31.8.09

Belajar Bijak (Pernahkah Kau Merasa)


PERNAHKAH KAU MERASA?
OLEH: S. GEGGE MAPANGEWA
Pernahkah kau merasa kesusahan, kesulitan, tersiksa, terdera derita? Sepertinya rasa ini telah dikecap oleh hati siapa pun. Tak perduli kaya apalagi miskin, yang namanya masalah, seolah telah menjadi asam garam kehidupan. Jangan pikir hanya orang miskin yang mengenal namanya derita lalu didera putus asa lalu memilih mati! Jangan heran jika banyak orang kaya yang mati mendadak! Andai semua kita tersadar, atau paling tidak terbiasa dengan kalimat; “Sesungguhnya di balik kesulitan, akan ada kemudahan!” Mungkin tak ada yang akan ‘mati percuma’. Sejenak kita renungkan, masalah apa yang pernah kita alami, masalah apa yang sekarang membebani pikiran kita. Seberat apapun, CUKUPLAH ALLAH SEBAGAI PENOLONGMU DAN DIALAH SEBAIK-BAIK PENOLONG!
Pernahkah kau merasa sedih yang berlebih, kecewa yang mendalam? Dua rasa ini memang adalah masalah. Tapi seberat apapun sedih dan kecewa itu, itu bukanlah masalah berat. Hanya butuh rawat jalan dan akan sembuh sendiri seiring waktu. Ingatlah, waktu adalah obat yang paling mujarab untuk dua rasa ini. Tentu saja dengan satu syarat, jangan menyimpan dendam pada orang yang menghadiahkan sedih dan kecewa. Jika dendam bersarang, maka penyakit baru akan muncul dan susah menemukan obat yang tepat. Sang pemberi sedih dan kecewa itu biasanya adalah orang yang terdekat dengan kita. Semakin dekat, semakin dalam sedih dan kecewa yang didampakkannya. Tapi sedalam apapun sedih itu, CUKUPLAH MENJADI PELAJARAN UNTUKMU!
Pernahkah kau merasa, semua mata yang menatapmu seolah menghakimi, mencela, bahkan menyumpahimu? Karena rasa ini cukup mematikan, CUKUPLAH AKU YANG MERASA!***



lanjutan cerita......

16.8.09

Belajar Bijak (Hati-Hati Membanting Pintu!)


HATI-HATI MEMBANTING PINTU
OLEH: S. GEGGE MAPPANGEWA
Ramadhan datang mengetuk pintu. Kesempatan untuk membersihkan hati sekaligus melembutkannya. Karena begitu banyak di antara kita yang merasa telah memiliki hati yang sebersih-bersihnya, tapi ternyata tak bisa melembutkannya. Setahun perjalanan sejak Ramadhan yang lalu, adalah mustahil hati kita masih sebersih Syawal yang lalu. Tingkah, lisan hingga prasangka pasti pernah menyesatkan langkah kita, entah itu sengaja atau tidak.
Sejenak, mari kita renungkan, pada siapa kita pernah khilaf dalam tingkah dan lisan, pada siapa kita pernah berprasangka. Tingkah, lisan, dan prasangka yang mungkin telah membuat keakraban terlerai. Terlerai setelah terbakar amarah.
Sengaja ataupun tidak, entah mengapa, banyak sekali orang yang suka membanting pintu saat marah. Andai pintu bisa bicara, dia akan terheran-heran; “Lho, apa salah dan dosaku?” Dan andai pintu benar-benar bicara, dan mengucapkan kalimat itu, orang yang marah dan membanting pintu juga akan lebih heran; ”Lho, kok pintu bisa bicara?” :)

Biasanya, semakin besar kemarahan, semakin besar pula energi yang dikeluarkan untuk membanting pintu. Ingin kuingatkan, hati-hati membanting pintu! Jangan mentang-mentang pintu tak bisa bicara, tak bisa melawan, lalu meluapkan kemarahan pada pintu. Bukan takut salah banting lalu terjepit tangan sendiri.
Sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang telah kamu banting itu, kamu datangi kembali untuk kamu ketuk! Inilah peran yang paling susah dilakoni, mengetuk kembali pintu yang telah dibanting. Bukan keberanian, tapi kelembutan hatilah yang dibutuhkan untuk peran ini. Apalagi jika kita adalah manusia yang merasa harga diri premium, jangan harap kamu bisa datang lagi untuk mengetuk pintu itu! Bahkan dengan harga diri yang berkelas medium hingga kelas low pun akan ragu untuk melakukan peran ini. Ya, hampir tak ada yang pernah berani datang untuk mengetuk kembali pintu yang telah dibantingnya. Makanya, kuingatkan sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang kamu banting itu akan kamu datangi untuk kamu ketuk kembali!
Sebenarnya, meskipun susah, ada beberapa orang yang mampu melakukan ‘adegan berbahaya’ ini. Mereka adalah orang-orang yang harga dirinya berkelas no price. Tapi maukah kita disebut orang yang tak punya harga diri, no price? Karena selama ini, hampir di mata semua orang, meminta maaf adalah sebuah kehinaan. Dan ingin kukatakan, jika kamu mampu melakukannya, kamu bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price, tapi low profile. Bahkan hingga maafmu pun tak diterima, lalu kamu datang mengetuknya beribu-ribu kali, grafik harga dirimu akan semakin naik dan kamu sesungguhnya yang berkelas premium itu!
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jika esok atau lusa, seseorang datang mengetuk pintu hatimu yang telah dia banting, dia bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price.
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jangan tunggu besok, mari mencari pintu yang telah kita banting untuk kita ketuk. Untuk memperbaiki kelas harga diri kita! Dan kamu jangan pernah merasa kelas premium kalau kamu belum pernah mengetuk pintu yang telah kamu banting! Jika kamu telah mampu melakukannya, jangan pernah lagi mengulangi membanting pintu! Semarah apapun kamu.





lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Proudly Present)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan ATM dan STNK. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengganti dompetku yang umurnya telah lebih sepuluh tahun, tapi saya selalu berpikir, toh masih bagus, belum ada cacat. Hanya ukurannya yang kekecilan karena kartu-kartu semakin bertambah menghiasi dompet. Akhirnya, apa yang kukhawatirkan terjadi, ATM dan STNK tercecer entah kapan dan di mana. Saya bahkan baru sadar kalau ATM dan STNK itu hilang, setelah saya membeli dompet baru dan memindahkan semua isi dompet yang lama.
Pikiran mumet. Terbayang susahnya birokrasi jika kehilangan sesuatu. Harus ke kepolisian mengambil surat keterangan hilang, ke samsat urus STNK baru, bayar lagi, dan …. Ahhhh, saya mengambil napas panjang. ATM kublokir, selesai! Saya menunggu-nunggu, suatu saat ada orang yang menemukan barang-barang itu dan menghubungiku.
Tak cukup sepekan, doaku terkabul. Seseorang datang ke alamat yang tertera di STNK, alamatku saat masih kuliah dulu. Sayangnya, dia nggak mau menyerahkan STNK itu tanpa bertemu denganku. Bisa kutebak, dia meminta imbalan. Tapi nggak apa, bukankah memberi hadiah itu perlu. Apalagi, ini sebuah prestasi kejujuran!
Berbekal nomor telepon yang dia titipkan, saya mulai menyusuri keberadaan sang penemu, yang menurut tetangga yang bertemu dengannya, adalah seorang wanita paruh baya yang saat datang, membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil. Saat nomor itu kuhubungi, tepat ketika selesai shalat maghrib, yang mengangkatnya adalah seorang lelaki. Dan tahu apa jawabnya? Dengan bangganya dia berucap:
“Oooh, ATM dan STNK nya ditemukan istriku.”
“Kapan saya bisa ketemu, Pak!”
“Jangan sekarang, saya lagi di pesta minum!” ucapnya bangga.
Pesta minum? Saya kehabisan kata. Bisu. Meski kemudian saya bisa berucap lagi, itu dengan kalimat gugup. Bukan gugup karena takut pada dia yang ternyata “Dewa Mabuk”. Saya sangat-sangat tidak terbiasa dengan orang yang penuh rasa bangga menceritakan dosa-dosanya. Akhhhh… yang penting ATM dan STNK ku kembali.
Saya mulai melobi lagi. Bisa dibayangkan, melobi orang yang lagi mabuk? Tapi syukurlah, entah sadar atau tidak, dia memberitahukan alamatnya. Dan tanpa pikir panjang, saya ke rumahnya untuk menemui istrinya di sebuah perkampungan yang, maaf saja kalau saya sebut sebagai perkampungan kumuh.
Tiba di sana, saya mencoba menanyakan alamat lelaki yang malam itu tengah menikmati pesta minumnya. Tapi apa kata tetangganya?
“Ooohh, jangan cari dia kalo jam-jam begini, dia masih di tempat minumnya.”
Ternyata semua tetangganya sudah kenal dia sebagai “Dewa Mabuk”. Bagaimana tidak, saya saja yang baru dikenalnya lewat telepon, langsung memperkenalkan dirinya dengan bangga sebagai peminum. Semua bisa dibanggakan rupanya, termasuk dosa-dosa. Teringat pada lagu Ebit G. Ade; Mungkin Tuhan mulai enggan, melihat tingkah kita yang selalu bangga dengan dosa-dosa.
Ditemani seseorang, saya menyusuri lorong-lorong sempit menuju rumahnya. Di sana-sini terdengar irama dangdut. Dan langkahku tertahan di sebuah rumah berpintu kayu lapuk, tanpa perabot, sempit. Dadaku ikut menyempit! Seorang wanita muda dengan dua anaknya, menyambutku ramah. Kepala keluarga rumah tangga ini, sedang asyik mabuk-mabukkan. Dan sang istri menunggu di rumah, mungkin akan dibawakan oleh-oleh tamparan saat terlambat membukakan pintu, seperti yang selama ini dipersembahkan sinetron-sinetron. Yang penting ATM dan STNK ku kembali. Batinku lalu memberinya imbalan. Awalnya dia menolak, tapi saat uangnya kuberikan pada anaknya, anak itu menyambarnya lalu berlari masuk kamar.
***
Rupanya kisah belum berakhir meski STNK dan ATM ku sudah di tangan. Saat kuceritakan ke teman-teman tentang pengalaman itu, ternyata daerah yang kumasuki malam itu adalah wilayah abu-abu, lokalisasi terselubung, katanya! Benarkah…? Itu masih katanya…. Saya tak ingin dengan bangga men-judge!***



