien. Mungkin malu melihat perlakuan mamanya yang sedikit pun tidak menghargaiku sebagai tamu. Jangankan menyapaku, senyum pun tidak. Hanya ekor matanya yang tertuju padaku, melirik seolah mencari tahu, teman bergaul Andien seperti apa.
Tak cukup seperempat jam, Andien dan mamanya keluar. Masih dengan langkah tergesa.
“Kamu baik-baik ya, Sayang!”
Andien menerima kecupan lagi. Bukan sekali! Tubuh mungil Andien pun, didekapnya erat. Rindu di mata anak beranak itu jelas sekali kulihat. Aku berdiri menghampiri saat pelukan mereka terlerai, tapi yang kudapat hanya senyum tanda pamit. Hanya itu!
“Maaf jika mamaku kurang menganggapmu ada. Dia buru-buru sekali! Dia hanya transit di sini, pesawatnya akan berangkat lagi jam satu siang. Dia khawatir ketinggalan pesawat!”
“Memang dari mana?”
“Belum tahu, mama dan papaku tinggal di Yogya? Dia habis mengunjungi anak perusahaan yang ada di Kawasan Industri!”
Perlahan, akhirnya aku banyak tahu tentang Andien. Pikirku selama ini dia orang Makassar. Tapi entah kenapa, tetap saja ada yang mengganjal di pikiranku. Seolah Andien semakin menyembunyikan sesuatu untukku, setiap dia mengungkap cerita tentangnya.
“Itu foto waktu aku masih kelas enam SD,” ucapnya sambil mendekatiku yang sedang melihat foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
“Kamu anak tunggal?”
Kali ini Andien cuma mengangguk, padahal di mataku, ada yang ingin terucap di bibirnya. Saat seperti itulah aku merasa ada yang tersembunyi di balik diri Andien. Mungkin curiga aku melihat perubahan di wajahnya, dia kembali bercerita banyak tentang dirinya. Cerita yang semakin membuatku ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya.
“Aku memang sering ingin punya saudara, tapi Mama dan Papa yang sibuk lebih mengutamakan karir. Jangankan berpikir untuk punya anak lagi, aku saja yang sudah ada seolah tak pernah terpikirkan!”
Aku menepuk bahunya. Meski tak menangis mengucap kalimat itu, kutahu ada yang tergores di balik dadanya. Menyesal juga, aku terlalu ingin tahu tentangnya.
Giliranku untuk bercerita. Memberinya semangat, memintanya bersyukur dengan keadaannya sekarang. Aku pun heran, aku tiba-tiba seperti orangtua yang menasihati anaknya, saat memintanya membuka mata jika dia masih lebih baik ditelantarkan dalam kemewahan. Ada bahkan banyak orangtua yang menelantarkan anaknya di jalanan karena memang tak punya materi untuk menyayangi mereka, atau mungkin juga memang tak ada kasih sayang. Semua harus disyukuri!
Andien menangis di pelukanku. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berarti buat Andien. Selama ini dia selalu merasa tak butuh bantuan. Segalanya bisa diatasi sendiri. Tapi kini tangis yang disimpannya sendiri selama ini, kini dibagi untukku.
***
Seharian di mal membuatku memilih istirahat di kafe lantai dasar. Baru saja kurapatkan duduk, suara anak kecil yang kira-kira masih di bangku SD, menggelitikku untuk balik ke meja yang ada di sampingku. Sejenak mataku terpaku di meja yang dikelilingi oleh beberapa orang, termasuk anak kecil yang merengek dan memanggil papa pada lelaki yang duduk di sampingnya.
Aku tak mungkin salah lihat, meski wajahnya hanya kusaksikan di foto, aku yakin lelaki itu papa Andien. Lalu anak kecil itu, juga wanita yang dipanggilnya mama? Aku mengerutkan kening, wanita itu bukan mama Andien yang kulihat kemarin.
