Oleh : S. Gegge Mappangewa
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.
TATAPANNYA melarangku pergi. Biasnya jauh berbeda dengan tatapannya dua bulan lalu, saat aku berdiri di depan kelasnya yang berdindingkan papan lapuk, untuk memperkenalkan diri sebagai guru baru. Beberapa bangku dan meja hampir senasib dengan dindingnya. Sebagian tripleks papan tulisnya pun telah terkelupas. Untung ada gambar Sultan Hasanuddin dan Cut Nyak Dien yang menghiasi dinding, hingga kelas itu sedikit berbeda dengan gudang. Pemandangan itu akan kutinggal kini.
”Jangan pergi, Kak!” Bukan hanya tatapan. Kini hatinya kudengar merintih. Meski bibirnya takkan pernah sanggup mengucapkan kalimat itu untukku.
Di luar rumah mulai ramai. Murid-muridku yang tak lebih dari tiga puluh orang dari tiga kelas yang tersedia di sekolahnya, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk melepas kepergianku. Kuraih jas almamater, lalu keluar menemuinya. Rustan, yang tatapan dan lirih hatinya dari tadi melarangku untuk pergi, mengikuti langkahku dari belakang.
”Kak Galang...!” teriak mereka dari depan tangga rumah panggung.
Aku berdiri di puncak tangga. Bukan hanya murid-muridku yang datang, tapi juga orangtuanya, beserta oleh-oleh untukku. Bawang merah, kol, kentang, wortel, dan banyak lagi jenis sayuran lain. Telah berdiri satu karung penuh isi, masih tersisa beberapa sayuran lagi yang belum masuk dalam karung. Kutatap satu per satu. Dua puluh tujuh orang. Semua hadir untuk melepas kepergianku.
”Kak Galang, jangan lupakan kami ya!” Rustan berucap dari belakangku.
Mereka memang memanggil kakak padaku. Aku tak mengajarnya memanggil pak guru. Aku ingin memasuki hati mereka tanpa ada batas. Ada kasihan yang mendarahkan perasaanku saat pertama menemukan mereka di kelas yang gaduh karena tak ada guru. Di sebuah dusun terpencil. Di antara perkebunan kopi dan ladang bawang. Di antara harapan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.
Awalnya aku bergidik membayangkan saat harus ditugaskan di sana. Di sebuah SD Kecil. Kecil karena muridnya hanya kelas satu hingga kelas tiga. Setelah naik kelas empat mereka akan dipindahkan ke satu-satunya sekolah negeri yang ada di Tongko, desa induk. Sekolah ini dibangun karena anak kelas satu hingga kelas tiga masih terlalu kecil untuk menenteng tas menyelusuri bukit, menyeberangi sungai, berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah satu-satunya yang ada di Tongko. Kalimbua nama dusun ini. Aku rela berpisah dengan teman KKN yang berposko di Tongko setelah mendengar cerita kepala desa tentang SD Kecil yang lebih banyak belajar bermain. Bukan metode active learning, tapi bermain sendiri tanpa guru.
Mungkin inilah yang disebut panggilan jiwa. Selain rela berpisah dengan teman-teman posko, tentu saja aku rela jadi guru tanpa bayaran. Padahal di Makassar, di tempatku mengajar, aku hanya berpredikat guru freelance karena masih harus sibuk dengan kuliah, tapi saat datang mengajukan lamaran sebagai guru Writing Process, aku tak segan-segan menyebut angka gaji yang kuinginkan. Pikirku, semua harus dibeli. Meskipun aku bukan mahasiswa kependidikan yang berbekal ilmu keguruan, tapi pengalamanku sebagai penulis yang harus dibayar.
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.
Perbedaan yang sangat jauh. Di kota, orangtua menyambut anaknya pulang sekolah tidak dengan pertanyaan, ”Belajar apa tadi di sekolah, Nak?” tapi ”Guru siapa yang tadi menghukummu, Nak?” Sementara di kampung, orangtua murid yang datang sekolah yang meminta anaknya dihukum bila tidak taat peraturan sekolah apalagi tidak mau belajar.
”Kak Galang, kemarin saya demam. Nggak masuk sekolah. Padahal kemarin belajar bilangan ganjil dan genap. Saya tertinggal dong!” ucap Nuraeni.
