17.12.09

INI KISAH SAYA


Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai air mata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep… semua!! Saya tak boleh bermimpi, saya harus tetap terjaga bahwa saya hanyalah pecundang.
“Kamu pengecut!”
“Biarin!”
“Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir.”
“Kamu bukan saya, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa saya telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis.”
Pffuihh…! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!

INI KISAH SAYA
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SAAT membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi sound track kisah ini.
Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka
… … …
***
Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendirianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai air mata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikmat. Beginilah kenyataan. Inilah kisah yang harus kulakonkan, di antara para aktor lain yang begitu mudah mendapat peran jagoan, kaya, cakep… semua!! Saya tak boleh bermimpi, saya harus tetap terjaga bahwa saya hanyalah pecundang.
“Kamu pengecut!”
“Biarin!”
“Kamu tahunya menangis. Bahkan saat Tuhan memintamu tersenyum pun, kamu tetap merasa dicurangi takdir.”
“Kamu bukan saya, Sandi. Kamu hanya tahu bahwa saya telah betah dengan tangis. Kamu tak pernah merasa, betapa pedihnya luka yang membuatku menangis.”
Pffuihh…! Sandi membuang ludah tanpa melepaskan tatapan sinisnya ke arahku. Emosi!
“Jadi kamu pikir, kemiskinan yang kamu sandang adalah luka? Semua ketaksempurnaan yang kamu miliki adalah kesalahan Tuhan karena telah pilih kasih?”
“Cukup! Saya tidak pernah menyalahkan Tuhan,” potongku saat untuk yang kedua kalinya dia menyebut nama Tuhan di depanku.
“Lalu kenapa masih mau bersembunyi dari semua orang?”
Desah napas keras seolah mengakhiri napasku. Saya memilih bisu. Benakku tetap merangkai untaian kalimat, sekilau mutiara, saat tertuang dalam kisah puisi ataupun cerpen, semua akan kagum. Mataku tetap menatap wajah Sandi, sahabatku. Sesekali kuburu dan kucari tatapannya, saat dia membuangnya dariku. Sinis!
Sandi satu-satunya yang tahu, jika Rudi Wijaya, yang selama ini digilai penikmat puisi dan cerpen remaja, adalah saya. Dan saya tak ingin, ada yang lain tahu. Saya lebih betah menjadi seorang Safar, nama asliku, daripada seorang Rudi Wijaya, nama pena yang sering kugunakan di setiap tulisanku.
Ya, saya bangga dengan diriku sebagai Safar. Seorang pekerja keras, yang tak pernah puas meski orang telah memujanya. Saya hanya bisa tersenyum, menertawai, ketika semua orang memujiku dan menganggap novel yang kuterbitkan indie, dan terjual laris meski saya pemula, adalah keajaiban.
Bagiku, dunia ini tak lagi menyisakan keajaiban. Semua harus ditukar dengan kerja keras. Terlalu menghina, novel yang kutulis selama tiga tahun, dan mendapat predikat The Best Seller, disebutnya sebagai keajaiban.
