28.4.09

Mawar Melati Semua Indah


Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
***************************************************************************************************


MAWAR MELATI SEMUA INDAH
Oleh: S. Gegge Mappangewa

NANDA meraih pulpen. Perih mengikuti jejak cerita yang akan digoreskannya. Sedih, lelah! Membuatnya tak bisa menggoreskan satu kata pun. Air matanya luruh tiba-tiba, saat karang hati yang pernah dibiarkan terhempas badai apapun, tumbang akhirnya. Dia pun mengalah! Melangkah menemui ibunya, yang memang menginginkan kekalahan itu.
“Inikah yang ibu inginkan?” ucapnya sambil mengibaskan rambut hitamnya.
Mata wanita yang dipanggilnya ibu, berbinar sudah. Tidak lagi basah! Juga tak ada lagi kalimat badai yang keluar dari bibirnya.
Nanda ingin menangis, tapi tetap dipaksa menarik dua sudut bibirnya, minim sekali senyum itu, seminim busana yang kini dipakainya. Di balik senyum itu tersimpan dendam. Lalu dengan langkah dibikin menggoda, dia melenggang di depan ibunya.
“Aku minta doa restu ibu,” penuh kemunafikan dia mengucap kata itu.
Teringat jilbab lebar yang pernah menutupi auratnya, dia ingin menangis. Sangat ingin! Namun lebih ingin lagi, dia ingin membahagiakan ibunya, menuruti keinginannya untuk menjadi bintang idola remaja.
Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
“Ini bukan untuk ibu, Nanda. Apa kamu nggak sakit hati pada ayah yang meninggalkanmu? Kamu bisa saja bertahan dengan kesabaranmu, tapi tolong balaskan dendam ibu. Membuat lelaki bejat itu kembali dan mengemis di rumah ini.”
Nanda ingin menutup telinga, tapi dipilihnya berlaku manis. Menurutnya, ibu tak salah menaruh dendam pada ayah yang menikah lagi. Tapi yang membuatnya tak mengerti, meski harus diterima juga, permintaan ibunya yang menyuruhnya menjadi model.
Kebanggaan ibunya dulu, pada Nanda yang anggun dengan jilbabnya, pada Nanda yang sopan langkahnya, kini pudar. Bahkan profesi Nanda sebagai penulis fiksi, tak dipandangnya. Sebelah mata pun tidak!
“Sudah berapa tahun kamu jadi penulis, siapa yang memujimu? Kamu hanya pemain di balik layar. Kamu cantik, pintar. Anugerah Tuhan jangan disia-siakan!”
Dulu, saat kalimat itu terlontar untuknya, dia masih bisa berkilah, membela diri bahkan tak rela dirinya dibanding-bandingkan dengan Kak Dira, hanya karena profesi.
“Sebelum Kak Dira jadi model, aku nggak pernah merasa dinomorduakan. Tapi kenapa sekarang ibu perlakukan untukku…”
“Ibu ingin melihat kamu sukses seperti kakakmu,”
“Dengan memaksaku? Jilbabku yang ibu kagumi dulu pun ingin ibu lepas paksa dari tubuhku,” setengah menangis dia mengucap kalimatnya.
Tapi ibunya tetap pada pendiriannya. Nanda mencoba cara lain. Banyak diam, bahkan menghindar dari ibunya hingga berkesan perang dingin. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Nanda bahkan terusir dari rumah jika tetap mempertahankan prinsip. Bukan tak ada jalan lain, tapi Nanda merasa jika menuruti keinginan ibunya adalah jalan terbaik saat ini.
***
“Jilbaber kita berganti bikini,”
Sungguh! Gendang telinganya terasa pecah mendengar kalimat itu. Dia tetap melangkah, menelusuri koridor kampus yang penghuninya melayangkan mata ke arahnya. Dia memaksa tersenyum, menganggap koridor kampus sebagai cat walk yang akan ditempatinya melenggang saat jadi model kelak.
“Nanda?” suara tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu, milik Fatah.
Nanda berhenti sejenak, menatap ke arah Fatah yang langsung tertunduk menerima tatapannya. Ini yang pertama kalinya dia menatap lama ke wajah Fatah. Sebelumnya, dia lebih banyak mendengar suaranya dari balik hijab mesjid. Kalaupun bertemu, tidak ‘sedekat’ ini.
“Jenggoter kita patah hati, nih!” teriak mahasiswa lain yang sedang melihat Nanda dan Fatah dalam kebekuan.
