27.4.09

KUTERIMA KEKALAHAN INI

Kuterima Kekalahan Ini
Oleh : S. Gegge Mapangewa
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
KUTERIMA KEKALAHAN INI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

AKU benci Intan. Setiap sikapnya, semua ulahnya, seolah ingin menunjukkan padaku, jika dia yang terhebat di sekolah ini. Seakan dia tak pernah memperhitungkan keberadaanku. Atau dia memang tak tahu siapa aku sebenarnya? Rupanya dia harus kuberi tahu siapa aku sebenarnya, dengan caraku sendiri!
Aku memang banyak diam. Terlebih, Intan beda kelas denganku, hingga dia tak tahu jika pada setiap ulangan harian, untuk mata pelajaran apa pun, aku tak pernah dapat nilai di bawah sembilan. Dan itu bukan hasil nyontek. Setiap guru yang masuk, acungkan jempol untukku karena setiap pertanyaan yang tak terjawab oleh siswa lain, kuselesaikan dengan baik. Lalu, mengapa orang-orang di sekolah ini lebih menjagokan Intan?
Sekali lagi. Aku banyak diam! Dari hasil curi dengar, teman-teman kelasku enggan menggosipkan kehebatanku, apalagi membanding-bandingkanku dengan Intan, karena aku seolah tak butuh promosi kehebatan serupa itu. Awalnya memang tidak! Tapi melihat Intan yang selalu senyum penuh kemenangan, seolah menantang kehebatanku, membuatku tak bisa tinggal diam.
“Kalau bukan karena lupa menyamakan satuannya, ulangan Fisika-ku dapat sepuluh lagi,” ucap Intan tanpa ditanya, di tengah keramaian kantin.
Entah ingin memperdengarkan untukku atau tidak, yang jelas aku dengar dan merasa diri telah dipanas-panasi. Aku mencibir.
“Aku dapat delapan, sudah syukur!” timpal Arin tanpa pernah menghentikan aksinya menyantap bakso pesanannya. “Oh ya, kalo di kelas kamu, Put? Ada nggak yang dapat sepuluh?” lanjutnya, kali ini dengan menerbangkan tatapan ke arahku.
Kantin tiba-tiba sepi. Kuyakin semua mata ke arahku. Menunggu jawaban. Kubiarkan mereka dalam penasaran panjang, sambil meraih lembaran jawaban Fisika yang kebetulan kulipat dan kusimpan di saku bajuku.
“Tadi aku nggak sempat lihat, aku dapat berapa?” bohongku. Jelas-jelas bola mataku meloncat kegirangan saat kulihat angka sepuluh di lembar jawabanku tadi. ”Aku nggak permasalahkan mau dapat berapa, yang penting saat ulangan, aku merasa bisa menyelesaikan semua soal tanpa melakukan kesalahan kecil.”
Kesalahan kecil yang kumaksud itu, untuk memanas-manasi Intan yang lupa menyamakan satuan angka hitungannya. Kulihat muka Intan membiaskan kecewa. Kuharap dia sadar, jika di sekolah ini ada yang lebih hebat darinya, aku. Putri!
“Ternyata, aku dapat sepuluh!”
Beberapa siswa berkerumun ke arahku, untuk melihat lembar jawabanku. Intan tentu saja mematung. Selama ini aku memang banyak diam, membiarkan dia menikmati kemenangannya. Sekarang, giliran dia yang harus bungkam, jika itu untuk pamer prestasi di depanku.
Aku paling tak suka dengan kebanggaan yang berlebih, karena kupikir itu sinonim dengan kesombongan. Bagiku, biarkan orang lain yang menilai. Tak usah banyak bicara, hingga harus memamerkan semua keberhasilan.
Hingga detik ini, aku lebih percaya pada ungkapan bahwa; orang yang paling banyak bohongnya adalah orang yang banyak bicara tentang dirinya sendiri. Mungkin Intan orangnya. Hampir di setiap kesempatan mengkampanyekan diri. Aku jadi enek. Dan kuharap ini kali terakhir dia berulah. Jika tidak, untuk kesekiankalinya pula dia akan kupermalukan.
***
Rupanya, kejadian di kantin itu, bukannya membuat dia merasa kalah. Bahkan lebih menggila. Jujur saja, aku jadi gemetar! Merasa telah menemukan saingan, yakni aku, semangat Intan semakin menyala. Semangat untuk mengkampanyekan diri, sekaligus semangat belajar.
Setelah dua malam yang lalu aku kurang tidur karena PR Kimia yang menurutku tingkat kesulitannya tinggi, kini dia mengibas-ngibaskan buku PR-nya di kantin yang telah mendapat paraf dan nilai sepuluh dari Pak Hamran. Aku yakin, untuk kali ini nilai setinggi itu tak bisa kugapai. Untungnya, pelajaran Kimia di kelasku, nanti di jam terakhir. Aku masih punya waktu untuk menyembunyikan kekalahan.
Tak hanya sampai di situ. Begitu bel tanda masuk, Bu Dian mengawali pelajaran bahasa Inggris-nya dengan berita menyakitkan.
“Dari hasil seleksi, Intan dari kelas IB yang berhak ikut debat bahasa Inggris, mewakili sekolah kita.”
Semua mata tertuju ke arahku. Teman-teman kelas memang banyak menjagokan aku. Bu Dian seolah mengerti arti tatapan yang menghujan ke arahku.
“Memang, grammar dan vocabulary Putri sedikit lebih di atas dari Dian. Tapi Putri kalah jauh dalam hal pronunciation. Karena ini untuk lomba debat bahasa Inggris, pronunciation sangat dibutuhkan kefasihannya. Intan lebih bisa untuk itu!”