Aku cepat keluar sebelum memesan apa-apa di pramusaji kafe. Andien harus tahu jika papanya punya wanita simpanan. Bukan sibuk kerja seperti alasannya selama ini. Pulsaku yang habis semalam dan belum sempat kuisi ulang memaksaku mencari wartel.
Selangkah sebelum masuk wartel, mataku mendapatkan pemandangan yang semakin ‘mengerikan’. Ini pasti mimpi buruk buat Andien. Mamanya sedang berpegang pada lengan seorang lelaki seusianya. Tak hanya itu, juga seorang anak kecil berada di antara mereka. Bahkan sedang melangkah menuju kafe yang tadi ditempati papa Andien dan keluarga simpanannya.
Beginikah kesibukan mereka selama ini? Tapi kenapa harus di sini, bukankah menurut pengakuan Andien, mama dan papanya tinggal di Yogya?
Andien harus tahu, aku tak boleh membiarkan dia dibohongi terus oleh orangtuanya. Tak peduli itu melukakan buat Andien, aku tak ingin menyimpan kenyataan ini sebagai rahasia.
“Ririn!”
Belum sempat aku berbalik memenuhi panggilan itu, lenganku telah ditarik menjauh.
“Andien?”
“Kamu sudah lihat semuanya, kan? Kuharap kamu jangan bercerita pada siapa pun di sekolah. Aku malu!”
Andien tertunduk menahan tangis karena sadar jika dia sedang di tengah keramaian mal.
“Aku bukan orang Yogya! Rumah yang kutempati bukan rumah kontrakan, Ririn. Rumah itu diwariskan untukku sejak lulus SD. Diwariskan karena mama dan papa memilih cerai.”
Kutarik lengan Andien, tangisnya semakin tak bisa ditahan. Lebih tak bisa ditahannnya lagi, beban yang kini menghimpit dadanya. Saat merapatkan duduk di jok mobilku, dia langsung melanjutkan ceritanya di antara isak.
Aku seperti kehilangan konsentrasi menyetir saat mendengar semuanya. Tentang Andien yang tiap hari Minggu ke mal mencari mama dan papanya. Dia tahu sekali jika mama dan papanya sengaja ke kafe tadi, untuk saling membuktikan bahwa mama maupun papanya bisa bahagia dengan keluarga barunya.
Andien hanya bisa melihat wajah mama dan papanya dari jauh. Bersebelahan meja tanpa tegur sapa! Ya, hanya untuk memanas-manasi, saling membuktikan kebahagiaan mereka! Dan tentu saja Andien tak boleh mendekat, karena keluarga mamanya, juga keluarga papanya tak pernah mengharapkan kehadirannya.
Hanya sebulan tinggal bersama mama tirinya, papa memintanya pulang ke rumah karena selalu menjadi penyebab pertengkaran dengan isteri barunya. Mamanya lebih parah, bukannya mengajak bergabung, malah menghadiahinya rumah warisan asal tak ikut dengannya, karena suami barunya tak ingin ada Andien dalam rumah.
Semua mencari kebahagiaan sendiri sejak Andien masih kelas satu SLTP. Andien harus sendiri! Sendiri menentukan hidup, sendiri mencari bahagia. Termasuk mengintip kebahagaiaan keluarga mama dan papanya yang baru. Karena melihat mama dan papanya, dari jauh pun, adalah kebahagiaan tersendiri buat Andien.
“Semua kusimpan sendiri, Ririn! Bahkan mencari pembantu pun di rumah aku nggak mau karena nggak ingin ada yang tahu rahasia ini. Sekarang kamu terlanjur tahu. Simpan rahasia itu demi aku, Ririn! Kumohon!”
Aku tak tega membiarkannya memelas seperti itu di depanku. Aku berjanji akan tetap menjadi Ririn yang dulu. Sahabat yang tak pernah tahu apa pun tentang Andien. Akan kubiarkan dia menyimpan rahasia itu untuknya tanpa pernah menyingkapnya. Tapi tangisnya, takkan kuijinkan dia menyimpannya sendiri.
***