Patutkah disebut sebagai keajaiban, jika novel itu awalnya kutulis dalam bentuk steno, di atas kertas buram? Bukan kurang kerjaan, meski memang kekurangan kertas. Juga kekurangan dana, hingga steno itu adalah paket hemat, yang membuat biaya rental komputerku menjadi irit. Saya pernah punya mimpi. Punya komputer, dalam sebuah kamar yang ber-AC. Menarikan jari di atas keyboard komputer, sambil sesekali meneguk kopi susu. Tapi benar-benar hanya mimpi!
Masihkah ada yang mau menyebutnya sebagai keajaiban, jika tahu bahwa novel yang kini di tangannya, membuatnya terkagum-kagum, tertunda terbit karena saya harus menunggu celengan ayamku penuh, lalu kupecahkan. Semua karena harus kuterbitkan indie dan kubiayai sendiri. Tak adakah yang bertanya, mengapa novel yang di tangannya begitu buram, hasil foto copy, dan terbit pada sebuah penerbitan yang sebelumnya belum pernah terdengar namanya?
Jika bukan keinginan yang keras seorang Safar, novel indie itu takkan pernah ada. Terlebih takkan ada seorang Rudi Wijaya, yang kini dielu-elukan. Karenanya, saya benci pada diriku sebagai seorang Rudi Wijaya. Tahunya hanya menangis, dan melarikan diri dalam negeri khayalannya.
“Apa lagi yang menghalangimu untuk memiliki Tania? Kamu tinggal bilang, kamu adalah Rudi Wijaya, yang selalu dielu-elukannya selama ini. Kamu tinggal mencopot nama Safar dari dirimu, lalu berganti menjadi Rudi wijaya.”
“Tania terlalu…”
Sandi memotong.”Terlalu tinggi untuk kau gapai? Begitu? Selamat datang di alam nyata, Safar. Kamu nggak sedang bermain di negeri khayalan yang sering kau ciptakan. Hanya negeri dongeng yang selalu menjadikan cowok tajir hanya sepadan dengan cewek tajir pula.”
Percuma saya jawab. Bicaraku hanya sia-sia. Sandi takkan pernah menyerah untuk memberiku semangat.
Dia benar. Mungkin terlalu lama larut dalam dunia fiksi, hingga saya tak pernah yakin bahwa ada dunia di luar imajinasiku. Dunia nyata. Dunia yang memungkinkan apa pun bisa terjadi. Seperti kejadian yang selalu kuangankan, bahwa Tania yang cantik, kaya, bisa dimiliki oleh seorang Safar yang…? Akh, saya takut melanjutkan kalimatku sendiri.
Tuhan, benarkah ada pungguk yang mewujudkan rindunya pada bulan? Tania bulan yang kumau. Hanya dia! Namanya bersarang di benakku. Sesekali terbang, namun akan selalu kembali dan hinggap di ranting hatiku yang rapuh.
“Saya yakin kamu telah ngaca, Safar. Tapi jangan karena dirimu cakep, lalu memberanikan diri mengirim surat untukku,” ucap Tania saat itu.
Tak hanya berucap. Tania juga membanting pintu mobil, lalu menghamburkan sobekan suratku yang telah dicabiknya, Sakit. Butuh perjalanan waktu yang panjang, butuh benang jahitan yang panjang untuk menyatukan kembali bekas sayatan luka yang Tania goreskan. Syukurku, saat itu tak ada yang melihatku. Tak sepasang mata pun menyaksikan saya tergeletak. Menggelepar seperti unggas yang terkena peluru.
Luka itu menjadi rahasia hidupku. Tapi tak kumengerti. Disakiti serupa itu, mengapa tetap saja saya mengharap. Tak adakah Tania yang lain, Tuhan? Tak adakah Tania lain yang pantas untukku? Saya tak butuh banyak. Satu saja!
Salahku mencinta pada rupa. Hingga tak bisa memuji, jika tak serupa Tania. Serupa cantiknya. Andai ada Tania lain, saya tak butuh dia berpunya ataupun bermewah-mewahan. Saya hanya butuh Tania yang setiap kudapatkan matanya, seperti kejatuhan bola salju. Luka lalu beku! Saya butuh Tania yang air mukanya selalu memancingku untuk tersenyum, meski telah dilukainya. Bahkan dibekukan!
“Kamu belum jera juga?” begitu kata Tania saat mendapatkan saya menatapnya di kantin yang sepi.
“Jangan karena saya nggak pernah jalan dengan cowok mana pun, hingga kamu dengan berani mau melangkah di sisiku sebagai pacar. Nggak akan, Safar! Saya punya cowok. Bukan di sekolah ini! Dia adalah…” kalimatnya terhenti.
Bukan saya yang memotong kalimat itu. Terhenti sendiri lalu melanjutkan langkah meninggalkanku. Cinta memberiku energi untuk memburunya.
“Siapa cowok itu, Tania? Katakan padaku, tunjukan dan suruh cowok itu menghajarku habis-habisan. Agar saya jera mencintaimu. Agar saya takut berharap pada mimpi manis yang nggak pernah bisa kukecap. Saya harus bertemu cowok itu. Saya butuh orang yang bisa membuatku terjaga bahwa kamu nggak bisa kumiliki. Siapa orang itu?”
Saya seperti tak sadar apa apa yang kututurkan. Inilah kalimat terpanjang yang kuungkapkan pada Tania selama ini. Bahkan dalam surat untuknya pun, saya cuma berani berkalimat:
Kamu pernah melihat pungguk? Kalaupun pungguk benar-benar ada, tapi bagiku burung itu hanyalah kiasan untuk memberi antonim pada bulan yang cantik. Pungguk itu berkaki dua, tak punya sayap, bagaimana mungkin terbang ke bulan. Pungguk itu bernama Safar, Tania! Saya tak mungkin menggapaimu, maka jatuhlah untukku!
“Jadi kamu mau kenal dengan cowokku?”
Tania membuka tas. Mungkin untuk mengambil HP, lalu memperkenalkanku dengan cowoknya, atau mengambil foto dari tasnya. Tapi apa yang keluar dari tas itu membuatku tersentak.
“Ini dia orangnya!” ucapnya membusung dada.
Mataku terbelalak. Sebuah novel indie berjudul Kubawa Senja Pulang, dihempaskannya di meja tepat di depan mataku. Di situ tertulis nama penulisnya, Rudi Wijaya!
Itu namaku, Tania! Bisaku hanya membatin. Nama penaku. Nama seekor burung yang sering disebut sebagai pungguk. Itu adalah saya. S-a-y-a! Safar, yang begitu banyak orang meliriknya karena cakep, tapi banyak juga yang terhenyak ketika tahu bahwa saya anak seorang pembantu rumah tangga yang sering dibentak oleh Tania, anak majikannya.
Harusnya giliran saya yang membusung dada, jika Rudi Wijaya itu adalah saya. Safar! Tapi saya takut, Tania hanya menertawaiku. Biarlah, dia memujaku sebagai Rudi Wijaya, mungkin hingga sebuah keajaiban menyatukan kami.
Keajaiban? Saya menggeleng. Keajaiban tiada ada.
Saya beranikan tersenyum untuk Tania. Meski dia balas dengan cibiran. Saya minta maaf atas salahku yang terlalu lancang mencintai Tania, anak majikan ibuku. Uluran tanganku tak disambutnya.
Saya bisa mengerti. Tania tak pernah menduga, perlakuannya untukku yang seolah bukan anak pembantu di rumahnya, membuatku salah menterjemahkan kebaikannya padaku.
***
Selesai membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, tetap mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi sound track kisah ini.
Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka

Kau beri rasa yang berbeda
Mungkin kusalah
mengartikannya

Kau hancurkan hatiku…hancurkan lagi
Ntuk melihatku…

Ini kisah saya. Bukan sembarang saya mengambil lagu ini sebagai sound track kisahku. Bukan kesamaan kisah, tapi kesamaan rupa antara saya dan Ariel Peterpan. Ya, saya mirip Ariel. Sangat mirip! Esok atau lusa, kamu bertemu Ariel, hati-hati minta tanda tangan dan foto bareng. Jangan sampai salah orang, bukan tak mungkin itu saya, Safar. Penulis yang memakai nama pena, Rudi Wijaya!***








lanjutan cerita......

16.12.09

Orkestra Dua Hati


Mello telah mencuri hatinya lewat pandangan, dan kini ditekuk dengan senyuman. Dia semakin yakin, jika dia tak bertepuk sebelah tangan karena saat lagu Purnama Merindu selesai, Mello memberi standing applause yang diikuti oleh penonton lainnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya pertunjukan yang duiikuti Andry mendapat sambutan serupa itu. Entah karena memang telah memberikan pertunjukan yang terbaik, atau karena standing applause tadi dimulai oleh Mello.


ORKESTRA DUA HATI
Oleh: S. Gegge Mappangewa/Andi Tenri Dala F

Akhirnya Andry bisa mewujudkan mimpinya untuk mengunjungi Makasar. Bukan dari hasil tabungannya, yang selama ini selalu disisihkannya demi mengunjungi kota Anging Mammiri itu. Melainkan dari keseriusannya belajar musik. Bakat main biolanya, bermula dari kuartet gesek tempatnya bergabung, yang selalu pentas di setiap ada acara sekolah. Merasa sepi tanpa mendengar gesekan biola, dia bergabung dengan kelompok orkestra, tentu saja setelah audisi dan permainan biolanya dapat diperhitungkan.
Selain di biola, Andry juga sering memainkan alat musik tiup, entah itu flute, klarinet, ataupun terompet dan tuba. Tapi dari kelompok orkestranya, dia lebih dipercaya untuk bermain biola.
Kelompok orkestra itu yang kini menerbangkannya ke Makassar. Asyiknya lagi, dia punya waktu sebulan untuk mengitari setiap jengkal Makassar. Karena pertunjukan kali ini, akan bergabung dengan kelompok orkestra Makassar, sehingga butuh waktu untuk latihan bersama. Dan lagi-lagi, Andry mendapat keberuntungan karena dia yang bermain di biola satu, dipasangkan dengan Cenrani, pemain biola dari orkestra Makassar. Di setiap jeda waktu, entah itu saat latihan apalagi saat jam istirahat, Cenrani banyak memberinya cerita tentang Makassar.
“Orkestra di Makassar belum terlalu digilai. Penikmatnya masih kebanyakan dari kaum pejabat, ningrat, pokoknya kalangan atas!”
Andry membulatkan mata saat menerima kalimat Cenrani itu.
“Kesempatan dong buat aku dapat pangeran saat konser nanti,” candanya.
“Kamu serius mau dapat pangeran dari Makassar?”
“Aku cuma tertarik sama kotanya. Biasanya sih, cowok Makassar kasar-kasar. Apa itu karena pengaruh gelar Ayam Jantan dari Timur? Jadinya suka berantem!”
“Eh, Ayam Tantan dari Timur jangan cuma diartikan dengan keberanian. Ayam jantan juga melambangkan kesadaran akan waktu. Lihat aja, mana ada ayam jantan yang malas-malasan? Setiap subuh datang, dia yang duluan bangun dan memberi berita jika pagi telah datang.”
“Kalo gitu, kita liat aja nanti. kalo ada yang cakep, apalagi anak pejabat. Kenapa nggak?” balas Andry, masih dengan canda.
***
Di balik tirai panggung, para pemain orkestra telah duduk rapi dengan alat musik di tangan masing-masing. Andry dan Cenrani menggunakan stand music dan partitur yang sama, di barisan paling depan. Begitu tirai terbuka, para penonton memberi applause riuh. Dirigen beraksi, musik pun melantun asyik. Dengan didominasi suara gesekan biola, lagu Anging Mammiri yang di-arrangement untuk orkestra menjadi lagu pembuka pertunjukan.
Andry terpukau melihat seluruh kursi yang tersedia di baruga Andi Pangerang Pettarani, terisi. Meskipun di barisan paling depan, ada yang kosong, Andry yakin karena pemiliknya terlambat.
Dan benar adanya, saat lagu Anging Mammiri hendak usai, seorang cowok berkulit putih bersih, berjalan ke arah kursi kosong itu. Cenrani menyenggol kaki Andry yang dari tadi memainkan biolanya, tanpa perhatian penuh pada partitur yang di depannya.