Tanpa sadar aku bersandar di bangku. Aku butuh penopang, tiba-tiba. Intan yang ingin kutaklukkan, kini disanjung-sanjung di depanku. Perjuanganku untuk menunjukkan pada Intan, tentang siapa aku sebenarnya, berakhir kini. Ya, inilah aku yang sebenarnya. Putri sang pecundang!
Di atas langit, masih ada langit. Aku sadar itu. Tapi aku seperti tak bisa menerima jika Intan yang ada di atasku. Aku tak suka dengan gayanya yang selalu pamer keunggulan. Andai saja, Intan tak sok pamer seperti itu, aku tak punya hak untuk iri, setinggi apa pun prestasinya.
Kekalahan kali ini, adalah sebuah PR untukku. Ini tak boleh dibiarkan berlanjut terus. Aku harus ubah strategi, setelah gagal menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya di depan Intan. Giliran Intan yang harus kucari tahu, tentang siapa dia yang sebenarnya. Mungkin ada sisi negatif tentang dirinya, yang bisa kuangkat untuk mempermalukan dirinya. Bukan untuk melumpuhkan dia, bagaimana pun aku telah mengaku kalah dalam hal prestasi. Aku cuma ingin dia mengurangi kebanggaannya yang terlalu berlebih. Aku ingin dia menyadari dan mau mengakui kelemahannya, bukan hanya tahu pamer keunggulan.
Aku yakin, di balik keunggulan dan kehebatan yang selalu dipamerkannya, dia pasti menyembunyikan sebuah kelemahan. Orang sombong hanyalah orang yang menutup-nutupi kekurangannya. Aku yakin itu!
***
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
Keunggulan Intan bertambah lagi. Cantik, pintar, dan detik ini harus kuakui kalau dia anak orang kaya. Padahal, saat mencari alamat rumahnya, aku berharap, akan mendapatkan gubuk reot dan kumuh. Lalu akan kuumumkan di sekolah jika Intan yang sok pamer itu, hanyalah orang comberan. Tas dan sepatu mahal yang dipakainya, hanya dari hasil mengemis orangtuanya, dan banyak bayangan hitam lagi tentang Intan, yang detik ini tak satu pun terbukti. Intan benar-benar intan yang tergosok sempurna.
“Cari siapa, Nak? Temannya Non Intan, ya?”
Aku mengangguk gugup. Pembantu itu membukakan pintu pagar, tanpa kuminta. Padahal aku ingin pergi.
“Mari silakan masuk. Non Intan lagi ikut lomba…”
Pembantu tua itu sedang mencari-cari kata untuk lanjutan kalimatnya. Dasar pembantu, dia pasti lupa dengan lomba debat bahasa Inggris yang diikuti Intan.
“Nggak tau deh lomba apa, yang jelas ada bahasa Inggris-nya.”
Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. Aku ingin mengambil langkah pulang, tapi pembantu itu menarik lenganku. Memaksaku masuk.
“Tunggu aja! Non Intan nggak lama kok, katanya! Temanin saya cerita ya! Rumah lagi sepi.”
”Papa dan mama Intan ke mana?”
Wanita setengah baya itu, menarik napas panjang.
“Jadi kamu nggak tau kalau mama Non Intan sudah meninggal?”
Aku menggeleng. Kali ini napas wanita yang sudah membekaskan keriput di wajahnya, terasa berat. Mungkin seberat beban yang harus Intan pikul selama ini. Darinya, kutahu kisah yang tak seharusnya aku tahu. Kini aku mengerti, mengapa Intan selalu berkesan pamer keunggulan.
Di rumahnya, Intan hanya diberi tumpangan hidup. Tanpa kasih sayang. Papa dan ketiga kakaknya, tak pernah memperhatikan dia. Bahkan sesekali memperlakukannya kasar. Persoalannya sepele, bahkan bagiku tak masuk akal. Kelahiran Intan dianggap membawa sial karena mamanya meninggal bersamaan dengan kelahiran Intan.
Intan atau siapa pun pasti tak ingin mamanya meninggal, tak wajar memikulkan beban pada Intan hanya karena takdirnya yang lahir dengan membawa kematian buat mamanya.
“Intan dari kecil selalu cari perhatian. Tapi papanya cuek bahkan sering memarahinya. Rapor Intan, jika bukan untuk ditandatangani, jangan harap akan disentuh papanya. Padahal Intan ingin papanya tahu jika dia dapat nilai bagus.”
Aku pamit sebelum Intan datang. Bukan tak berani melihat wajah cerianya, pulang membawa keberhasilan dari lomba debat bahasa Inggris. Aku tak ingin Intan tahu kecemburuanku selama ini. Keluar dari pintu gerbang, aku menoleh lagi ke rumah Intan. Sulit dipercaya, di dalam rumah megah nan luas itu, ada penghuninya yang berpikir picik, dengan menganggap Intan sebagai anak pembawa sial.
Aku tak menemukan itu sebagai kekurangan pada diri Intan. Tapi sebaliknya, Intan memang pemenang yang tak pernah bisa terkalahkan. Tak banyak, bahkan mungkin hanya Intan seorang, yang mampu mengukir prestasi di antara orang-orang terdekat yang sama sekali tak pernah mendukungnya. Aku memang bukan sahabat, bukan teman dekat, tapi aku akan mengacungkan jempol untuk Intan, tanpa merasa dikalahkan.***