Nanda ingin bicara, tapi tak tahu harus mengucap apa. Fatah yang pergi darinya pun, tak mampu ditahan langkahnya. Kali ini dia menangis. Merasa kehilangan Fatah, teman setia di aktivis dakwah.
Sebenarnya Nanda tahu apa yang akan terjadi jika dia menuruti keinginan ibunya. Bahkan keberaniannya datang ke kampus dengan pakaian minim, semata karena ingin ‘uji nyali’ sekaligus membiasakan diri tampail funky.
Nanda telah membulatkan tekad untuk menjadi model! Di balik tekad itu, dia punya rencana tersendiri untuk ibunya. Mungkin semacam dendam tapi itu terpaksa dilakukan setelah tersiksa oleh paksaan dan amarah ibunya.
Padahal dia boleh saja tak serius di audisi model yang diikutinya kemarin, tapi demi dendam itu dia berusaha menjadi yang terbaik. Hasilnya tentu saja menggembirakan, buat ibunya! Meski buat dirinya sangat menyakitkan. Nanda terpilih sebagai nominasi model yang akan masuk karantina dan dibimbing ke jalan glamour.
Nanda menangis saat ibunya memberinya senyum bangga dengan prestasi yang diraihnya. Sekian lama hidup dengan ibunya, tanpa ayah, bahkan tanpa materi berlebih, namun Nanda bahagia. Tapi kini…? Keberhasilan Dira menjadi model, bukannya membuat ibunya puas. Padahal cari apa lagi? Rumah sederhana yang dulu ditempati hidup kekurangan, kini telah ‘disulap’ Dira menjadi istana. Bahkan usaha jahitan telah berubah menjadi konveksi besar. Puas tetap tak teraih. Nanda jadi korban, menggadai iman demi keinginan ibunya.
***
Nanda tahu dendam itu dosa, apalagi jika rasa itu untuk orang yang telah melahirkannya. Tapi Nanda telah meniatkannya sejak dia luluh untuk meluruhkan jilbab dari tubuhnya. Baginya, bayaran perih hati saat dia terpaksa melepas jilbab, haruslah setimpal. Paling tidak memberi teguran pada ibunya yang materialis.
Popularitas di tangan kini. Model agency tempatnya terdidik, bukan hanya memilihnya sebagai juara kedua, namun juga sebagai pemenang favorit pilihan penggemar. Tapi sedikit pun Nanda tak berbangga, bencinya malah semakin menjadi.
Dan benci pun membuncah kini. Saat wajahnya telah terpampang di lembaran majalah remaja sebagai idola, pada hampir tiap sudut kota di papan iklan yang dibintanginya. Apalagi di televisi, hampir semua peran sinetron dilakoninya. Seperti niatnya dari awal, saat namanya telah melambung dan terikat perjanjian kontrak Production House, dia pun kembali ke habitat semula, sebagai jilbaber!
“Kamu gila, Nanda! Bukankah kamu telah terikat kontrak dengan iklan shampo, gimana surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani dengan rumah produksi, peran kamu di sinetron sebagai gadis funky, tanpa jilbab! ” ibunya panik.
“Tapi perjanjian antara ibu dan Nanda, cuma sebatas jadi model…”
Kalimat Nanda terpotong oleh tamparan keras ibunya.
“Jangan anggap sepele! Rumah produksi bisa saja nuntut kamu miliyaran,”
“Kan ada denda kurungan, itu jika ibu tak mau merelakan harta yang ibu peroleh dari Dira, untuk kebebasan Nanda.”
Ibunya memelas, memaksa, juga menampar lagi. Tapi Nanda bergeming. Bahkan mengadakan jumpa pers tentang keputusannya meninggalkan dunia selebritis.
Bukan tak ada perih. Iba telah berubah menjadi ujung pedang yang mengiris-iris saat rumah, mobil dan usaha konveksi ibunya tersegel demi membayar denda pelanggaran surat perjanjiannya dengan rumah produksi. Iba bukan karena tak punya apa-apa lagi, tapi karena ibunya yang tiba-tiba shock, tak kuat menerima kenyataan yang mendadak berubah arah.
“Kamu nggak punya perasaan!” cecar Dira. “Bukan begini caranya membalas sakit hati pada ibu. Sebesar apa pun salahnya, apa susahnya melupakan, memaafkan. Atau karena jiwa kecilmu tak mampu mengingat perjuangan ibu menghidupimu tanpa ayah?
Salahkah dia punya mimpi setelah tidurnya tak kau nyenyakkan dengan tangismu di tengah malam? Minta disusui, digantikan popok!”
