28.4.09

Market Day


MARKET DAY
Oleh: S. Gegge Mappangewa
18 April 2009. Sekolah tempatku mengajar menggelar acara Market Day. Siswa membawa barang jualan dari rumah, kemudian digelar di bawah tenda biru yang dipasang di lapangan depan sekolah. Ramai sekali. Sepertinya mereka semua berbakat jadi pedagang!
Di tengah suasana Market Day, saya teringat pasar di kampungku, pasar Bilokka namanya. Karena kampung, tentulah pasar tak bisa buka tiap hari. Lalu muncullah istilah esso pasa atau market day. Hari pasar di kampungku adalah Senin, Rabu, Jumat. Sebagai pasar kecamatan, tentu saja pasar inilah yang paling ramai di antara pasar desa lainnya.


Dan ada hal yang tak akan pernah bisa kulupakan jika teringat dengan hari pasar di kampungku. Dulu, setiap pulang sekolah di hari Senin, Selasa dan Rabu, saya selalu didera penasaran sepanjang perjalanan. Mencoba menebak, apa menu makan siang hari ini? Paserre bale janggo’ (ikan janggo’ bakar) atau hanya tunu bale rakko (ikan asin bakar)? Kalau sayurnya, tak usah ditebak. Ibu tak pernah beli sayur-sayuran di pasar. Ibu selalu memanfaatkan pematang sawah untuk ditanami sayur-sayuran, jadi saya selalu bisa menikmati sayur hijau bening setiap harinya. Saking melimpahnya sayur, jenis sayur setiap sarapan, makan siang, dan makan malam, selalu berganti. Meski tidak berganti jenis tapi ibu selalu menghidangkan sayur hangat yang baru diangkat dari atas tungku perapian. Bukan dihangatkan, Tapi benar-benar hangat karena baru dimasak.
Back to esso pasa. Karena hari pasar hanya tiga kali sepekan, tentulah untuk menikmati menu ikan segar hanya di hari pasar. Apalagi saat itu di rumah panggung kami belum ada kulkas, bisa dipastikan di hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Ahad, ibu akan menghiasi nampang bundarnya dengan ikan asin atau bahkan hanya telor dadar penghasil protein satu-satunya.
Itu kenangan tentang hari pasar saat masih sekolah dulu. Sekarang…? Masih seperti itu. Hari pasar di kampungku masih tiga kali sepekan. Tapi tentu saja perjalanan pulang sekolahku tak lagi didera penasaran, bukan semata karena saya tidak berstatus pelajar lagi, tapi karena saya tak lagi tinggal di kampung. Bukan berarti tak ada lagi kenangan yang bisa kusimpan di memoriku tentang hari pasar. Banyak sekali! Setiap pulang kampung, saya masih selalu didera penasaran. Mencoba menebak menu apa yang akan dihidangkan ibu untukku? Meski ibu telah punya kulkas yang bisa dijadikan gudang untuk ‘menimbun’ sembako’ segar (terutama ikan), saya masih lebih senang dengan menu di hari H pasar. Ikannya segar sekali! Dan ibu tahu sekali jika saya senang sekali dengan ikan mujair. Setiap dia tahu saya akan pulang menemuinya, bisa dipastikan menunya adalah ikan mujair.
Biasanya, di hari H pasar, pagi-pagi sepulang pasar dia akan membakar ikan mujair! Dia memilihkan yang paling besar untukku. Lebarnya biasa sampai delapan jari orang dewasa. Dilepas sisiknya, kemudian bagian tubuh ikan diiris agar bumbunya meresap. Setelah matang, ibu membumbuinya dengan ulekan cabe, tomat campur kemiri atau kacang…. Hmmmm menu yang disebut paserre’ bale ini membuatku biasa lupa dengan siapa pun. Bahkan ayah yang belum pulang dari sawah biasa tak kusimpankan. Satu ekor utuh untukku! Yang tersisa tinggal tulang. Bahkan, insangnya pun kadang tak bisa lari menghindar dariku. Biar nggak kekenyangan, makan nasinya kukurangi.
Siangnya makan apa ya? Tentu saja ibu tahu kalau setiap pulag kampung, saya paling lama dua hari, jadi siangnya masih menghidangkan ikan mujair untukku. Tapi bukan paserre bale lagi. Kali ini saya akan ‘berhadap-hadapan’ dengan ikan masak. Masih dengan mujair berukuran all size. Saking besarnya kuah ikan masak ibu biasa berminyak. Karena ikan air tawar, jangan harap akan ada bau amis. Saat memasak ikan air tawar ibu menggunakan asam mangga, kalau untuk ikan laut dia menggunakan asam jawa. Kedua asam ini, ibu tak pernah beli. Setiap musim mangga, mangga kecil yang biasanya jatuh sebelum berbiji, ibu pungut kemudian dijadikan asam. Kalau asam jawa, kebetulan tak jauh dari rumah ada pohon asam yang selalu berbuah lebat.
Biasanya, kalau menunya ikan masak, ibu biasa mendampingkannya dengan ronto’, sejenis udang kecil yang masih mentah yang biasa dibuat ebi. Saking segarnya ronto’ nya biasa masih lompat-lompat di mangkok lauk di antara bumbu sambel yang dicampurkannya. Di restoran manapun, tak akan pernah mendapatkan menu seperti ini. Dan tentu saja kenikmatan seperti itu hanya bisa kudapatkan di meja makanku.
Sayurnya? Masih seperti dulu! Kalau bukan dapat di pematang sawah, ibu memetiknya dari halaman rumah yang selalu ditanaminya terong, pare, dan lain-lain. Biasanya, karena tak mau kekenyangan, bukan hanya nasinya yang kukurangi, makan sayurnya pun saya batasi. Nanti sejam setelah makan, baru saya mengambil semangkok sayur lalu memakannya seperti makan sup.
Ingat menu hidangan ibu, saya terkenang dengan sahabat-sahabat saya yang pernah mampir di rumah. Mereka semua ketagihan dengan menu ikan bakar ibu. Itu kalau mereka datang di hari pasar. Kalau nggak, ayah akan mengusulkan ayam kampungnya yang ada di kandang di bawah rumah panggung kami. Karena bagi ibu dan ayah, tamu adalah pembawa rejeki. Harus diistimewakan.
Saat mau kembali ke Makassar, kalau bukan hari pasar, pagi-pagi sekali ibu menyuruhku ke pasar kecamatan sebelah. Tentu saja untuk mencari ikan mujair. Dan ikan mujair itu akan dia pepes. Dibakar tanpa bersentuhan langsung dengan api, tanpa disisiki. Menu seperti ini namanya tapa bale. Biasanya bertahan lama karena tidak langsung diberi bumbu atau sambal. Biar nikmatnya tak berkurang, ibu tetap membuatkan sambal untukku kemudian dia bungkus dengan daun. Tiba di Makassar, buah tangan ibu akan menjadi santapan lezat. Warung dan restoran lainnya…? Nggak dapatt!!!
22 April 2009, SD Mulia Bakti, menunggu siswaku selesai Olimpiade Sains

1 komentar:

Anonim mengatakan...

iya saya ingat, pasar bilokka cuma hari senin, rabu, dan sabtu. kalau saya selalu pesan roti panguttu :D