lanjutan cerita......

Cerpen Remaja


Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
*******************************************************************************
Kuterima Kekalahan Ini
Oleh : S. Gegge Mapangewa

AKU benci Intan. Setiap sikapnya, semua ulahnya, seolah ingin menunjukkan padaku, jika dia yang terhebat di sekolah ini. Seakan dia tak pernah memperhitungkan keberadaanku. Atau dia memang tak tahu siapa aku sebenarnya? Rupanya dia harus kuberi tahu siapa aku sebenarnya, dengan caraku sendiri!
Aku memang banyak diam. Terlebih, Intan beda kelas denganku, hingga dia tak tahu jika pada setiap ulangan harian, untuk mata pelajaran apa pun, aku tak pernah dapat nilai di bawah sembilan. Dan itu bukan hasil nyontek. Setiap guru yang masuk, acungkan jempol untukku karena setiap pertanyaan yang tak terjawab oleh siswa lain, kuselesaikan dengan baik. Lalu, mengapa orang-orang di sekolah ini lebih menjagokan Intan?
Sekali lagi. Aku banyak diam! Dari hasil curi dengar, teman-teman kelasku enggan menggosipkan kehebatanku, apalagi membanding-bandingkanku dengan Intan, karena aku seolah tak butuh promosi kehebatan serupa itu. Awalnya memang tidak! Tapi melihat Intan yang selalu senyum penuh kemenangan, seolah menantang kehebatanku, membuatku tak bisa tinggal diam.
“Kalau bukan karena lupa menyamakan satuannya, ulangan Fisika-ku dapat sepuluh lagi,” ucap Intan tanpa ditanya, di tengah keramaian kantin.
Entah ingin memperdengarkan untukku atau tidak, yang jelas aku dengar dan merasa diri telah dipanas-panasi. Aku mencibir.
“Aku dapat delapan, sudah syukur!” timpal Arin tanpa pernah menghentikan aksinya menyantap bakso pesanannya. “Oh ya, kalo di kelas kamu, Put? Ada nggak yang dapat sepuluh?” lanjutnya, kali ini dengan menerbangkan tatapan ke arahku.
Kantin tiba-tiba sepi. Kuyakin semua mata ke arahku. Menunggu jawaban. Kubiarkan mereka dalam penasaran panjang, sambil meraih lembaran jawaban Fisika yang kebetulan kulipat dan kusimpan di saku bajuku.
“Tadi aku nggak sempat lihat, aku dapat berapa?” bohongku. Jelas-jelas bola mataku meloncat kegirangan saat kulihat angka sepuluh di lembar jawabanku tadi. ”Aku nggak permasalahkan mau dapat berapa, yang penting saat ulangan, aku merasa bisa menyelesaikan semua soal tanpa melakukan kesalahan kecil.”
Kesalahan kecil yang kumaksud itu, untuk memanas-manasi Intan yang lupa menyamakan satuan angka hitungannya. Kulihat muka Intan membiaskan kecewa. Kuharap dia sadar, jika di sekolah ini ada yang lebih hebat darinya, aku. Putri!
“Ternyata, aku dapat sepuluh!”
Beberapa siswa berkerumun ke arahku, untuk melihat lembar jawabanku. Intan tentu saja mematung. Selama ini aku memang banyak diam, membiarkan dia menikmati kemenangannya. Sekarang, giliran dia yang harus bungkam, jika itu untuk pamer prestasi di depanku.
Aku paling tak suka dengan kebanggaan yang berlebih, karena kupikir itu sinonim dengan kesombongan. Bagiku, biarkan orang lain yang menilai. Tak usah banyak bicara, hingga harus memamerkan semua keberhasilan.