Nanda diam. Ujung jilbabnya telah basah air mata. Sementara ibunya terkulai lemas berjuntaian selang infus.
“Sebenarnya bukan saat kamu memilih untuk jadi model, kamu harus melepas jilbab. Tapi saat kamu membangun kebencian pada ibu, di situlah jilbabmu tak pernah pantas! Nanda, bukan kamu yang harus memberi teguran pada ibu, tapi Tuhan!”
Mendengar Dira mengucap kata Tuhan, sesal semakin menyiksa. Sedikit pun dia tak pernah meminta persetujuan-Nya lewat istikharah, saat dia memilih menjadi model. Begitu juga saat melepaskan bencinya lewat dendam, tak pernah sekali pun dia meminta petunjuk lewat doa, dia bertindak sendiri!
“Maafkan Nanda, Bu!”
Tubuh ibunya yeng terkulai, dipeluk lekat. Dibasahi dengan air mata penyesalan. Tubuh itu masih juga bisu, mendekati beku.
“Permisi!”
Pelukan Nanda terlepas. Matanya yang beralih ke asal suara membuat detak jantungnya berirama keras. Dia ingin bicara, menjelaskan pada petugas kepolisian yang datang, jika utangnya pada rumah produksi telah lunas dari hasil pelelangan harta ibunya, tapi mata petugas itu menatap tajam ke arah Dira yang membalas tatapan itu dengan gugup.
“Bisa ikut kami ke kantor?”
Dira tampak tak bisa mengelak. Seolah tahu jika dirinya bersalah. Nanda bisu, bingung, tak mengerti dengan pemandangan yang kini disaksikannya.
“Kak Dira!” desisnya tapi tak dipeduli.
Nanda ingin mengikuti langkah Dira yang dikawal petugas kepolisian, tapi ibunya yang mulai menggerakkan jari, setelah seharian hilang dari kesan kehidupan, memaksanya tinggal dan menemani ibunya.
“Maafkan Nanda, Bu! Nanda menyesal. Aku keterlaluan! Ibu mau memaafkanku, kan?”
Pejaman mata ibunya terbuka sejenak lalu tertutup lagi. Dia ingin membuka mata untuk Nanda, tapi terlalu berat. Kelopaknya menyimpan tangis. Korneanya merindukan sosok Nanda yang anggun dengan jilbabnya. Tapi rindu itu tertahan oleh sesal yang telah membedakan kedua puterinya, hanya karena profesi. Kelopak basah kemudian! Jemarinya mengenggam jari Nanda yang menjabatnya. Erat sekali!
“Nanda, Ibu yang salah…” serangkai kalimat terucap akhirnya.
Nanda menggeleng. Tapi ibunya membuka mata, menatap layu pada Nanda yang masih dibasahi tangis. Tatapan yang meminta Nanda menyerahkan semua kesalahan padanya. Baginya, tak cukup dengan sesal. Harta dan dendam pada suaminya telah membuatnya berpaling dari Tuhan, bahkan memaksa puterinya merintis jalan setapak, di antara duri. Kenyataan kini membuatnya sadar, mengingat kematian yang sekian lama luput dari ingatannya.
“Dira ke mana?”
Bergetar bibir Nanda menerima pertanyaan itu. Tangisnya terhenti, berganti kemirisan. Tentu saja tak tepat menceritakan apa yang baru saja terjadi pada Dira, meski sebenarnya dia pun tak tahu apa yang membuat Dira dijemput petugas kepolisian.
“Kak Dira ada syuting katanya,”
“Ibu ingin memeluknya. Ibu rindu,” katanya sambil meraih remote tv dan meng-on-kan.
Wajah Dira memang ada di layar kaca, tapi tak seperti biasanya. Kali ini wajahnya hadir di acara infotainmen dan menampilkan sosoknya sebagai tersangka pengedar dan pengguna drugs.
Mata Nanda tak betah menatap layar tv. Tatapnya beralih ke arah ibunya. Dia takut, akan terjadi apa-apa pada ibunya menyaksikan kenyataan baru, yang jauh lebih pahit.
“Ibu sedih. Perih! Tapi tak rapuh. Kuharap Dira bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya, seperti ibu yang kini tak bisa membedakan posisi kalian, hanya karena warna …”
Nanda melabuhkan peluknya, menumpahkan tangis di tubuh ibunya yang berusaha setegar mungkin. Dalam pelukan itu, meski perih yang akan mengikuti jejak goresan penanya, dia tetap tak sabar ingin meraih pulpen, lalu bercerita panjang.
Kutulis kisahku, pada karang dengan jari telanjang! batinnya membayangkan kalimat pembuka cerpennya, setelah sekian lama tak menulis.
***