lanjutan cerita......

2.8.09

KESEMPATAN KEDUA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan terakhir, saya merasa dimata-matai seseorang. Merasa tak tenang. Semua orang di sekelilingku kucurigai, meski tak satu pun mata bisa kutangkap sebagai pelakunya. Saya selalu membujuk hati; itu hanya perasaanku! Tapi semakin kubujuk, semakin kurasa ada sebuah hidden camera yang mengintaiku. Dan mungkin ini bukan lagi curiga, tapi phobia akut. Saking akutnya, getar sms pun kadang membuat dadaku bergemuruh-gemuruh. Beberapa teman yang kutempati sharing malah menganggapku suspect jin. Sungguh terlalu

Saya teringat dengan seorang sahabat saat kuliah dulu. Dia pernah merasakan phobia seperti ini. Hingga suara langkah kaki di luar rumah pun, kadang membuatnya lari sembunyi ke kolong ranjang. Tapi saya tak separah itu. Penyebabnya pun berbeda. Dia phobia karena drug. Semua yang di sekitarnya dianggap sebagai mata-mata yang siap menjebloskannya ke penjara.
Padahal penjara tak sekejam yang ada di benaknya. Hanya persoalan reputasi yang tercemar sebagai napi. Dan napi pun tak selamanya bernoda. Setahun lalu (April 2008) saya diundang untuk berbagi ilmu kepenulisan di Lapastika (Lembaga Pemasyarakatan Narkotika) di Bolangi. Di benakku, saya akan berhadap-hadapan dengan wajah-wajah sangar. Tapi setelah bertemu dengan mereka, ada keinginan untuk memperpanjang tangan, melebarkan bahu, untuk merangkul mereka semua. Beberapa di antaranya bahkan pernah jadi ‘korbanku’. Korban dalam arti penggemar, pernah terbuai dengan cerpen-cerpenku di majalah remaja.
Dan pekan lalu, saya dapat kesempatan lagi untuk masuk di Lapas itu. Masih sebagai pemateri kepenulisan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah masuk sebagai napi Pesertanya berbeda dengan setahun lalu. Tapi semua masih tak sesangar yang kubayangkan. Saat sesi istirahat, saya ke mushalla, beberapa napi datang menyalamiku. Ternyata, mereka adalah peserta setahun lalu. Semua penuh senyum!
“Kak, saya masih di sini! Tiga tahun lagi saya akan bebas!”
Tiga tahun? Ya, tiga tahun dari enam tahun masa hukuman yang harus dilaluinya. Tapi semua masih penuh senyum. Betah Mungkin?
Saat materiku selesai, seorang peserta datang menghampiriku. Dari tatapannya, dan gerak bibirnya yang susah berucap, kutahu dia ingin berahasia denganku. Saya mengerti, lalu mengambil langkah menghindar dari napi yang lain yang cerita denganku. Saya punya waktu tak cukup lima menit dengannya. Karena jam tiga tengngng, saya harus meninggalkan Lapas. Begitu aturannya!
Ternyata dari biodataku, dia tahu kalo saya satu kabupaten dengannya, meski tak satu kampung!
“Kak, minta tolong, hubungi keluargaku! Mereka nggak tahu kalo saya di sini.”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Setahun lebih! Saya tertangkap saat ke Makassar untuk jalan-jalan. Awalnya saya nggak ingin keluargaku tahu kalo saya ada di sini. Tapi, saya harus jujur, saya tetap membutuhkan mereka!”
Deggg!!! Seolah ada pukulan keras yang menghantam dadaku. Setahun raib dari keluarga? Bisa kubayangkan, meski tak ingin kurasakan, bagaimana dahsyatnya perasaan sedih yang menjeram di balik dadanya.
Saya mengangguk, mengiyakan permintaannya, lalu mengambil langkah pergi darinya. Kurasakan tatapannya masih menancap di punggungku, tapi saya tak berbalik membalas tatapan itu. Dan ketika langkahku tiba di luar Lapas, di balik dinding-dinding kokoh itu, hatiku merapuh. Di balik dinding kokoh yang baru saja kumasuki, begitu banyak hati yang menyesali masa lalunya. Allah memberiku lagi kesempatan bertemu dengan orang-orang yang pernah melalaikan waktu luangnya. Ya, kesempatan sering datang mengetuk pintu, tapi tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Mungkin saya pun pernah mendengar ketukan pintu itu, tapi saya pura-pura tuli, tak mau mendengar, dan ketika kesempatan emas itu berlalu, mungkinkah ada kesempatan kedua?***


lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Kesempatan Kedua)


KESEMPATAN KEDUA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan terakhir, saya merasa dimata-matai seseorang. Merasa tak tenang. Semua orang di sekelilingku kucurigai, meski tak satu pun mata bisa kutangkap sebagai pelakunya. Saya selalu membujuk hati; itu hanya perasaanku! Tapi semakin kubujuk, semakin kurasa ada sebuah hidden camera yang mengintaiku. Dan mungkin ini bukan lagi curiga, tapi phobia akut. Saking akutnya, getar sms pun kadang membuat dadaku bergemuruh-gemuruh. Beberapa teman yang kutempati sharing malah menganggapku suspect jin. Sungguh terlalu:)

Saya teringat dengan seorang sahabat saat kuliah dulu. Dia pernah merasakan phobia seperti ini. Hingga suara langkah kaki di luar rumah pun, kadang membuatnya lari sembunyi ke kolong ranjang. Tapi saya tak separah itu. Penyebabnya pun berbeda. Dia phobia karena drug. Semua yang di sekitarnya dianggap sebagai mata-mata yang siap menjebloskannya ke penjara.
Padahal penjara tak sekejam yang ada di benaknya. Hanya persoalan reputasi yang tercemar sebagai napi. Dan napi pun tak selamanya bernoda. Setahun lalu (April 2008) saya diundang untuk berbagi ilmu kepenulisan di Lapastika (Lembaga Pemasyarakatan Narkotika) di Bolangi. Di benakku, saya akan berhadap-hadapan dengan wajah-wajah sangar. Tapi setelah bertemu dengan mereka, ada keinginan untuk memperpanjang tangan, melebarkan bahu, untuk merangkul mereka semua. Beberapa di antaranya bahkan pernah jadi ‘korbanku’. Korban dalam arti penggemar, pernah terbuai dengan cerpen-cerpenku di majalah remaja.
Dan pekan lalu, saya dapat kesempatan lagi untuk masuk di Lapas itu. Masih sebagai pemateri kepenulisan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah masuk sebagai napi:) Pesertanya berbeda dengan setahun lalu. Tapi semua masih tak sesangar yang kubayangkan. Saat sesi istirahat, saya ke mushalla, beberapa napi datang menyalamiku. Ternyata, mereka adalah peserta setahun lalu. Semua penuh senyum!
“Kak, saya masih di sini! Tiga tahun lagi saya akan bebas!”
Tiga tahun? Ya, tiga tahun dari enam tahun masa hukuman yang harus dilaluinya. Tapi semua masih penuh senyum. Betah Mungkin?
Saat materiku selesai, seorang peserta datang menghampiriku. Dari tatapannya, dan gerak bibirnya yang susah berucap, kutahu dia ingin berahasia denganku. Saya mengerti, lalu mengambil langkah menghindar dari napi yang lain yang cerita denganku. Saya punya waktu tak cukup lima menit dengannya. Karena jam tiga tengngng, saya harus meninggalkan Lapas. Begitu aturannya!
Ternyata dari biodataku, dia tahu kalo saya satu kabupaten dengannya, meski tak satu kampung!
“Kak, minta tolong, hubungi keluargaku! Mereka nggak tahu kalo saya di sini.”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Setahun lebih! Saya tertangkap saat ke Makassar untuk jalan-jalan. Awalnya saya nggak ingin keluargaku tahu kalo saya ada di sini. Tapi, saya harus jujur, saya tetap membutuhkan mereka!”
Deggg!!! Seolah ada pukulan keras yang menghantam dadaku. Setahun raib dari keluarga? Bisa kubayangkan, meski tak ingin kurasakan, bagaimana dahsyatnya perasaan sedih yang menjeram di balik dadanya.
Saya mengangguk, mengiyakan permintaannya, lalu mengambil langkah pergi darinya. Kurasakan tatapannya masih menancap di punggungku, tapi saya tak berbalik membalas tatapan itu. Dan ketika langkahku tiba di luar Lapas, di balik dinding-dinding kokoh itu, hatiku merapuh. Di balik dinding kokoh yang baru saja kumasuki, begitu banyak hati yang menyesali masa lalunya. Allah memberiku lagi kesempatan bertemu dengan orang-orang yang pernah melalaikan waktu luangnya. Ya, kesempatan sering datang mengetuk pintu, tapi tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Mungkin saya pun pernah mendengar ketukan pintu itu, tapi saya pura-pura tuli, tak mau mendengar, dan ketika kesempatan emas itu berlalu, mungkinkah ada kesempatan kedua?***


lanjutan cerita......