Hingga detik ini, aku lebih percaya pada ungkapan bahwa; orang yang paling banyak bohongnya adalah orang yang banyak bicara tentang dirinya sendiri. Mungkin Intan orangnya. Hampir di setiap kesempatan mengkampanyekan diri. Aku jadi enek. Dan kuharap ini kali terakhir dia berulah. Jika tidak, untuk kesekiankalinya pula dia akan kupermalukan.
***
Rupanya, kejadian di kantin itu, bukannya membuat dia merasa kalah. Bahkan lebih menggila. Jujur saja, aku jadi gemetar! Merasa telah menemukan saingan, yakni aku, semangat Intan semakin menyala. Semangat untuk mengkampanyekan diri, sekaligus semangat belajar.
Setelah dua malam yang lalu aku kurang tidur karena PR Kimia yang menurutku tingkat kesulitannya tinggi, kini dia mengibas-ngibaskan buku PR-nya di kantin yang telah mendapat paraf dan nilai sepuluh dari Pak Hamran. Aku yakin, untuk kali ini nilai setinggi itu tak bisa kugapai. Untungnya, pelajaran Kimia di kelasku, nanti di jam terakhir. Aku masih punya waktu untuk menyembunyikan kekalahan.
Tak hanya sampai di situ. Begitu bel tanda masuk, Bu Dian mengawali pelajaran bahasa Inggris-nya dengan berita menyakitkan.
“Dari hasil seleksi, Intan dari kelas IB yang berhak ikut debat bahasa Inggris, mewakili sekolah kita.”
Semua mata tertuju ke arahku. Teman-teman kelas memang banyak menjagokan aku. Bu Dian seolah mengerti arti tatapan yang menghujan ke arahku.
“Memang, grammar dan vocabulary Putri sedikit lebih di atas dari Dian. Tapi Putri kalah jauh dalam hal pronunciation. Karena ini untuk lomba debat bahasa Inggris, pronunciation sangat dibutuhkan kefasihannya. Intan lebih bisa untuk itu!”
Tanpa sadar aku bersandar di bangku. Aku butuh penopang, tiba-tiba. Intan yang ingin kutaklukkan, kini disanjung-sanjung di depanku. Perjuanganku untuk menunjukkan pada Intan, tentang siapa aku sebenarnya, berakhir kini. Ya, inilah aku yang sebenarnya. Putri sang pecundang!
Di atas langit, masih ada langit. Aku sadar itu. Tapi aku seperti tak bisa menerima jika Intan yang ada di atasku. Aku tak suka dengan gayanya yang selalu pamer keunggulan. Andai saja, Intan tak sok pamer seperti itu, aku tak punya hak untuk iri, setinggi apa pun prestasinya.
Kekalahan kali ini, adalah sebuah PR untukku. Ini tak boleh dibiarkan berlanjut terus. Aku harus ubah strategi, setelah gagal menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya di depan Intan. Giliran Intan yang harus kucari tahu, tentang siapa dia yang sebenarnya. Mungkin ada sisi negatif tentang dirinya, yang bisa kuangkat untuk mempermalukan dirinya. Bukan untuk melumpuhkan dia, bagaimana pun aku telah mengaku kalah dalam hal prestasi. Aku cuma ingin dia mengurangi kebanggaannya yang terlalu berlebih. Aku ingin dia menyadari dan mau mengakui kelemahannya, bukan hanya tahu pamer keunggulan.
Aku yakin, di balik keunggulan dan kehebatan yang selalu dipamerkannya, dia pasti menyembunyikan sebuah kelemahan. Orang sombong hanyalah orang yang menutup-nutupi kekurangannya. Aku yakin itu!
***
Hari ini aku kalah lagi. Semakin aku mencari kekurangan Intan, dia semakin menampakkan kilauannya. Aku tanpa aksi. Menunggu reaksi otakku, untuk menyuruhku pergi meninggalkan tempatku berdiri. Tapi mataku semakin asyik melihat pemandangan yang begitu menakjubkan. Kuperhatikan lagi nomor dan blok-nya, tetap saja aku tak salah. Rumah megah yang kini di depanku adalah rumah Intan.