lanjutan cerita......

SIMPAN UNTUKMU SENDIRI


SIMPAN UNTUKMU SENDIRI
Oleh: S. Gegge Mappangewa

SETIAP ke rumah Andien, benakku selalu dilumuti tanya. Tanya yang kusimpan sendiri karena tak ingin, juga takut jika setiap pertanyaanku berkesan menyelidik. Barang-barang mewah, foto keluarga, dan juga rumah megah, seolah sebuah jejak sidik masa lalu Andien.
Andien yang di sekolah periang, seolah tanpa beban apa pun, tapi setiap kudapatkan di rumah, dia tak lebih hanyalah mayat hidup. Kalau pun tertawa atau melayaniku cerita, itu tak lebih hanya peran yang harus dilakonkannya sebagai tuan rumah.

Tapi syukur, setahun berteman dengannya, aku sudah bisa menemukan satu jawaban dari seribu pertanyaan yang selalu hadir di benakku. jawaban itu diperdengarkan untukku tanpa kuminta. Mungkin curiga jika setiap kunjunganku berkesan cari tahu, akhirnya dia buka mulut jika rumah yang ditempatinya, cuma rumah kontrakan!
“Rumah kontrakan?”
Mataku terbelelak. Jelas saja aku heran, cewek seusia Andien. Kelas satu SMA! Memilih rumah kontrakan semegah ini? Taman yang luas, dua lantai, ruang tamu dipajangi foto keluarga, peralatan dapur yang komplit! Apa nggak sebaiknya, cukup dengan tinggal di tempat kost dengan kamar yang luas, lalu dipasangkan AC, plus home theater jika perlu! Daripada harus pilih rumah yang lebih cocok untuk orang berkeluarga seperti ini.
“Mama yang menginginkan ini, Ririn!” ucapnya saat membaca keherananku.
“Tapi kamu nggak takut tinggal sendiri di rumah luas seperti ini, kenapa nggak sekalian cari pembantu untuk membantumu merawatnya?”
Dia menggeleng pelan. Lalu bercerita jika sejak kecil dia ditempa menjadi cewek yang mandiri. Masa SD pun nggak pernah merepotkan harus diantar dan dijemput dari sekolah. Dia berangkat dengan tukang becak langganannya. Pernah tukang becak langganannya berhalangan, tanpa takut dia ikut menunggu di halte. Bertanya pada semua orang trayek bis menuju rumahnya.
Mendengar semua itu, giliranku menggeleng tak percaya. Aku pikir dia mengada-ada. Tapi pikiran salahku itu cepat dibenarkan oleh kenyataan yang kulihat selama ini. Andien yang bisa memimpin ratusan siswa sebagai ketua Osis, ketua panitia di setiap acara sekolah. Anehnya, sebagai pemimpin dia tak pernah mengandalkan telunjuknya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dia sendiri yang turun tangan, kalau pun harus menyuruh, kalimatnya tak lebih hanyalah permintaan. Bukan menyuruh apalagi memerintah!
Andien memang terkenal sopan. Bicara dengan teman sekolah pun, seolah berhadapan dengan guru. Bertutur sambil senyum, menunduk sesekali jika perlu!
Aku sendiri ngeri jika harus membayangkan diriku akan seperti Andien. Bukan takut tinggal sendiri di rumah semegah ini. Aku malah takut kehilangan masa yang seharusnya kunikmati. Andien yang seharusnya hanya ‘dibebankan’ oleh tugas sekolah demi mempertahankan peringkat kelas yang memang tak pernah dilepaskannya, juga harus berperan sebagai ‘ibu rumah tangga’ yang merawat rumah.
Andien seolah terkarbit. Meski usia dan wajahnya masih muda, tapi isi kepalanya terlalu tua. Pesta adalah foya-foya, menghambur uang, uang lebih baik ditabung demi keperluan mendadak daripada jalan ke mal tanpa tujuan yang jelas, dan entah prinsip apalagi yang selalu dipertahankannnya. Prinsip yang seharusnya ada pada wanita berkeluarga. Bukan pada Andien yang masih kelas satu SMA!
Meski begitu, Andien bukanlah pelit. Butuh uang berapa tinggal bilang, Andien tak pernah keberatan untuk meminjamkan. Bahkan kegiatan sosial yang diadakan sekolah pun, dia sering mengeluarkan uang pribadi untuk menambah besarnya dana yang akan disumbangkan. Ya, selama itu bukan urusan foya-foya, adalah sah-sah saja menurut Andien.