Aku menuruni tangga setelah beberapa lama membiarkan diri dengan lamunanku. Semua oleh-oleh telah dikemas dalam karung. Tiga karung setengah. Tiga karung sayur-mayur dan setengahnya adalah buah alpukat dan segala macam kopi. Biji kopi yang belum digiling tapi sudah dipanggang, kopi bubuk, bahkan ada biji kopi yang masih harus dijemur lagi karena baru dipetik kemarin. Seolah tak ada yang tak mau memberiku oleh-oleh, tanpa pernah berpikir kalau aku tak tahu bagaimana menjemur kopi, apalagi mengelolanya hingga menjadi kopi bubuk.
”Sangat mudah membedakan bilangan ganjil dan genap,” tatapannya sangat senang menerima pelajaran tambahan itu.
Aku lalu memberi privat pada Nuraeni. Menyuruhnya menghitung dengan sepuluh jari tangan. Hitungan pertama dengan telunjuk kanan, hitungan kedua pindah ke telunjuk kiri, lalu jari tengah kanan di hitungan ketiga, begitu seterusnya hingga berakhir di ibu jari kiri di hitungan kesepuluh.
”Sekarang menghitung sampai tujuh dengan cara seperti tadi!”
Nuraeni dengan cepat menghitung sambil menaikkan jari kanan dan jari kiri secara bergantian. Tepat di hitungan ketujuh, tangan kanannya menampilkan empat jari kecuali ibu jari, dan tangan kirinya dengan tiga jari.
”Sekarang pasangkan jari-jari yang kanan dengan yang kiri!”
”Jari kelingking kanan nggak ada pasangannya, Kak!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan jari kelingkingnya.
”Itu berarti angka tujuh adalah bilangan ganjil, karena salah satu jari kamu nggak punya pasangan. Kalo semua jari punya pasangan, berarti itu bilangan genap.”
”Tapi jari saya cuma sepuluh. Kalo angkanya 38, gimana?”
”Ambil angka yang terakhir, yaitu delapan!”
Dia kemudian menghitung dengan metode seperti yang kuajarkan. Saat tiba di hitungan kedelapan, di mana tangan kanan dan tangan kirinya menampilkan masing-masing empat jari, kecuali ibu jari, dia memasangkan jari-jari tersebut.
”Semua ada pasangannya. Berarti 38 itu bilangan genap!” ucapnya.
Dalam lima menit, Nuraeni telah bisa membedakan bilangan ganjil dan bilangan genap. Cara seperti itu sebenarnya tak pernah kudapatkan di bangku sekolah, tapi dulu diajarkan oleh mama saat menemaniku belajar. Mama memang cerdas, selalu mencari cara cepat saat mengajarku di rumah. Padahal mama bukanlah guru, tapi tentu saja tetaplah pendidik bagi aku, anaknya.
”Sudah pukul sebelas!” ucap salah seorang dari orangtua murid.
Aku terjaga. Hari ini aku sudah harus di Tongko sebelum ashar, karena penutupan sekaligus pelepasan mahasiswa KKN akan dilaksanakan ba’da ashar di kecamatan. Intania, murid kelas satu yang selalu terlambat datang ke sekolah karena rumahnya yang jauh dari sekolah, sudah memperlihatkan kelopak mata yang penuh dengan air mata. Tapi belum menangis.
”Kalo Kak Galang mau tinggal di sini, saya nggak akan terlambat lagi ke sekolah. Saya janji akan berangkat subuh-subuh ke sekolah.”
Kantong air mata yang dari tadi dipertahankan keutuhannya, bocor kini. Rupanya masih ada bagian dari negeri ini, di mana ilmu masih sangat langka, yang untuk mendapatkannya haruslah mengemis, menangis, seperti yang dilakukan Intania untukku. Padahal Kalimbua bukanlah suku terpinggirkan. Hanya butuh perjalanan lima jam untuk tiba di desa induk. Dan dari desa induk, hanya butuh dua jam untuk tiba di kota kecamatan. Pasar-pasar di Makassar, hampir semuanya mensuplai sayuran dari sini untuk kemudian dijual, bahkan pasarannya hingga ke Kalimantan. Tak cukup sepuluh kilometer dari kota kecamatan, berdiri gapura batas kabupaten, yang bertuliskan ”Selamat Datang Di Tana Toraja” daerah wisata yang terkenal hingga ke mancanegara. Tapi SD Kecil Kalimbua tak pernah dilirik.