Keunggulan Intan bertambah lagi. Cantik, pintar, dan detik ini harus kuakui kalau dia anak orang kaya. Padahal, saat mencari alamat rumahnya, aku berharap, akan mendapatkan gubuk reot dan kumuh. Lalu akan kuumumkan di sekolah jika Intan yang sok pamer itu, hanyalah orang comberan. Tas dan sepatu mahal yang dipakainya, hanya dari hasil mengemis orangtuanya, dan banyak bayangan hitam lagi tentang Intan, yang detik ini tak satu pun terbukti. Intan benar-benar intan yang tergosok sempurna.
“Cari siapa, Nak? Temannya Non Intan, ya?”
Aku mengangguk gugup. Pembantu itu membukakan pintu pagar, tanpa kuminta. Padahal aku ingin pergi.
“Mari silakan masuk. Non Intan lagi ikut lomba…”
Pembantu tua itu sedang mencari-cari kata untuk lanjutan kalimatnya. Dasar pembantu, dia pasti lupa dengan lomba debat bahasa Inggris yang diikuti Intan.
“Nggak tau deh lomba apa, yang jelas ada bahasa Inggris-nya.”
Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. Aku ingin mengambil langkah pulang, tapi pembantu itu menarik lenganku. Memaksaku masuk.
“Tunggu aja! Non Intan nggak lama kok, katanya! Temanin saya cerita ya! Rumah lagi sepi.”
”Papa dan mama Intan ke mana?”
Wanita setengah baya itu, menarik napas panjang.
“Jadi kamu nggak tau kalau mama Non Intan sudah meninggal?”
Aku menggeleng. Kali ini napas wanita yang sudah membekaskan keriput di wajahnya, terasa berat. Mungkin seberat beban yang harus Intan pikul selama ini. Darinya, kutahu kisah yang tak seharusnya aku tahu. Kini aku mengerti, mengapa Intan selalu berkesan pamer keunggulan.
Di rumahnya, Intan hanya diberi tumpangan hidup. Tanpa kasih sayang. Papa dan ketiga kakaknya, tak pernah memperhatikan dia. Bahkan sesekali memperlakukannya kasar. Persoalannya sepele, bahkan bagiku tak masuk akal. Kelahiran Intan dianggap membawa sial karena mamanya meninggal bersamaan dengan kelahiran Intan.
Intan atau siapa pun pasti tak ingin mamanya meninggal, tak wajar memikulkan beban pada Intan hanya karena takdirnya yang lahir dengan membawa kematian buat mamanya.
“Intan dari kecil selalu cari perhatian. Tapi papanya cuek bahkan sering memarahinya. Rapor Intan, jika bukan untuk ditandatangani, jangan harap akan disentuh papanya. Padahal Intan ingin papanya tahu jika dia dapat nilai bagus.”
Aku pamit sebelum Intan datang. Bukan tak berani melihat wajah cerianya, pulang membawa keberhasilan dari lomba debat bahasa Inggris. Aku tak ingin Intan tahu kecemburuanku selama ini. Keluar dari pintu gerbang, aku menoleh lagi ke rumah Intan. Sulit dipercaya, di dalam rumah megah nan luas itu, ada penghuninya yang berpikir picik, dengan menganggap Intan sebagai anak pembawa sial.
Aku tak menemukan itu sebagai kekurangan pada diri Intan. Tapi sebaliknya, Intan memang pemenang yang tak pernah bisa terkalahkan. Tak banyak, bahkan mungkin hanya Intan seorang, yang mampu mengukir prestasi di antara orang-orang terdekat yang sama sekali tak pernah mendukungnya. Aku memang bukan sahabat, bukan teman dekat, tapi aku akan mengacungkan jempol untuk Intan, tanpa merasa dikalahkan.***