Belum sejam cerita dengannya, sebuah Nissan Terrano masuk di pekarangan.
“Mamaku datang, Rin!”
“Kamu baik-baik saja, Andien?”
Andien mengangguk! Kecupan wanita itu kemudian mendarat di kening Andien, tanpa sempat merapikan poninya dulu. Ya, tanpa sempat! Dengan langkah tergesa masuk ke dalam rumah. Dari pintu, kulihat dia masuk di kamar yang membelakangi ruang tamu. Andien membuntutinya setelah pamit sebentar denganku.
Saat pamit tadi, ada yang lain di tatapan Andien. Mungkin malu melihat perlakuan mamanya yang sedikit pun tidak menghargaiku sebagai tamu. Jangankan menyapaku, senyum pun tidak. Hanya ekor matanya yang tertuju padaku, melirik seolah mencari tahu, teman bergaul Andien seperti apa.
Tak cukup seperempat jam, Andien dan mamanya keluar. Masih dengan langkah tergesa.
“Kamu baik-baik ya, Sayang!”
Andien menerima kecupan lagi. Bukan sekali! Tubuh mungil Andien pun, didekapnya erat. Rindu di mata anak beranak itu jelas sekali kulihat. Aku berdiri menghampiri saat pelukan mereka terlerai, tapi yang kudapat hanya senyum tanda pamit. Hanya itu!
“Maaf jika mamaku kurang menganggapmu ada. Dia buru-buru sekali! Dia hanya transit di sini, pesawatnya akan berangkat lagi jam satu siang. Dia khawatir ketinggalan pesawat!”
“Memang dari mana?”
“Belum tahu, mama dan papaku tinggal di Yogya? Dia habis mengunjungi anak perusahaan yang ada di Kawasan Industri!”
Perlahan, akhirnya aku banyak tahu tentang Andien. Pikirku selama ini dia orang Makassar. Tapi entah kenapa, tetap saja ada yang mengganjal di pikiranku. Seolah Andien semakin menyembunyikan sesuatu untukku, setiap dia mengungkap cerita tentangnya.
“Itu foto waktu aku masih kelas enam SD,” ucapnya sambil mendekatiku yang sedang melihat foto keluarga yang tergantung di ruang tamu.
“Kamu anak tunggal?”
Kali ini Andien cuma mengangguk, padahal di mataku, ada yang ingin terucap di bibirnya. Saat seperti itulah aku merasa ada yang tersembunyi di balik diri Andien. Mungkin curiga aku melihat perubahan di wajahnya, dia kembali bercerita banyak tentang dirinya. Cerita yang semakin membuatku ingin tahu lebih banyak lagi tentangnya.
“Aku memang sering ingin punya saudara, tapi Mama dan Papa yang sibuk lebih mengutamakan karir. Jangankan berpikir untuk punya anak lagi, aku saja yang sudah ada seolah tak pernah terpikirkan!”
Aku menepuk bahunya. Meski tak menangis mengucap kalimat itu, kutahu ada yang tergores di balik dadanya. Menyesal juga, aku terlalu ingin tahu tentangnya.
Giliranku untuk bercerita. Memberinya semangat, memintanya bersyukur dengan keadaannya sekarang. Aku pun heran, aku tiba-tiba seperti orangtua yang menasihati anaknya, saat memintanya membuka mata jika dia masih lebih baik ditelantarkan dalam kemewahan. Ada bahkan banyak orangtua yang menelantarkan anaknya di jalanan karena memang tak punya materi untuk menyayangi mereka, atau mungkin juga memang tak ada kasih sayang. Semua harus disyukuri!
Andien menangis di pelukanku. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berarti buat Andien. Selama ini dia selalu merasa tak butuh bantuan. Segalanya bisa diatasi sendiri. Tapi kini tangis yang disimpannya sendiri selama ini, kini dibagi untukku.
***
Seharian di mal membuatku memilih istirahat di kafe lantai dasar. Baru saja kurapatkan duduk, suara anak kecil yang kira-kira masih di bangku SD, menggelitikku untuk balik ke meja yang ada di sampingku. Sejenak mataku terpaku di meja yang dikelilingi oleh beberapa orang, termasuk anak kecil yang merengek dan memanggil papa pada lelaki yang duduk di sampingnya.