CERPEN (Cintaku Jauh di Langit)


CINTAKU JAUH DI LANGIT
Oleh: S. Gegge Mappangewa

JAUH kulepaskan tatapan, terbang bebas di atas hamparan kebun teh dan lintasan Jakarta Bandung yang meliuk berliku, juga menukik. Di sini, di atas sebuah bukit, di areal perkebunan teh Puncak, Jawa Barat, kurapatkan duduk dari tadi. Ada rindu menyeruak di antara haru yang kurasakan sesak setiap kucoba mengingat kenangan setahun lalu, di sini, Ramadhan yang lalu, bersama Abraar.
Sengaja memang, kutinggalkan Jakarta menuju Puncak. Hanya untuk melihat kembali saksi kisah bahagia sekaligus kisah perih yang pernah terajut di sini. Kisah itu mengalun kembali seiring menggemanya nama Abraar memenuhi ruang hatiku, ketika kucoba mendesiskan namanya.

Aku tak boleh menangis meski haru menyeruak, aku tak mungkin mengikuti emosi jiwa yang ingin selalu meneriak¬kan namanya. Semua demi keabsahan puasaku, juga kerelaanku menerima takdir. Kisah lalu itu adalah perjalanan hidup, mungkin seperti lintasan Jakarta Bandung yang penuh liku.
"Hey!"
Seorang cowok datang menyapaku. Kubalas dengan senyum. Terlalu sibuk dengan kisah lalu, aku telah meng¬anggap diriku sebagai penghuni tunggal bukit ini. Padahal sejak siang tadi, pengunjung banyak berdatangan. Sekadar menikmati hawa dingin bukit ini, hijaunya hamparan teh atau aktraksi paralayang yang bertolak dari bukit ini sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Paralayang? Aku menggeleng perlahan, tanpa sadar. Cowok di sampingku mengerutkan kening tanda tak mengerti dengan gelenganku.
"Namaku Kade,” ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangan untukku.
“Vira !” balasku singkat tanpa meraih uluran tangannya.
“Kamu sepertinya ada masalah" ucapnya lagi sambil menarik kembali uluran tangannya yang tak kusambut.
Aku terdiam. Dingin yang semakin menusuk membuatku menarik ruslui¬ting jaket, lalu melipat tangan di dada. Kualihkan kembali tatapanku ke kaki bukit. Lintasan Jakarta Bandung, sepi. Hanya sesekali kendaraan melintas, membuat jalan beraspal itu seperti liukan anaconda raksasa yang sedang tertidur. Kade, cowok yang agak jauh di sampingku, nampaknya belum juga beringsut. Bahkan berceloteh sendiri.
"Dulu, setiap ada masalah, aku selalu melarikan diri ke sini,” ungkap¬nya. “Jarak Bandung ke sini, nggak kupeduli. Di sini aku bisa sendiri, bahkan terbang ke langit sana.” lanjut¬nya sambil menatap langit barat.
Aku yang dari tadi menganggapnya patung, kini terhipnotis untuk balik menatapnya. Kalimatnya membuat bayangan Abraar seperti utuh berada di depanku.
Dulu, Abraar selalu ke sini. Tiap minggu! Menunggu angin datang, lalu mengembangkan parasutnya. Terbang melintas di atas hamparan kebun teh, semua karena dia berambisi untuk menjadi atlet para¬layang.
Abraar, pemilik lesung pipit itu kurasa¬kan semakin nyata di depanku. Tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Dan lesung pipinya, seolah memiliki magis yang mampu melesakkan aku masuk ke dalamnya. Namun semua kesempurnaan itu membuatku semakin tak bisa berharap banyak. Jalan bersama dia pun rasanya sudah anugerah besar buatku. Hanya keramahan, juga kerendahan hatinya yang membuatnya mau berteman denganku. Siapa sih yang mau berteman dengan gadis cacat sepertiku? Kalau pun banyak yang memujiku cantik, namun terlalu sedikit yang mau jalan dengan seorang cewek berkaki pincang sepertiku.
Tapi Abraar, awal kedekatannya denganku kuanggap sebuah hinaan. Aku salah sangka, aksi pedekate nya padaku kupikir hanya karena otakku yang encer. Karena kutahu betul, dia selalu berada di peringkat terakhir bahkan pernah terancam tidak naik kelas.
Namun ketika dia berhasil menak¬lukkan hatiku untuk menjadi temannya. Abraar lain dari yang kupikir. Dia tak pernah memberiku kesempatan untuk putus asa, tak pernah malu melangkah di sampingku, yang jalannya terseok-¬seok karena kaki kiriku yang tidak normal sejak lahir.
“Semua karena aku tahu, tak banyak yang mau berteman dengan kamu,” ungkapnya jujur ketika kutanya alasan kedekatannya denganku.
Beribu kalimat sumbang pun akhirnya terlontar. Abraar yang otaknya tumpul di kelas, ternyata juga berotak udang dalam mencari pacar. Vira, gadis cacat yang bukan hanya pintar di kelas tapi juga punya ilmu hitam yang bisa membuat cowok bertekuk lutut. Dan entah kalimat apalagi, yang semakin membuatku sadar dengan kekuranganku.