lanjutan cerita......

Epos La Galigo (Termuat di Annida Edisi April 2009)


Kota I Lagaligo,
Latar Sastra Penuh Sejarah
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.

Semua orang pasti kenal dengan Tana Toraja. Tapi Tana Luwu, mungkin sangat sedikit yang mengenal keberadaan kabupaten yang berjarak sekitar 500 KM dari Makassar ini. Padahal di Tana Luwu yang berbatasan dengan Tana Toraja inilah, karya sastra terpanjang di dunia, I La Galigo, berasal. Kalo epos Mahabarata jumlah barisnya antara 160.000-200.000, I La Galigo bahkan mencapai 300.000 baris panjangnya. (Hmmmm, setebal bantal mungkin ya, kalo dibukukan).
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.
Wah, kalo mau berpanjang lebar tentang I La Galigo, bisa sampe 300.000 baris nih. Nggak kalah asyiknya kalo kita jalan-jalan menyusuri salah satu kota di Tana Luwu, yaitu Palopo. Awalnya sih, kabupaten di Luwu cuman satu dan berpusat di Palopo sebagai kota administratif. Sekarang, setelah pemekaran, udah terbagi menjadi empat kabupaten. Tapi tetap aja, Palopo menjadi kota yang paling ramai di Luwu.
Salah satu obyek wisata yang sering dikunjungi di kota ini adalah Tanjung Ringgit. Meskipun namanya mirip-mirip dengan Tanjung Pinang dan Tanjung Periok, Tanjung Ringgit bukanlah pelabuhan besar. Laut Tanjung Ringgit hanya menjadi dermaga yang menghubungkan Palopo dengan Malangke yang juga masih wilayah Luwu. Malangke ini sangat dikenal sebagai penghasil jeruk manis. Jeruk Malangke, begitu orang biasa menyebutnya. Tanjung Ringgit nggak hanya berfungsi sebagai dermaga menuju Malangke, tapi juga bisa ditempati mancing, sekaligus tempat yang indah untuk menikmati sunset. Nggak heran, mulai sore hingga malam, pantai ini akan berubah menjadi pusat tenda kafe yang menyajikan berbagai jajanan khas Palopo.
Selain ke Tanjung Ringgit, kita juga bisa melepas penat di permandian air terjun Latuppa. Di akhir pekan, tempat ini biasanya ramai dikunjungi warga Palopo yang ingin menikmati sejuknya air sungai Latuppa. Ada air terjunnya, lho! Apalagi, setelah puas mandi, pulang bisa bawa oleh-oleh durian. Tempat ini biasanya banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal di Sulawesi Selatan kalo abis lebaran.
Jejak Sejarah di Kota Tua
Selain wisata alam Tanjung Ringgit dan air terjun Latuppa, Palopo punya tempat wisata bersejarah. Salah satunya adalah Mesjid Tua Palopo. Mesjid ini didirikan oleh Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Tiang utama mesjid ini menggunakan kayu Cinaduri, sedangkan dindingnya terbuat dari tembok yang masih berbahan perekat campuran putih telur. So, karena emang langka, mesjid ini udah dijadikan sebagai bangunan purbakala yang harus dilindungi. Jamaahnya banyak lho! Apalagi kalo Ramadhan, mesjid tua ini selalu ramai. Saking ramainya, jamaah biasa meluber sampai ke jalan raya. Orang yang berkunjung ke Palopo nggak dianggap ‘sah’ kunjungannya kalo belum ke mesjid tua ini.
Di jantung kota, terdapat tugu bergambarkan badik! Bukan melambangkan premanisme, tapi simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Namanya Tugu Toddopuli Temmalara! Masih selokasi dengan tugu ini, ada Rumah Datu dan Museum Palopo. Sesuai dengan namanya, Rumah Datu ini adalah Raja Luwu terdahulu. Bangunannya terbuat dari kayu jati dengan arsitek rumah adat Luwu. Sekarang ‘keraton’ ini dihuni oleh keluarga keturunan Raja Luwu. Karena ini rumah tinggal para keluarga Raja Luwu, jadi nggak terbuka untuk umum. Tapi halamannya sering dimanfaatkan untuk acara pegelaran seni. Spesial untuk acara adat, rumah yang sangat dijaga kelestariannya ini bisa dimanfaatkan keseluruhannya.
Di samping bangunan Rumah Datu terdapat Museum Palopo. Dari arsitekturnya, bangunan ini melukiskan jejak peninggalan jaman Belanda. Isinya banyak ‘bercerita’ tentang masa lalu. Mulai dari perlengkapan perang hingga peninggalan khas Tana Luwu seperti pelaminan, baju adat dan perabot rumah tangga. Sayangnya, untuk ngambil foto di museum ini harus ada ijin dari pihak pariwisata.
Kota Sejahtera
Palopo juga sangat dikenal sebagai penghasil buah. Durian, rambutan, langsat, dan jeruk, semua melimpah di kota ini! Nggak ketinggalan sagunya. Karena sagunya, Palopo dikenal sebagai Kota Kapurung. Kapurung adalah makanan khas Palopo yang terbuat dari sagu berkuah yang dicampur dengan sayuran hijau. Selain buah-buahan, Palopo dikenal sebagai penghasil cengkeh dan kakao. Jangan heran jika pertumbuhan ekonomi di kota ini sangat meningkat dibandingkan dengan kota lain di Sulawesi Selatan. So, sangat murah kalo ingin belanja buah. Tapi belanja pakaian dan sembako, harganya di atas rata-rata. Tapi itu tetap nggak ngaruh buat warganya yang punya penghasilan dari perkebunan.
Ya, meski Palopo nggak punya tempat wisata yang berkelas dunia seperti Tana Toraja, kota ini punya banyak jejak sejarah. Beberapa artikel menyebutkan, Islam pertama kali masuk di Sulawesi Selatan melalui bumi I Lagaligo ini. Sayangnya, sastra I Lagaligo yang masih banyak menganggapnya sebagai mitos ini, tak meninggalkan jejak kecuali cerita I Lagaligo yang berkembang di masyarakat. Karya sastra yang berbahasa Bugis dan ditulis dengan huruf Lontara’(aksara Bugis), naskah aslinya berada di Belanda. So, kalo mau melihat naskah asli I La Galigo jangan berlayar ke Palopo, tapi ke negeri kincir angin itu.*** Jazakillah to Ainil Rachimi di Palopo


















lanjutan cerita......

MENANTANG ANDREA HIRATA


MENANTANG ANDREA HIRATA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Saya punya banyak koleksi buku yang lembar pertamanya ditandatangani oleh penulisnya. Mulai dari penulis-penulis teman FLP hingga buku Serial Cinta Anis Matta. Tapi usai membaca Maryama Karpoov, saya tidak pernah kepikiran untuk memburu tanda tangan Andrea Hirata. Halaman pertama yang biasa kupakai untuk meminta tanda tangan penulis, malah kuisi dengan tanda tanganku. Ya, tanda tanganku! Tapi di atas tanda tangan itu kutulis sebuah catatan untuk Andrea Hirata: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Ya, kutulis seperti itu karena saya iri dengan Andrea Hirata yang banyak mengangkat ayahnya di Maryamah Karpoov.

MENANTANG ANDREA HIRATA
Saya punya banyak koleksi buku yang lembar pertamanya ditandatangani oleh penulisnya. Mulai dari penulis-penulis teman FLP hingga buku Serial Cinta Anis Matta. Tapi usai membaca Maryama Karpoov, saya tidak pernah kepikiran untuk memburu tanda tangan Andrea Hirata. Halaman pertama yang biasa kupakai untuk meminta tanda tangan penulis, malah kuisi dengan tanda tanganku. Ya, tanda tanganku! Tapi di atas tanda tangan itu kutulis sebuah catatan untuk Andrea Hirata: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Ya, kutulis seperti itu karena saya iri dengan Andrea Hirata yang banyak mengangkat ayahnya di Maryamah Karpoov.
Tapi sekali lagi, ayahku jauh lebih hebat dari ayah Andrea Hirata. Akan kuceritakan kehebatan ayahku yang baru saja kulalui bersamanya. Bukan narsis, cuma ingin membuktikan bahwa ayahku benar-benar hebat! Sekali lagi, Paling hebat sedunia!
Kuawali ceritaku dengan menuliskan profesinya. Ayahku petani. Sebenarnya dia sudah pernah ‘pensiun’ dari profesinya itu. Tinggal di rumah, mengaji, menemani cucunya (anak dari kakak), dan tak lupa ke mesjid salat berjamaah. Aku sendiri tak tahu berapa umur ayah sebenarnya. Yang jelas sudah tua. Mungkin lebih tepatnya disebut renta. Gaji ‘pensiunnya’ sudah tentu dari ketujuh anaknya yang semuanya sudah bekerja, ditambah dengan hasil pertanian yang didapatkan dari orang yang menggarap sawahnya. Di bawah rumah panggung kami, tak pernah kosong dari tumpukan gabah. Tak pernah kurang dari sepuluh karung hingga masa panen tiba lagi.
Musim tanam kali ini, ayah turun sawah lagi. Dia ingin menggarap sendiri sawahnya. Meski semua anaknya melarang. Ayah tetap keukeuh untuk kerja sawah lagi. Saat melewati musim tanam, kakak saya sakit. Cukup parah, hingga harus dibawa ke rumah sakit. Baru beberapa hari di rumah sakit, ayah dapat kabar lagi dari Palu, Sulawesi Tengah, kalau adiknya (paman saya) sakit parah dan masuk rumah sakit. Di luar dugaan, ayah memilih meninggalkan sawahnya yang sedang antri menunggu untuk dialiri air dari pengusaha yang biasanya memompakan air dari sungai kampung, juga meninggalkan anaknya yang sedang terbaring berjuntaian selang infus rumah sakit.
Itu masih hal kecil untuk dianggap sebagai ayah yang hebat? Cerita memang belum berakhir. Sebagai petani, apalagi di kampung, ayah juga adalah petani yang buta bahasa. Bahasa Indonesia ayah pas-pasan. Saat bicara, bahasa Indonesia ayah terpatah-patah, sangat-sangat pasif! Meskipun bisa membaca, itu pun tersendat-sendat. Maklum, ayahku tak tamat SD. Hebatnya, begitu mendengar kabar adiknya sakit di Palu, dia tak berpikir dua kali untuk datang menemuinya. Padahal begitu banyak sebenarnya yang harus dipertimbangkan. Sawahnya yang sedang menunggu air, anaknya yang sedang di rumah sakit, perjalanan dari kampungku ke Makassar yang butuh waktu empat jam perjalanan bis cepat. Padahal, setiap naik mobil ayah pasti mabok perjalanan hingga muntah. Dan terlebih yang harus dia pertimbangkan, dia buta bahasa, bagaimana mungkin dia masuk bandara internasional Sultan Hasanuddin? Tapi sekali lagi, dia sangat hebat!
***
Di Bandara Sultan Hasanuddin, kulihat duduknya gelisah. Aku berusaha menenangkannya. Aku juga sempat mati akal. Bagaimana ayah yang buta bahasa bisa masuk untuk memeriksakan tiketnya. Dia memang sering ke Palu dengan pesawat, tapi selalu ditemani salah seorang anaknya. Untungnya, aku punya kenalan cleaning service di bandara. Dengan minta bantuan ke dia, ayah bisa bernapas lega untuk masuk checkin. Sehabis checkin, ayah kembali ke teras bandara. Duduknya sangat gelisah. Berkali-kali kutenangkan dengan kalimat bahwa jika pesawatnya akan berangkat, kenalan saya yang cleaning service akan datang menjemputnya. Saya memang tak mau kalau ayah menunggu di waiting room penumpang. Takutnya, begitu penumpang yang lain beranjak ke pesawat, dia ikut beranjak, padahal bukan pesawat ke Palu. Bahkan nomor kursinya pun dia tak tahu.
Beberapa menit sebelum pesawatnya boarding, kenalan saya yang cleaning service datang menjemputnya. Kucium tangannya! Selamat berjuang, Ayah! Dia sangat ragu, dia bahkan memintaku untuk membayar security, asalkan security loloskan saya masuk untuk mengantarnya masuk ke kabin pesawat. Tapi tentu saja itu tak mungkin.
Ada haru sekaligus bangga pada ayah. Tanpa pernah dia sadari, dia yang buta bahasa, telah melahirkan tujuh orang anak. Tiga di antaranya adalah sarjana sastra. Dan saya sendiri adalah sarjana teknik, meskipun bukan sarjana sastra tapi saya adalah penulis yang telah beberapa kali menang lomba menulis tingkat nasional, punya beberapa buku, semua kampus di Makassar, bahkan hampir semua kabupaten di Sulawesi Selatan telah kudatangi untuk memberikan materi kepenulisan. Dan ayah yang buta bahasa itu, tak sadar jika dia adalah ayah dari seorang penulis. Ayah dari tiga orang sarjana sastra. Dia hanya sadar, bahwa dia harus pergi menemui adiknya yang sakit di Palu.
Lalu bagaimana dengan saya? Hanya karena sibuk mengajar, kakakku yang masuk rumah sakit di kampung, yang untuk menemuinya hanya dengan perjalanan empat jam bis cepat, tak sempat pulang untuk membesuknya. Satu lagi pelajaran berharga yang ayah didikkan untukku! Jauh sebelum pelajaran ini dia antarkan untukku, telah kutulis di lembaran pertama buku Maryamah Karpoov: Ayahku jauh lebih hebat, Boy! Paling hebat sedunia! Dan lagi-lagi ayah membuktikan di bandara Sultan Hasanuddin malam itu, jika dia memang lebih hebat dari ayah Andrea Hirata!***





lanjutan cerita......