Aku tak mungkin salah lihat, meski wajahnya hanya kusaksikan di foto, aku yakin lelaki itu papa Andien. Lalu anak kecil itu, juga wanita yang dipanggilnya mama? Aku mengerutkan kening, wanita itu bukan mama Andien yang kulihat kemarin.
Aku cepat keluar sebelum memesan apa-apa di pramusaji kafe. Andien harus tahu jika papanya punya wanita simpanan. Bukan sibuk kerja seperti alasannya selama ini. Pulsaku yang habis semalam dan belum sempat kuisi ulang memaksaku mencari wartel.
Selangkah sebelum masuk wartel, mataku mendapatkan pemandangan yang semakin ‘mengerikan’. Ini pasti mimpi buruk buat Andien. Mamanya sedang berpegang pada lengan seorang lelaki seusianya. Tak hanya itu, juga seorang anak kecil berada di antara mereka. Bahkan sedang melangkah menuju kafe yang tadi ditempati papa Andien dan keluarga simpanannya.
Beginikah kesibukan mereka selama ini? Tapi kenapa harus di sini, bukankah menurut pengakuan Andien, mama dan papanya tinggal di Yogya?
Andien harus tahu, aku tak boleh membiarkan dia dibohongi terus oleh orangtuanya. Tak peduli itu melukakan buat Andien, aku tak ingin menyimpan kenyataan ini sebagai rahasia.
“Ririn!”
Belum sempat aku berbalik memenuhi panggilan itu, lenganku telah ditarik menjauh.
“Andien?”
“Kamu sudah lihat semuanya, kan? Kuharap kamu jangan bercerita pada siapa pun di sekolah. Aku malu!”
Andien tertunduk menahan tangis karena sadar jika dia sedang di tengah keramaian mal.
“Aku bukan orang Yogya! Rumah yang kutempati bukan rumah kontrakan, Ririn. Rumah itu diwariskan untukku sejak lulus SD. Diwariskan karena mama dan papa memilih cerai.”
Kutarik lengan Andien, tangisnya semakin tak bisa ditahan. Lebih tak bisa ditahannnya lagi, beban yang kini menghimpit dadanya. Saat merapatkan duduk di jok mobilku, dia langsung melanjutkan ceritanya di antara isak.
Aku seperti kehilangan konsentrasi menyetir saat mendengar semuanya. Tentang Andien yang tiap hari Minggu ke mal mencari mama dan papanya. Dia tahu sekali jika mama dan papanya sengaja ke kafe tadi, untuk saling membuktikan bahwa mama maupun papanya bisa bahagia dengan keluarga barunya.
Andien hanya bisa melihat wajah mama dan papanya dari jauh. Bersebelahan meja tanpa tegur sapa! Ya, hanya untuk memanas-manasi, saling membuktikan kebahagiaan mereka! Dan tentu saja Andien tak boleh mendekat, karena keluarga mamanya, juga keluarga papanya tak pernah mengharapkan kehadirannya.
Hanya sebulan tinggal bersama mama tirinya, papa memintanya pulang ke rumah karena selalu menjadi penyebab pertengkaran dengan isteri barunya. Mamanya lebih parah, bukannya mengajak bergabung, malah menghadiahinya rumah warisan asal tak ikut dengannya, karena suami barunya tak ingin ada Andien dalam rumah.
Semua mencari kebahagiaan sendiri sejak Andien masih kelas satu SLTP. Andien harus sendiri! Sendiri menentukan hidup, sendiri mencari bahagia. Termasuk mengintip kebahagaiaan keluarga mama dan papanya yang baru. Karena melihat mama dan papanya, dari jauh pun, adalah kebahagiaan tersendiri buat Andien.
“Semua kusimpan sendiri, Ririn! Bahkan mencari pembantu pun di rumah aku nggak mau karena nggak ingin ada yang tahu rahasia ini. Sekarang kamu terlanjur tahu. Simpan rahasia itu demi aku, Ririn! Kumohon!”
Aku tak tega membiarkannya memelas seperti itu di depanku. Aku berjanji akan tetap menjadi Ririn yang dulu. Sahabat yang tak pernah tahu apa pun tentang Andien. Akan kubiarkan dia menyimpan rahasia itu untuknya tanpa pernah menyingkapnya. Tapi tangisnya, takkan kuijinkan dia menyimpannya sendiri.
***