Aku tenang saja. Toh, Abraar juga tak menanggapinya. Tapi ketenangan itu akhirnya terusik juga. Terusik oleh mimpi seekor pungguk sepertiku yang merindukan bulan, jauh di langit sana. Kedekatanku dan banyak jalan bersa¬manya telah membuat hatiku dihinggapi penyakit cinta yang tidak seharusnya diidap oleh gadis cacat sepertiku.
Kusimpan cinta itu menjadi siksa jiwa. Aku tak peduli itu menyiksa, tak kuhiraukan meski sering membuatku menangis. Semua demi kelangsungan persahabatanku dengan Abraar.
Ya, persahabatan ! Aku tak boleh melewati garis batas itu. Sekali aku menyebut kata cinta buat Abraar, persahabatan itu akan hancur. Tak ingin kusesali ke-bodohanku kelak.
"Hey !"
Sapaan Kade membuat lamunanku buyar. Bahkan dia habis meninggalkan¬ku sendiri tanpa kusadari. Buktinya, sebuah careel berisi parasut telah bergantung di punggungnya. Dulu Abraar begitu gagah setiap membawa careel parasut seperti itu.
"Sori, aku ditugaskan untuk terbang. Untuk memberi aktraksi kepada para pengunjung di sini. Tapi aktraksi ini spesial kupersembahkan untukmu. Untuk awal perkenalan kita, " ujarnya sambil tersenyum.
Dia melebarkan parasutnya, memasang harness dan helm penga¬man. Entah berapa detik dia berdiri mematung, memperhatikan bendera kecil yang ditancapkan di salah satu tembereng bukit. Saat bendera itu berkibar pertanda ada angin, sejenak Kade melirikku sekali, lalu berlari mengambil awalan, dan di ujung ketinggian bukit, dia terbawa angin.
Seperti elang, Kade terbang mengitari perkebunan teh. Manarik dan mengulur tali parasutnya. Aku terpana melihatnya. Seolah Abraar yang sedang terbang di sana. Aku duduk kembali. Pengunjung yang lain masih terus menatapnya. Lain denganku, tadi ketika Kade terbang mengitari perkebunan teh, ada bahagia sekaligus ketakjuban melihatnya, tapi ketika dia memilih untuk terus menarik parasutnya, membuatnya, semakin tinggi. Di posisi terbangnya yang sejajar dengan matahari yang terhalang awan. Dia berhenti di situ. Berdiam diri! Lama sekali. Posisi seperti itu membuat kenanganku dengan Abraar datang mengiris.
Dua bulan terakhir kebersamaanku dengan Abraar, dia selalu terbang ke sana. Terbang hingga ketinggian yang sejajar dengan matahari sore. Padahal sebelumnya, dia tak pernah melakukan itu. Aku bisa menebak, jika dia. memen¬dam masalah berat dan melarikannya ke awan sana.
"Aku bahkan mau terbang hingga ke langit. Sayang nggak bisa! Meski kuyakin itu akan terjadi. Tak lama lagi!" ucapnya suatu sore, saat baru landing dari penerbangannya yang tinggi.
Sedikit pun aku tak menanggapi kalimat itu. Aku hanya memperhatikan dia sibuk melepaskan harness.
Kebiasaan Abraar terbang seperti itu, bermula saat dia dinyatakan gagal menjadi atlet nasional di olahraga paralayang. Jelas sekali ada kecewa, padahal sebelum mengikuti test dia sempat bercerita jika dia tak takut gagal. Toh, ini hanya kujadikan sebagai hobi sekaligus hiburan, katanya. Tapi akhirnya? Kegagalan itu membuatku menemukan Abraar yang lain dalam dirinya yang sebenarnya.
Aku mencoba belajar menghadapi kenyataan. Sedikit demi sedikit aku melangkah menjauh. Siapa tahu kedekatanku dengannya telah membuat dia bermasalah. Apalagi, akhir akhir ini sering kudengar dia menyebut nama Yuni di depanku. Kutahu dia mencintai¬nya, juga kuyakin jika Yuni tak akan menolak jika tahu perasaan Abraar.
Ketika kusadar bahwa aku menjadi penghalang, kucoba untuk beringsut. Bukankah mengharap terus cintanya, juga sebuah siksa bagiku? Jika aku menghindar, itu berarti aku telah memberi kebahagiaan buat Abraar yang juga pernah memberiku bahagia meski akhirnya aku melukai diriku sendiri dengan mimpi yang tak mungkin berwujud.
"Maukah kamu menerima cintaku?"
Seperti tak sadar ketika suatu hari, kudengar dia mengucapkan kalimat itu untukku.
"A..aku!" gugupku.
Dia mengangguk serius. Menatapku tanpa henti. Sayang sekali, tatapan yang sebelumnya selalu kuakui mendamai¬kan, saat itu malah membuat hatiku porak poranda. Bagaimana tidak, kalaupun aku pernah berani bermimpi untuk memilikinya, sedikit pun aku tak berani untuk mewujudkannya, Laksana terbang ke langit, saat untuk kedua kalinya dia mengucapkan cinta padaku. Aku melayang tanpa parasut. Terlebih, tanpa sayap! Karena aku memang bukan burung dara yang sempurna.
“Hey!”
Lagi lagi Kade datang melerai kenanganku bersama Abraar. "Kalau kamu mau, aku bisa memba¬wamu terbang seperti tadi. Aku biasa jadi pelatih untuk penerbang pemula." ucapnya sambil melirik jam di perge¬langannya. "Masih bisa untuk sekali penerbangan."
Aku menggeleng.