lanjutan cerita......

Market Day


MARKET DAY
Oleh: S. Gegge Mappangewa
18 April 2009. Sekolah tempatku mengajar menggelar acara Market Day. Siswa membawa barang jualan dari rumah, kemudian digelar di bawah tenda biru yang dipasang di lapangan depan sekolah. Ramai sekali. Sepertinya mereka semua berbakat jadi pedagang!
Di tengah suasana Market Day, saya teringat pasar di kampungku, pasar Bilokka namanya. Karena kampung, tentulah pasar tak bisa buka tiap hari. Lalu muncullah istilah esso pasa atau market day. Hari pasar di kampungku adalah Senin, Rabu, Jumat. Sebagai pasar kecamatan, tentu saja pasar inilah yang paling ramai di antara pasar desa lainnya.


Dan ada hal yang tak akan pernah bisa kulupakan jika teringat dengan hari pasar di kampungku. Dulu, setiap pulang sekolah di hari Senin, Selasa dan Rabu, saya selalu didera penasaran sepanjang perjalanan. Mencoba menebak, apa menu makan siang hari ini? Paserre bale janggo’ (ikan janggo’ bakar) atau hanya tunu bale rakko (ikan asin bakar)? Kalau sayurnya, tak usah ditebak. Ibu tak pernah beli sayur-sayuran di pasar. Ibu selalu memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami sayur-sayuran, jadi saya selalu bisa menikmati sayur hijau bening setiap harinya. Saking melimpahnya sayur, jenis sayur setiap sarapan, makan siang, dan makan malam, selalu berganti. Meski tidak berganti jenis tapi ibu selalu menghidangkan sayur hangat yang baru diangkat dari atas tungku perapian. Bukan dihangatkan, Tapi benar-benar hangat karena baru dimasak.
Back to esso pasa. Karena hari pasar hanya tiga kali sepekan, tentulah untuk menikmati menu ikan segar hanya di hari pasar. Apalagi saat itu di rumah panggung kami belum ada kulkas, bisa dipastikan di hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Ahad, ibu akan menghiasi nampang bundarnya dengan ikan asin atau bahkan hanya telor dadar penghasil protein satu-satunya.
Itu kenangan tentang hari pasar saat masih sekolah dulu. Sekarang…? Masih seperti itu. Hari pasar di kampungku masih tiga kali sepekan. Tapi tentu saja perjalanan pulang sekolahku tak lagi didera penasaran, bukan semata karena saya tidak berstatus pelajar lagi, tapi karena saya tak lagi tinggal di kampung. Bukan berarti tak ada lagi kenangan yang bisa kusimpan di memoriku tentang hari pasar. Banyak sekali! Setiap pulang kampung, saya masih selalu didera penasaran. Mencoba menebak menu apa yang akan dihidangkan ibu untukku? Meski ibu telah punya kulkas yang bisa dijadikan gudang untuk ‘menimbun’ sembako’ segar (terutama ikan), saya masih lebih senang dengan menu di hari H pasar. Ikannya segar sekali! Dan ibu tahu sekali jika saya senang sekali dengan ikan mujair. Setiap dia tahu saya akan pulang menemuinya, bisa dipastikan menunya adalah ikan mujair.
Biasanya, di hari H pasar, pagi-pagi sepulang pasar dia akan membakar ikan mujair! Dia memilihkan yang paling besar untukku. Lebarnya biasa sampai delapan jari orang dewasa. Dilepas sisiknya, kemudian bagian tubuh ikan diiris agar bumbunya meresap. Setelah matang, ibu membumbuinya dengan ulekan cabe, tomat campur kemiri atau kacang…. Hmmmm menu yang disebut paserre’ bale ini membuatku biasa lupa dengan siapa pun. Bahkan ayah yang belum pulang dari sawah biasa tak kusimpankan. Satu ekor utuh untukku! Yang tersisa tinggal tulang. Bahkan, insangnya pun kadang tak bisa lari menghindar dariku. Biar nggak kekenyangan, makan nasinya kukurangi.
Siangnya makan apa ya? Tentu saja ibu tahu kalau setiap pulag kampung, saya paling lama dua hari, jadi siangnya masih menghidangkan ikan mujair untukku. Tapi bukan paserre bale lagi. Kali ini saya akan ‘berhadap-hadapan’ dengan ikan masak. Masih dengan mujair berukuran all size. Saking besarnya kuah ikan masak ibu biasa berminyak. Karena ikan air tawar, jangan harap akan ada bau amis. Saat memasak ikan air tawar ibu menggunakan asam mangga, kalau untuk ikan laut dia menggunakan asam jawa. Kedua asam ini, ibu tak pernah beli. Setiap musim mangga, mangga kecil yang biasanya jatuh sebelum berbiji, ibu pungut kemudian dijadikan asam. Kalau asam jawa, kebetulan tak jauh dari rumah ada pohon asam yang selalu berbuah lebat.
Biasanya, kalau menunya ikan masak, ibu biasa mendampingkannya dengan ronto’, sejenis udang kecil yang masih mentah yang biasa dibuat ebi. Saking segarnya ronto’ nya biasa masih lompat-lompat di mangkok lauk di antara bumbu sambel yang dicampurkannya. Di restoran manapun, tak akan pernah mendapatkan menu seperti ini. Dan tentu saja kenikmatan seperti itu hanya bisa kudapatkan di meja makanku.
Sayurnya? Masih seperti dulu! Kalau bukan dapat di pematang sawah, ibu memetiknya dari halaman rumah yang selalu ditanaminya terong, pare, dan lain-lain. Biasanya, karena tak mau kekenyangan, bukan hanya nasinya yang kukurangi, makan sayurnya pun saya batasi. Nanti sejam setelah makan, baru saya mengambil semangkok sayur lalu memakannya seperti makan sup.
Ingat menu hidangan ibu, saya terkenang dengan sahabat-sahabat saya yang pernah mampir di rumah. Mereka semua ketagihan dengan menu ikan bakar ibu. Itu kalau mereka datang di hari pasar. Kalau nggak, ayah akan mengusulkan ayam kampungnya yang ada di kandang di bawah rumah panggung kami. Karena bagi ibu dan ayah, tamu adalah pembawa rejeki. Harus diistimewakan.
Saat mau kembali ke Makassar, kalau bukan hari pasar, pagi-pagi sekali ibu menyuruhku ke pasar kecamatan sebelah. Tentu saja untuk mencari ikan mujair. Dan ikan mujair itu akan dia pepes. Dibakar tanpa bersentuhan langsung dengan api, tanpa disisiki. Menu seperti ini namanya tapa bale. Biasanya bertahan lama karena tidak langsung diberi bumbu atau sambal. Biar nikmatnya tak berkurang, ibu tetap membuatkan sambal untukku kemudian dia bungkus dengan daun. Tiba di Makassar, buah tangan ibu akan menjadi santapan lezat. Warung dan restoran lainnya…? Nggak dapatt!!!
22 April 2009, SD Mulia Bakti, menunggu siswaku selesai Olimpiade Sains