lanjutan cerita......

Market Day


MARKET DAY
Oleh: S. Gegge Mappangewa
18 April 2009. Sekolah tempatku mengajar menggelar acara Market Day. Siswa membawa barang jualan dari rumah, kemudian digelar di bawah tenda biru yang dipasang di lapangan depan sekolah. Ramai sekali. Sepertinya mereka semua berbakat jadi pedagang!
Di tengah suasana Market Day, saya teringat pasar di kampungku, pasar Bilokka namanya. Karena kampung, tentulah pasar tak bisa buka tiap hari. Lalu muncullah istilah esso pasa atau market day. Hari pasar di kampungku adalah Senin, Rabu, Jumat. Sebagai pasar kecamatan, tentu saja pasar inilah yang paling ramai di antara pasar desa lainnya.


Dan ada hal yang tak akan pernah bisa kulupakan jika teringat dengan hari pasar di kampungku. Dulu, setiap pulang sekolah di hari Senin, Selasa dan Rabu, saya selalu didera penasaran sepanjang perjalanan. Mencoba menebak, apa menu makan siang hari ini? Paserre bale janggo’ (ikan janggo’ bakar) atau hanya tunu bale rakko (ikan asin bakar)? Kalau sayurnya, tak usah ditebak. Ibu tak pernah beli sayur-sayuran di pasar. Ibu selalu memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami sayur-sayuran, jadi saya selalu bisa menikmati sayur hijau bening setiap harinya. Saking melimpahnya sayur, jenis sayur setiap sarapan, makan siang, dan makan malam, selalu berganti. Meski tidak berganti jenis tapi ibu selalu menghidangkan sayur hangat yang baru diangkat dari atas tungku perapian. Bukan dihangatkan, Tapi benar-benar hangat karena baru dimasak.
Back to esso pasa. Karena hari pasar hanya tiga kali sepekan, tentulah untuk menikmati menu ikan segar hanya di hari pasar. Apalagi saat itu di rumah panggung kami belum ada kulkas, bisa dipastikan di hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Ahad, ibu akan menghiasi nampang bundarnya dengan ikan asin atau bahkan hanya telor dadar penghasil protein satu-satunya.
Itu kenangan tentang hari pasar saat masih sekolah dulu. Sekarang…? Masih seperti itu. Hari pasar di kampungku masih tiga kali sepekan. Tapi tentu saja perjalanan pulang sekolahku tak lagi didera penasaran, bukan semata karena saya tidak berstatus pelajar lagi, tapi karena saya tak lagi tinggal di kampung. Bukan berarti tak ada lagi kenangan yang bisa kusimpan di memoriku tentang hari pasar. Banyak sekali! Setiap pulang kampung, saya masih selalu didera penasaran. Mencoba menebak menu apa yang akan dihidangkan ibu untukku? Meski ibu telah punya kulkas yang bisa dijadikan gudang untuk ‘menimbun’ sembako’ segar (terutama ikan), saya masih lebih senang dengan menu di hari H pasar. Ikannya segar sekali! Dan ibu tahu sekali jika saya senang sekali dengan ikan mujair. Setiap dia tahu saya akan pulang menemuinya, bisa dipastikan menunya adalah ikan mujair.
Biasanya, di hari H pasar, pagi-pagi sepulang pasar dia akan membakar ikan mujair! Dia memilihkan yang paling besar untukku. Lebarnya biasa sampai delapan jari orang dewasa. Dilepas sisiknya, kemudian bagian tubuh ikan diiris agar bumbunya meresap. Setelah matang, ibu membumbuinya dengan ulekan cabe, tomat campur kemiri atau kacang…. Hmmmm menu yang disebut paserre’ bale ini membuatku biasa lupa dengan siapa pun. Bahkan ayah yang belum pulang dari sawah biasa tak kusimpankan. Satu ekor utuh untukku! Yang tersisa tinggal tulang. Bahkan, insangnya pun kadang tak bisa lari menghindar dariku. Biar nggak kekenyangan, makan nasinya kukurangi.
Siangnya makan apa ya? Tentu saja ibu tahu kalau setiap pulag kampung, saya paling lama dua hari, jadi siangnya masih menghidangkan ikan mujair untukku. Tapi bukan paserre bale lagi. Kali ini saya akan ‘berhadap-hadapan’ dengan ikan masak. Masih dengan mujair berukuran all size. Saking besarnya kuah ikan masak ibu biasa berminyak. Karena ikan air tawar, jangan harap akan ada bau amis. Saat memasak ikan air tawar ibu menggunakan asam mangga, kalau untuk ikan laut dia menggunakan asam jawa. Kedua asam ini, ibu tak pernah beli. Setiap musim mangga, mangga kecil yang biasanya jatuh sebelum berbiji, ibu pungut kemudian dijadikan asam. Kalau asam jawa, kebetulan tak jauh dari rumah ada pohon asam yang selalu berbuah lebat.
Biasanya, kalau menunya ikan masak, ibu biasa mendampingkannya dengan ronto’, sejenis udang kecil yang masih mentah yang biasa dibuat ebi. Saking segarnya ronto’ nya biasa masih lompat-lompat di mangkok lauk di antara bumbu sambel yang dicampurkannya. Di restoran manapun, tak akan pernah mendapatkan menu seperti ini. Dan tentu saja kenikmatan seperti itu hanya bisa kudapatkan di meja makanku.
Sayurnya? Masih seperti dulu! Kalau bukan dapat di pematang sawah, ibu memetiknya dari halaman rumah yang selalu ditanaminya terong, pare, dan lain-lain. Biasanya, karena tak mau kekenyangan, bukan hanya nasinya yang kukurangi, makan sayurnya pun saya batasi. Nanti sejam setelah makan, baru saya mengambil semangkok sayur lalu memakannya seperti makan sup.
Ingat menu hidangan ibu, saya terkenang dengan sahabat-sahabat saya yang pernah mampir di rumah. Mereka semua ketagihan dengan menu ikan bakar ibu. Itu kalau mereka datang di hari pasar. Kalau nggak, ayah akan mengusulkan ayam kampungnya yang ada di kandang di bawah rumah panggung kami. Karena bagi ibu dan ayah, tamu adalah pembawa rejeki. Harus diistimewakan.
Saat mau kembali ke Makassar, kalau bukan hari pasar, pagi-pagi sekali ibu menyuruhku ke pasar kecamatan sebelah. Tentu saja untuk mencari ikan mujair. Dan ikan mujair itu akan dia pepes. Dibakar tanpa bersentuhan langsung dengan api, tanpa disisiki. Menu seperti ini namanya tapa bale. Biasanya bertahan lama karena tidak langsung diberi bumbu atau sambal. Biar nikmatnya tak berkurang, ibu tetap membuatkan sambal untukku kemudian dia bungkus dengan daun. Tiba di Makassar, buah tangan ibu akan menjadi santapan lezat. Warung dan restoran lainnya…? Nggak dapatt!!!
22 April 2009, SD Mulia Bakti, menunggu siswaku selesai Olimpiade Sains

lanjutan cerita......

BERAWAL DAN BERAKHIR DI MEJA MAKAN


BERAWAL DARI MEJA MAKAN
Oleh: S. Gegge Mapangewa
Jakarta, 17 Maret 2009. Bis bandara mengantarku ke terminal Lebak Bulus sekaligus mengantaku menelusuri sebuah lorong di hatiku. Lorong sunyi masa lalu. Lorong yang menyimpan memori saat enam tahun yang lalu saya menginjakkan kaki di ibukota ini. “Jakarta, I’m coming again!” Sebuah suara menggema di lorong sunyi itu.

Tak ada yang istimewa di bis ini. Meski David Chalik, sang bintang sinetron, hadir satu bis denganku. Dia boleh jadi tokoh utama di sinetron, tapi kali ini nasibku lebih mujur daripada dirinya yang berdiri di depanku karena tak mendapat tempat duduk.
***
Tiba di lokasi training menjelang maghrib. Penat. Lelah. Registrasi secepatnya lalu masuk kamar. Saya ingin sekali isitirahat tapi tentu saja itu tak mungkin, teman sekamar harus kusapa. Sekamar dengan peserta dari Maluku Utara dan Kalimantan Selatan.
Saatnya bergabung dengan peserta lain. Dari meja makan ini kisah berawal. Setelah dipertemukan dengan teman sekamar, kali ini dipertemukan dengan teman semeja makan. Jabat tangan sebut nama. Soleh dari Banten. Barma dari Lampung. Munawar dari Sulbar. Dan saya, Gegge dari Sulsel. Dan siapa sangka, breakfast, lunch dan dinner berikutnya, kami selalu saling mencari untuk satu meja makan. Bahkan untuk menerima materi pun, sering duduk bersebelahan. Hingga perpisahan itu datang merenggut kisah yang sering kami bagi di meja makan.
Soleh dan Munawar yang sudah beranak pinak selalu memberi motivasi menikah. Barma yang pelantun nasyid ternyata sebelumnya adalah penyanyi elekton yang biasa manggung di tempat terbuka. Dan saya yang ketahuan sebagai penulis, selalu dimintai ‘materi kepenulisan’ saat ngumpul. Saya dan Barma selalu jadi bulan-bulanan sindiran karena belum menikah. Bahkan beberapa nama sempat disebutkan untukku segampang itukah memiliih pasangan hidup?
***
Hari terakhir. 21 Maret 2009. Kami satu meja makan lagi. Saya membagikan novel terbaruku (Cupiderman 3G) untuk mereka bertiga. Ternyata keakraban yang berawal di meja makan itu akhirnya berakhir juga di meja makan. Saya, dan kuyakin juga mereka menyimpan rindu di hati masing-masing. Kesibukan membuat kami tak bisa mencurahkan rindu meski hanya sekadar smsan.
Semoga ada meja makan yang akan mempertemukan kami kembali. Amin! Ya, selain kami berempat, peserta dari semua propinsi itu kini terikat dalam ikatan GEMPITA (Generasi Muda Pembina Insan Berprestasi). Sebuah amanah yang tak ringan tapi insya Allah imbalannya juga tak ringan! Allahu Akbar!!!***(Kenangan Training Of Trainer Kebijakan Kepemudaan dalam rangka Penanggulangan Faktor Destruktif)






lanjutan cerita......