"Kenapa, takut? Sekali kamu terbang, kamu akan ketagihan. Yakinlah! Di atas sana kamu boleh membuang semua bebanmu. Bahkan melupakan semua masalahmu. Ketinggian selalu menjanjikan mimpi. Mimpi yang indah!" Kade memohon lagi.
Apapun alasannya. Aku tetap menggeleng! Aku pun tahu, ketinggian selalu memberi mimpi yang indah, tapi aku lebih tahu jika terkadang ngarai menunggu di bawah. Apa artinya melambung sejenak bersama mimpi sementara hati juga harus selalu siap untuk terluka saat harus terhempas?
"Okel Nggak apa apa. Tapi kamu mau jadi temanku, kan?"
Tatapanku lurus menancap ke bola mata Kade. Sedikit teriris hatiku mendengarnya. Bagaimana tidak? Kuyakin kalimat itu terucap darinya karena belum sadar jika gadis yang berada di depannya tak bisa berjalan normal.
"Apa untuk menjadi teman, aku harus menunggu lama?" lanjutnya lagi. "Padahal aku berharap lebih dari itu."
Tatapanku yang tadi menancap di bola matanya, kini kularikan ke kaki bukit. Sore semakin layu, kabut pun menebal. Di bawah sana, speaker Mesjid Atta'Awun mengalunkan kalimat suci. Sebentar lagi maghrib. Aku harus turun.
"Boleh, kan?" desaknya meminta jawaban.
Aku tetap diam. Gelap yang merambat membuat semua kendaraan yang melintas di jalan Jakarta Bandung harus menyalakan lampu sorotnya. Lintasan panjang berliku itu, yang tadi mirip anaconda raksasa yang sedang tertidur, kini kilatan kilatan lampu kendaraan yang melintasinya tak ubahnya barong¬sai raksasa yang sedang berjalan meliuk.
Pengunjung bukit mulai turun satu per satu. Kade berpindah ke depanku. Menatapku tajam! Tapi aku memilih untuk melangkah. Langkah pincang yang terseok. ¬Tersaruk saruk! Dan kuyakin, dengan melihat itu, Kade akan tercengang sekaligus mema¬tung. Tanpa pemah mau mengiringi langkahku.
Selangkah, dua dan tiga kali aku melangkah menuruni bukit. Tanpa berbalik pun kutahu, apa yang sedang Kade perbuat. Dia tak akan pernah mau berteman dengan gadis pincang sepertiku.
Ada haru yang menyeru¬ak ketika semakin kusadar bahwa Kade tak mengikuti langkahku. Bukan karena ingin dia bersamaku, sekali lagi bukan! Haru itu menye¬ruak karena mengingatkanku pada satu satunya orang yang mau melangkah bersamaku. Abraar!
Ramadhan tahun lalu pun aku masih sempat menuruni bukit ini bersama Abraar. Buka puasa dan shalat jama'ah di Mesjid Atta'Awun. Lalu pulang membawa moci dan peuyem sebagai oleh oleh.
Aku tak boleh menangis. Tekadku sambil menyeret langkah. Kuingin cepat tiba di mesjid. Menanti maghrib dan mengadukan semua bebanku pada Allah yang bersinggasana di langit yang jauh. Sekaligus mengirim doa buat Abraar di sana.
Aku tak pernah melupa¬kan selalu kupuji kemurahan hati Abraar yang mau berteman denganku. Meski untuk mencintaiku, belakang¬an kutahu jika itu hanyalah pelarian. Kepiawaian Abraar mempermainkan tali parasutnya, keberaniannya menan-tang angin, tak diragukan lagi untuk menjadi atlet nasional paralayang. Tapi, semua keahlian itu harus diabaikan karena dokter memvonisnya sebagai penderita kanker otak ketika ikut test kesehatan, dalam seleksi atlet nasional.
Lama sekali baru aku tahu penyakit Abraar itu, meski kulihat ada duka yang menggantung di setiap tatapannya. Meski kuarasakan ada keanehan dari sikapnya yang selalu menerbangkan parasut ke ketinggian yang sejajar dengan matahari. Barulah setelah dia terbaring lemas dan hendak menghembus¬kan napas terakhirnya, dia meminta maaf atas cinta semunya padaku.
Ada Yuni yang mengisi ruang hatinya. Begitu cintanya pada Yuni, Abraar tak ingin Yuni teruka dengan kehilangan dirinya kelak Aku pun jadi korban pelarian itu. Aku tak tahu perasaan apa yang berkeca¬muk di hatiku saat mendengar pengakuan Abraar. Aku ingin membenci tapi dia telah membuatku berarti.
Hanya sesaat setelah aku membasuh tubuhku dengan wudhu, adzan maghrib menggema. Segelas air putih kuteguk, tambah beberapa buah moci. Lalu meraih mukenah dan mengambil tempat di barisan jamaah yang hendak shalat.
Khusyu' sekali aku dalam shalat, lalu melantunkan doa untuk Abraar. Doa untuk ketenangannya di 'ketinggian' sana.
Ketika aku keluar mesjid, hendak membeli oleh-¬oleh khas Puncak. Kudapat-kan sosok Kade yang sedang menghampiri seorang cewek yang lumayan manis. Tentu saja aku tak cemburu apalagi terluka. Allah yang pemurah pernah mengirimkan Abraar untuk mencintaiku. Meski dengan cara lain. Kuyakin juga, Allah, kekasihku yang bersinggasana di langit sana, akan selalu hadir di hati. Untuk mendengar doaku!
***
(Termuat di Aneka Yess! Edisi Oktober 2003)



lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Gerimis Ini Turun Untukmu)


GERIMIS INI TURUN UNTUKMU
OLEH : S. GEGGE MAPPANGEWA
Perpisahan adalah kesedihan yang teramat manis. Kalimat itu diucapkan Romeo pada Juliet, yang dituntun oleh William Shakespeare. Sungguhkah kesedihan itu teramat manis? Tentu saja tergantung jenis perpisahannya. Karena begitu banyak orang yang tak sudi menangisi perpisahan dan lebih menyesali pertemuan. Tragisnya lagi, terucap kata; tiada maaf bagimu!


Maaf! Andai semua orang terbiasa dengan kata itu, semua kesedihan akan teramat manis. Tapi bukan salah siapa jika kata maaf itu susah untuk terucapkan, karena memang ada salah yang tak bisa termaafkan. Padahal kata orang bijak, memaafkan kesalahan memang lebih baik, tapi melupakan kesalahan orang jauh lebih baik. Tapi yang jadi masalah, ada salah yang tak bisa termaafkan, yakni salah yang tak bisa terlupakan.
Seorang sahabat yang telah bertahun-tahun kukenal. Tak ada istimewa dengan hubungan kami. Bertemu paling sekali sepekan. Tahun-tahun yang terlewatkan tak ada istimewa. Hanya sekadar tertawa bersama saat bersua. Bertukar mimpi. Lalu, ketika perpisahan akan menjadi bagian dari hidup kami, seketika semua jadi istimewa.
Pada detik-detik kepergiannya, saya merasakan ada ikatan yang sulit terlerai. Ada rasa yang sulit kuurai. Melarut, menggumpal, lalu seakan ingin jadi derai. Masih mampu kutahan derai itu. Hingga yang ada adalah kabut menjelaga di mataku. Inikah kesedihan yang teramat manis itu? Saya teringat dengan salah seorang sahabat yang pernah mengirimkan sms untukku dan hingga kini ku save; JIKA SUATU SAAT….! MUNGKIN HARI INI, ESOK, LUSA, ATAU KAPAN. AKU TAK BERNAPAS LAGI. KETAHUILAH, SAUDARAKU! HADIAH TERINDAH YANG PERNAH KUDAPAT DARIMU ADALAH PERSAUDARAANMU KARENA ALLAH. SEMOGA KITA TETAP ISTIQAMAH DAN DIPERSAUDARAKAN DI JANNAH!
Mungkin selama ini memang tak ada yang istimewa di antara persahabatan kami, hanya sebuah cerita sederhana dari pertemuan yang biasanya hanya sekali sepekan. Tapi kesederhanaan itu telah memberikan hadiah terindah untuk kami; Persaudaraan karena Allah! Semoga hadiah itu benar, Persaudaraan Karena Allah! Persaudaraan yang menyimpan berjuta-juta maaf. Karena sekali lagi, kata maaf itu sangat-sangat susah untuk dilantunkan. Padahal dari situlah bermuara kesucian. Dan kesucian selalu ternoda oleh salah, masalah, dan masa lalu!*** (Saat kisah ini kutulis, di luar sana gerimis turun ragu, membekukan sedih yang teramat manis)

lanjutan cerita......