lanjutan cerita......

BERAWAL DAN BERAKHIR DI MEJA MAKAN


BERAWAL DARI MEJA MAKAN
Oleh: S. Gegge Mapangewa
Jakarta, 17 Maret 2009. Bis bandara mengantarku ke terminal Lebak Bulus sekaligus mengantaku menelusuri sebuah lorong di hatiku. Lorong sunyi masa lalu. Lorong yang menyimpan memori saat enam tahun yang lalu saya menginjakkan kaki di ibukota ini. “Jakarta, I’m coming again!” Sebuah suara menggema di lorong sunyi itu.

Tak ada yang istimewa di bis ini. Meski David Chalik, sang bintang sinetron, hadir satu bis denganku. Dia boleh jadi tokoh utama di sinetron, tapi kali ini nasibku lebih mujur daripada dirinya yang berdiri di depanku karena tak mendapat tempat duduk.
***
Tiba di lokasi training menjelang maghrib. Penat. Lelah. Registrasi secepatnya lalu masuk kamar. Saya ingin sekali isitirahat tapi tentu saja itu tak mungkin, teman sekamar harus kusapa. Sekamar dengan peserta dari Maluku Utara dan Kalimantan Selatan.
Saatnya bergabung dengan peserta lain. Dari meja makan ini kisah berawal. Setelah dipertemukan dengan teman sekamar, kali ini dipertemukan dengan teman semeja makan. Jabat tangan sebut nama. Soleh dari Banten. Barma dari Lampung. Munawar dari Sulbar. Dan saya, Gegge dari Sulsel. Dan siapa sangka, breakfast, lunch dan dinner berikutnya, kami selalu saling mencari untuk satu meja makan. Bahkan untuk menerima materi pun, sering duduk bersebelahan. Hingga perpisahan itu datang merenggut kisah yang sering kami bagi di meja makan.
Soleh dan Munawar yang sudah beranak pinak selalu memberi motivasi menikah. Barma yang pelantun nasyid ternyata sebelumnya adalah penyanyi elekton yang biasa manggung di tempat terbuka. Dan saya yang ketahuan sebagai penulis, selalu dimintai ‘materi kepenulisan’ saat ngumpul. Saya dan Barma selalu jadi bulan-bulanan sindiran karena belum menikah. Bahkan beberapa nama sempat disebutkan untukku segampang itukah memiliih pasangan hidup?
***
Hari terakhir. 21 Maret 2009. Kami satu meja makan lagi. Saya membagikan novel terbaruku (Cupiderman 3G) untuk mereka bertiga. Ternyata keakraban yang berawal di meja makan itu akhirnya berakhir juga di meja makan. Saya, dan kuyakin juga mereka menyimpan rindu di hati masing-masing. Kesibukan membuat kami tak bisa mencurahkan rindu meski hanya sekadar smsan.
Semoga ada meja makan yang akan mempertemukan kami kembali. Amin! Ya, selain kami berempat, peserta dari semua propinsi itu kini terikat dalam ikatan GEMPITA (Generasi Muda Pembina Insan Berprestasi). Sebuah amanah yang tak ringan tapi insya Allah imbalannya juga tak ringan! Allahu Akbar!!!***(Kenangan Training Of Trainer Kebijakan Kepemudaan dalam rangka Penanggulangan Faktor Destruktif)






lanjutan cerita......