Akan kuceritakan pada siapa pun bahwa kebanggaan yang paling luar biasa bagi seseorang adalah saat dia begitu berarti bagi orang lain. Tapi kenapa SD Kecil ini sering ditinggalkan oleh gurunya? Akhh, aku lupa suatu hal. SD Kecil ini berdiri atas swadaya masyarakat, karena keprihatinan mereka pada anaknya yang masih kecil yang tidak memungkinkan untuk pergi sekolah dengan jalan kaki.
Akhirnya niat masyarakat itu dijembatani oleh seorang guru yang kemudian mengaku sebagai pemrakarsa berdirinya SD Kecil. Saat yang tepat, karena guru tersebut memang hanya mencari popularitas untuk kemudian diprioritaskan dalam kenaikan pangkat. Pihak Diknas, menangkap itu sebagai ide cemerlang. Tapi setelah SD Kecil terbentuk, tak seperti yang diprogramkan. Tiga guru yang bertugas di sana tak ada yang betah. Tentu saja dengan alasan daerahnya yang terisolasi. Toh gaji diterima setiap awal bulan, meski mengajarnya hanya terkadang akhir bulan sampai awal bulan.
”Saatnya Kak Galang untuk berangkat!”
Aku tahu kalimatku tidak diinginkan. Semua mematung. Sementara kabut tebal yang selalu menyelimuti Kalimbua, mulai menipis pertanda pagi telah beranjak. Di dusun ini, matahari memang terkadang tak muncul berhari-hari. Hanya kabut yang setia membawa dingin. Iklim dingin seperti itu yang membuat daerah ini kaya akan sayur-sayuran. Aku memberanikan diri melangkah saat semua mematung menatapku.
”Harusnya Kak Galang tak pernah ada bersama kami.” Nuraeni mengucapkan itu dengan tangis. Dia melepaskan ayam yang terikat kakinya, yang digendongnya dari tadi, lalu berlari menumpahkan tangis di pelukan ayahnya.
Ternyata perpisahan ini terlalu melukakan baginya, hingga berpikir aku lebih baik tak pernah ada di kehidupannya daripada harus datang sesaat lalu pergi.
Kulirik jam di pergelanganku. Melihat kegelisahan itu, Rustan yang dari tadi berdiri di sampingku berlari naik ke rumah. Dia kemudian datang membawakan careel-ku. Rustan memang paling dekat dengan saya selama ini, karena selama dua bulan aku menginap di rumahnya. Mungkin karena hampir tiap malam mendengar cerita tentang kuliah dan pekerjaanku sebagai guru freelance hingga dia sangat sadar bahwa aku memang harus pergi.
”Oleh-olehnya gimana?” ucapku saat careel telah memeluk punggungku dari belakang. Ucapan yang sangat terbata, takut semakin melukai perasaan mereka. Tapi bagaimana mungkin aku membawa oleh-oleh sebanyak tiga karung setengah sementara untuk berjalan kaki tanpa beban pun menuju Tongko sangatlah berat.
”Ambil oleh-olehnya masing-masing!” perintah Rustan.
Anak ini punya bakat jadi pemimpin. Padahal dia baru kelas dua, tapi mampu membuat teman-temannya menatapnya sebagai murid paling dewasa di sekolahnya. Aku belum mengerti apa yang akan mereka lakukan. Semua isi karung itu dikeluarkan dan mereka memegang oleh-olehnya masing-masing.
”Kita antar Kak Galang sampai ke Tongko!” perintah Rustan.
”Horeee...!”
Kesedihan yang tadi membekukan, kini cair. Jadilah kami seperti rombongan karnaval. Jalan berbaris menyusuri perkebunan kopi dan ladang sayur-sayuran. Orangtua mereka ikut dari belakang, meski tak bisa ikut bernyanyi seperti yang sesekali aku lakukan bersama murid-muridku. Lima kilometer dilalui dengan tawa ceria. Berlarian. Beberapa siung bawang merah berjatuhan di pematang, saat anak yang membawanya tergelincir dan jatuh.
Teman-teman posko menyambut kedatanganku dengan mata melotot. Dia tak pernah menyangka kepergianku dilepas dengan ’karnaval’ panjang seperti itu. Tak ada lelah di mata mereka. Keceriaan tadi berganti lagi dengan kesedihan. Apalagi bis yang akan membawa kami pergi telah parkir di depan rumah kepala desa.