Setiap ada tanda berhenti, Andry bukannya konsentrasi pada partitur atau memperhatikan dirigen, dia asyik beradu pandang dengan Mello, cowok yang duduk di barisan depan itu. Cenrani yang di sampingnya ikut buyar konsentrasinya karena mengkhawatirkan Andry. Dia tahu kepiawaian Andry main biola, tapi lagu Anging Mammiri ini baru kali ini dimainkannya. Bukan tak mungkin akan salah not, atau bahkan memainkan biola sebelum saatnya, setelah saat tanda istirahat beberapa bar.
Sementara di pihak hati Mello, cowok itu tak hanya salut pada kepaiawaian Andry menggesek senar biolanya, tapi juga pada bola mata Andry yang indah dan sesekali menyapu bersih wajahnya. Mello suka dengan tatapan itu, tapi dia tak kuasa untuk terus melayaninya dengan membalas tatapannya. Terkadang, dia lebih memilih tunduk jika Andry tak mau mengalah duluan.
“Kamu kenal cowok yang datang terlambat itu?” tanya Andry saat tirai panggung tertutup kembali, setelah memainkan beberapa lagu pembuka.
“Aku dari tadi menginginkan jam istrahat ini. Siapapun cowok itu, aku nggak mau pertunjukan malam ini gagal. Ingat Andry, kamu nggak hanya membawakan nama orkestra kamu, ataupun kelompok orkestraku. Kita memperkenalkan orkestra, Ndry! Selama ini hanya kalangan orang atas yang suka bahkan kenal dengan orkestra.”
“Jadi cowok yang itu tadi, juga kalangan orang atas?”
Cenrani menggeleng prihatin karena nasihatnya tak digubris. Andry masih saja bertanya tentang Mello.
“Aku udah sering konser di sini. Kursi itu selalu diduduki oleh Andi Sapada, seorang pejabat yang juga pengusaha sukses Makassar. Kalo cowok itu, aku nggak kenal, tapi aku yakin dia ada hubungan dekat dengan Andi Sapada, mungkin saja putranya.”
Senyum Andry semakin mengembang manis. Terlebih ketika sambutan panitia pelaksana telah usai dan tirai terbuka lagi, dan mendapatkan Mello sedang menancapkan tatapan ke arahnya. Jika saja tak takut kedapatan penonton, Cenrani sudah menegur Andry yang belum juga tunduk untuk mencermati partitur di depannya. Padahal alto, selo, dan kontrabas, telah masuk intro. Cenrani takut, Andry melambung terus dengan lamunannya.
Purnama Merindu milik Siti Nurhaliza, menjadi lagu pertama di sesi kedua ini. Saat masuk refrain, Andry mendapatkan bibir Mello bergerak mengikuti irama.
Purnama mengambang cuma berteman
Bintang berkelipan dan juga awan…
Akhh, andai aku purnama yang dirindukannya itu. Bisik hati Andry sambil tetap berusaha konsentrasi pada partitur di depannya. Dan tepat bisikan itu dilantunkan hatinya, Mello tersenyum untuknya, saat beberapa detik dia menyempatkan lagi untuk menatap wajah Mello.
Mello telah mencuri hatinya lewat pandangan, dan kini ditekuk dengan senyuman. Dia semakin yakin, jika dia tak bertepuk sebelah tangan karena saat lagu Purnama Merindu selesai, Mello memberi standing applause yang diikuti oleh penonton lainnya.
Inilah untuk yang pertama kalinya pertunjukan yang duiikuti Andry mendapat sambutan serupa itu. Entah karena memang telah memberikan pertunjukan yang terbaik, atau karena standing applause tadi dimulai oleh Mello.
Lagu berikutnya, mata Andry semakin berani meninggalkan partitur, demi melihat Mello yang juga menerbangkan tatapan ke arahnya. Canon in D Major, memang lagu kesukaan Andry, saat latihan di rumah dia selalu memainkan lagu gubahan Pachelbel, komponis dari Jerman itu. selama ini, Canon menjadi lagu terindah buat Andry. Tapi sayang, dirigen, bahkan dari kelompok musik tiup mendengarkan suara ‘aneh’ dari biola Andry.
Keseringan melirik ke arah Mello, membuatnya melakukan kesalahan fatal, karena menggesek biolanya di saat seharusnya dia memberi kesempatan untuk pemain biola alto memperdengarkan suara rendah.. Cenrani di sampingnya ingin menyenggol kakinya, tapi takut malah membuatnya semakin panik.
Kesalahan itu membuatnya tak berani menerbangkan mata seliar tadi. Paling tidak, dia telah yakin bahwa Mello pun tak pernah melepaskan tatapan dari arahnya. Dia hanya butuh waktu untuk lebih dekat dengan Mello setelah konser usai. Semoga waktu itu ada untukku! Bisik hatinya lagi.
***
Di back stage, saat konser usai, para pemain orkestra saling bersalaman, sambil tertawa lepas karena sukses memikat perhatian penonton. Mulai dari lagu Makassar, Bugis, Melayu, yang di-arrangement klasik, hingga lagu komponis dari jaman yang berbeda seperti, Bach, Vivaldi, Mozart, Beethoven, bahkan Strauss. Semua berhasil memukau penonton.
Andry dan Cenrani masih dengan seragam warna broken white yang tadi dipakainya konser, berlari keluar baruga dengan melewati pintu belakang. Andry tak ingin kehilangan jejak Mello. Dia harus bertemu dengan cowok itu. Adapun tentang kalimat yang akan diucapkannya saat bertemu dengan Mello nantinya, dia belum pikirkan. Yang ada di kepalanya, dia harus bicara dengan cowok itu.
“Itu dia, Ndry!”
Andry berlari ke arah koordinat yang ditunjuk Cenrani. Di koordinat itu dia mendapatkan Mello sedang berjalan ke arah sebuah mobil Pajero. Ketika tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan bersebelahan dengan Mello, seorang sopir turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mello.
Andry dan Cenrani mempercepat langkah. Sedetik saja mereka terlambat, Mello sudah menutup pintu mobil.
“Ma…maaf! Temanku ini…” kalimat Cenrani terputus. Bukan oleh tatapan tajam Mello, tapi dia memang tak tahu harus berucap apa lagi.
“Boleh kenalan?” Andry to the point.
“Gitu ya cara anak Jakarta kalo ketemu cowok cakep?” bisik Cenrani menggoda.
Andry tak menggubris godaan itu. Dia menunggu reaksi Mello selanjutnya. Tapi tak pernah diharapkannya, Mello menutup pintu mobil lalu memerintahkan sopir untuk melaju.
Bukan hanya Andry, Cenrani ikut tersinggung dengan ulah Mello.
“Jangan-jangan kamu emang benar, kalo Ayam Jantan dari Timur itu emang kasar-kasar?” ucap Cenrani sambil mengambil lengan Andry untuk dibawanya masuk kembali ke baruga.
“Aku tetap nggak mau sama ratakan semua cowok. Mungkin aku yang kecentilan. Aku terlalu ge-er. Aku terlalu…”
“Tapi aku yakin jika cowok itu menaruh hati padamu. Bisa kulihat dari tatapannya padamu saat konser tadi.”
Andry menggeleng. Dia ingin kenangan pahit ini, dikuburnya sebelum meninggalkan Makassar. Mello, cowok yang namanya pun belum dia tahu itu telah memberinya oleh-oleh yang mungkin akan membuatnya trauma untuk datang menikmati kembali indahnya Losari di senja hari.
***
Di sebuah kamar kos ukuran 3 x 3 meter, Mello berbaring di atas seprei tanpa corak. Dia teringat terus pada tatapan Andry di konser orkestra tadi. Dia bahkan ikut terluka saat mengambil keputusan untuk menutup pintu mobil dan berlalu pergi. Dia bukannya sombong apalagi bersikap kasar, tapi dia takut terluka jika berani menyimpan harap berlebihan pada Andry.
Dia yakin, Andry membuntutinya ke tempat parkir karena mengira dirinya anak seorang pejabat. Untuk beli tiket masuk pun dia tak mampu, apalagi dengan kelas VIP. Jika bukan karena kebaikan hati Andi Sapada yang memberinya kesempatan untuk nonton orkestra sekaligus menggunakan fasilitas mobil, dia takkan pernah bisa menyaksikan langsung konser orkestra.
Mello hanya seorang penulis yang tak punya apa-apa selain kerajaan imajinasi. Dia tak hanya bisa jadi raja ataupun pangeran di kerajaan itu, tapi juga Tuhan yang bisa membunuh dan membagi-bagikan takdir pada tokoh ceritanya. Tadi di alam nyata, dia punya kesempatan untuk berperan sebagai Romeo di depan Andry, tapi apa artinya jika kemudian dia harus terluka dan mati. Karena Andi Sapada, bukanlah siapa-siapa baginya. Kenal Andi Sapada pun baru minggu lalu, sejak dia dipercaya untuk menulis biografi Andi Sapada sebagai seorang pejabat dan pengusaha yang berpengaruh di Makassar.
Dia takkan pernah lupa dengan lagu Purnama Merindu. Dianggapnya itu sebagai kalimat Andry untuknya. Ya, purnama cuma berteman dengan bintang berkelipan. Bisik hatinya sambil mulai menghapus wajah Andry, yang namanya pun belum dia kenal.
Dia lebih memilih sendiri karena telah keliru menilai cinta. Membiarkan hatinya berbisik, berkhayal, bermimpi, berimajinasi, tanpa pernah bisa suaranya menembus udara. Ya, mungkin seumpama orkestrasi yang hanya mengandalkan instrumentalia.
Cinta tak kenal kasta, Mello! Andai dia tahu itu, dia dan Andry tak akan terluka seperti ini.
***



lanjutan cerita......

9.12.09

Berita Kehilangan


Seekor elang terbang mencari ranting untuk ditempati bertengger. Namun setiap hendak hinggap, ranting itu bergoyang tertiup angin, bahkan patah. Elang itu heran dan bertanya-tanya, apa ada yang salah pada dirinya? Sementara elang yang lain begitu mudahnya mendapat ranting. Elang itu lelah, lalu bersumpah tak akan mencari ranting lagi. Dia akan terbang sepanjang hidupnya, hingga kedua sayapnya patah, selamanya!
BERITA KEHILANGAN
Oleh: S. Gegge Mappangewa
07 Deseember 2009. Masih pagi. Saat sudah siap berangkat ngajar, kunci lemari tempatku menyimpan laptop, nggak ada di tempat. Bisa dipastikan, saya terlambat tiba di sekolah. Pusing tujuh keliling. Semua tempat yang biasa kutempati menyimpan kunci, nihil! Apesnya lagi, bahkan kunci serepnya pun hilang. Saya menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Sejenak! Setelah itu, saya bangun membongkar semua yang bisa kubongkar…! Laci meja, karton, dan semua yang bisa kubongkar, berantakan di kamar. Sepertinya kuncinya semakin susah kudapatkan di antara kamar yang seperti baru saja reda dari badai.
Saya menenangkan pikiran yang juga sudah terombang badai. Kupungut kembali isi laci dan karton-karton yang tadi kuacak-acak. Satu hal yang membuatku tersenyum sendiri, tanpa kusadari saat membongkar tadi untuk mencari kunci, ternyata ada beberapa barang yang sudah bertahun-tahun bertumpuk tak pernah kulihat, kini berhamburan semua. Barang itu adalah beberapa majalah remaja yang pernah memuat cerpen-cerpenku saat masih produktif nulis.
Yang paling tua adalah majalah edisi tahun 2000. Di dalamnya ada cerpen pertamaku yang termuat di media nasional. Judulnya, Memanah Bintang di Tana Toraja. Ada kalimat yang sangat menusuk “Memilikimu, aku laksana memanah bintang. Nggak akan pernah sampai apalagi tepat sasaran.”
Majalah berikutnya juga ada memuat cerpenku yang judulnya PINALTI CINTA. Ada kalimat yang juga menusuk “Aku seperti tergilas kereta kencana yang ditarik seribu ekor kuda. Tak sadar aku meringis, sebelum merasakan panas di kelopak mataku.”
Dan yang lebih menohok di ulu hati, kalimat pada cerpen KISAH SEEKOR ELANG. “Seekor elang terbang mencari ranting untuk ditempati bertengger. Namun setiap hendak hinggap, ranting itu bergoyang tertiup angin, bahkan patah. Elang itu heran dan bertanya-tanya, apa ada yang salah pada dirinya? Sementara elang yang lain begitu mudahnya mendapat ranting. Elang itu lelah, lalu bersumpah tak akan mencari ranting lagi. Dia akan terbang sepanjang hidupnya, hingga kedua sayapnya patah, selamanya!”
Tanpa kusadari, beberapa cerpen telah kubaca dan melupakan kunciku yang hilang. Saya terjaga. Ternyata beberapa cerpen yang hanya bersumber dalam imajinasiku, kini hadir seperti karma pada hidup yang kulalui akhir-akhir ini.
Pagi semakin beranjak, saya harus berangkat ngajar meski tanpa laptop. Lemariku masih terlalu sayang untuk kucungkil. Tapi, saat hendak berangkat, seorang teman kos yang tahu kalau saya kehilangan kunci datang menawarkan bantuan. Bukan sulap, bukan sihir, lemariku terbuka meski tidak dengan kuncinya, padahal tadi saya sudah mencoba beberapa kunci, tapi tak ada yang bisa membukanya.
Hingga kini, kunci lemariku masih hilang! Dan saya tak ingin lagi mencarinya. Saya akan menggantinya dengan kunci yang baru. Alhamdulillah, kehilangan kunci membuatku menemukan barang-barang yang selama ini tak pernah lagi kulihat. Barang yang membuatku terjaga bahwa selama ini saya telah menjadi ‘tuhan’ kecil dalam cerpen-cerpenku, memberi derita dan bahagia pada tokoh-tokohnya. Dan jika Allah memberiku derita dan masih merasa kurang bahagia, itu adalah kehendak-Nya sebagai Sang Penulis Agung.***




lanjutan cerita......