Di antara sedih, dibantu orangtuanya, mereka memasukkan kembali oleh-oleh itu ke dalam karung. Nuraeni menyerahkan langsung ayamnya padaku, tentu saja diiringi air mata. Teman-teman posko yang hendak usil dengan mengomentari ayam pemberian itu, jadi kelu. Isak Nuraeni pecah. Aku memeluknya. Kabut datang menyelimuti Tongko, seolah ingin menyembunyikan air mataku.
Tak hanya kabut. Tarian angin yang selama ini terkadang hanya berhembus sepoi, kini meliuk keras hingga membuat pohon-pohon yang harusnya ikut kelu dengan perpisahan ini, harus ikut menari. Tertiup angin, kabut yang menggulung dari Gunung Tongko, tercerai-berai, jatuh satu per satu setelah menipis seperti potongan-potongan kecil benang putih. Tipis. Menyerupai musim salju.
”Kalian harus rajin belajar, biar pintar seperti Kak Galang!”
Suaraku seolah tak terdengar. Aku sadar telah menangis. Mereka menikmati kesedihannya dengan menatapku tiada lepas. Satu per satu mereka datang mencium tanganku, memelukku hingga bahuku basah air mata.
”Kak Galang suatu saat akan kembali ke sini kan?” ucap Rustan. Satu-satunya murid yang mampu berucap saat memelukku. Yang lain hanya diam. Kerongkongan mereka hanya mampu mengeluarkan suara tangis yang kadang tertahan, membuat tangis itu terdengar semakin melukakan.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya hingga bis membunyikan klakson. Kulepas jas almamaterku, lalu kupasangkan di tubuh kecil Rustan. Meski dia sangat bahagia dengan pemberian itu, air matanya tetap saja datang mewakili sisi hatinya yang terluka.
Wajah mereka benar-benar hampa akan harapan saat aku melangkah menaiki bis. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan perihnya patah hati. Aku yakin, baginya, ini lebih dari patah hati. Setelah diberi harapan menapak masa depan, mengejar cita-cita, meraih bintang, tiba-tiba kompas yang diharapkannya harus hilang. Air mataku luruh. Lenganku bahkan tak bisa kuangkat untuk membalas lambaiannya, padahal bis sudah beranjak perlahan. Bergerak menjauh dari mereka, semakin jauh. Hingga akhirnya, hanya ruang di balik dadaku yang mampu mendengar tangis kehilangannya.
***
Acara pelepasan mahasiswa KKN di kota kecamatan, berlalu begitu saja. Suara tangis murid-muridku masih mengiang jelas. Sosoknya masih terbayang jelas.
”Kamu kenal dengan orang yang membawa kata sambutan di atas sana?” tanya Fauzi, teman posko yang kebetulan duduk berdampingan denganku.
Aku tak usah menjawab, karena kutahu itu retoris untukku. Sosok itu juga yang mewakili pak camat karena tak sempat hadir, membawa kata sambutan saat kami baru datang di wilayahnya ini dua bulan lalu.
”Dia itu alumni SD Kecil tempatmu mengabdi dua bulan.”
Aku menatap Fauzi tak percaya, tapi dia meyakinkanku dengan anggukan. Katanya, menurut cerita kepala desa, masih banyak pejabat kabupaten yang dulunya sekolah di SD Kecil itu, bahkan ada yang sudah menjadi anggota dewan. Bukan karena dulunya SD Kecil itu sekolah unggulan, tapi karena SD Kecil itu mendidik orang-orang yang berkemauan besar untuk maju.
Tapi mengapa tak ada yang kembali untuk membangunnya? Bukankah SD Kecil itu yang telah membuat mereka menjadi orang besar?
Sekolah itu telah mereka anggap sebagai ibu yang telah menelantarkannya dulu. Tak bisa memberi ASI yang cukup apalagi gizi sempurna. Dan giliran mereka sekarang untuk menelantarkan SD Kecil itu. Mungkin mereka telah merasa berhasil membalas sakit hatinya dengan ’mengutuk’ sekolah itu jadi batu, tak bisa tumbuh besar. Tapi, tanpa pernah mereka sadari, mereka juga adalah Pejabat Kundang. Guru-guru yang makan gaji dari sekolah itu, namun tak pernah mengabdi, juga adalah Guru Kundang.
Itu hanyalah sebagian kecil kedurhakaan, yang tanpa disadari telah membuat bumi ini sering murka.***
5.4.09
Sekolah Kundang (Cerpen Pemenang I Lomba Menulis cerpen Majalah Annida 2008)
Diposting oleh Gegge di 23.04
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar