5.4.09

Sekolah Kundang (Cerpen Pemenang I Lomba Menulis cerpen Majalah Annida 2008)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.

TATAPANNYA melarangku pergi. Biasnya jauh berbeda dengan tatapannya dua bulan lalu, saat aku berdiri di depan kelasnya yang berdindingkan papan lapuk, untuk memperkenalkan diri sebagai guru baru. Beberapa bangku dan meja hampir senasib dengan dindingnya. Sebagian tripleks papan tulisnya pun telah terkelupas. Untung ada gambar Sultan Hasanuddin dan Cut Nyak Dien yang menghiasi dinding, hingga kelas itu sedikit berbeda dengan gudang. Pemandangan itu akan kutinggal kini.
”Jangan pergi, Kak!” Bukan hanya tatapan. Kini hatinya kudengar merintih. Meski bibirnya takkan pernah sanggup mengucapkan kalimat itu untukku.
Di luar rumah mulai ramai. Murid-muridku yang tak lebih dari tiga puluh orang dari tiga kelas yang tersedia di sekolahnya, seolah tak ingin kehilangan kesempatan untuk melepas kepergianku. Kuraih jas almamater, lalu keluar menemuinya. Rustan, yang tatapan dan lirih hatinya dari tadi melarangku untuk pergi, mengikuti langkahku dari belakang.
”Kak Galang...!” teriak mereka dari depan tangga rumah panggung.
Aku berdiri di puncak tangga. Bukan hanya murid-muridku yang datang, tapi juga orangtuanya, beserta oleh-oleh untukku. Bawang merah, kol, kentang, wortel, dan banyak lagi jenis sayuran lain. Telah berdiri satu karung penuh isi, masih tersisa beberapa sayuran lagi yang belum masuk dalam karung. Kutatap satu per satu. Dua puluh tujuh orang. Semua hadir untuk melepas kepergianku.
”Kak Galang, jangan lupakan kami ya!” Rustan berucap dari belakangku.
Mereka memang memanggil kakak padaku. Aku tak mengajarnya memanggil pak guru. Aku ingin memasuki hati mereka tanpa ada batas. Ada kasihan yang mendarahkan perasaanku saat pertama menemukan mereka di kelas yang gaduh karena tak ada guru. Di sebuah dusun terpencil. Di antara perkebunan kopi dan ladang bawang. Di antara harapan mereka untuk menjadi manusia seutuhnya.
Awalnya aku bergidik membayangkan saat harus ditugaskan di sana. Di sebuah SD Kecil. Kecil karena muridnya hanya kelas satu hingga kelas tiga. Setelah naik kelas empat mereka akan dipindahkan ke satu-satunya sekolah negeri yang ada di Tongko, desa induk. Sekolah ini dibangun karena anak kelas satu hingga kelas tiga masih terlalu kecil untuk menenteng tas menyelusuri bukit, menyeberangi sungai, berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah satu-satunya yang ada di Tongko. Kalimbua nama dusun ini. Aku rela berpisah dengan teman KKN yang berposko di Tongko setelah mendengar cerita kepala desa tentang SD Kecil yang lebih banyak belajar bermain. Bukan metode active learning, tapi bermain sendiri tanpa guru.
Mungkin inilah yang disebut panggilan jiwa. Selain rela berpisah dengan teman-teman posko, tentu saja aku rela jadi guru tanpa bayaran. Padahal di Makassar, di tempatku mengajar, aku hanya berpredikat guru freelance karena masih harus sibuk dengan kuliah, tapi saat datang mengajukan lamaran sebagai guru Writing Process, aku tak segan-segan menyebut angka gaji yang kuinginkan. Pikirku, semua harus dibeli. Meskipun aku bukan mahasiswa kependidikan yang berbekal ilmu keguruan, tapi pengalamanku sebagai penulis yang harus dibayar.
Sekali lagi, mungkin karena ini panggilan jiwa. Ada kebesaran jiwa dan kesabaran hati saat menghadapi murid-muridku di SD Kecil, yang tentu saja cerdasnya jauh tertinggal dibanding dengan murid-muridku di SD swasta tempatku mengajar di Makassar. Dalam dua bulan, seingatku aku tak pernah jengkel apalagi sampai marah dan memberi hukuman fisik. Tapi di Makassar, hampir tiap hari bahkan mungkin aku sudah marah memang sebelum masuk kelas. Kalaupun aku tak pernah memberi hukuman fisik, itu karena perlakuan orangtua murid yang terkadang anaknya hanya dipelototi karena kesalahannya, sudah komplain ke sekolah.
Perbedaan yang sangat jauh. Di kota, orangtua menyambut anaknya pulang sekolah tidak dengan pertanyaan, ”Belajar apa tadi di sekolah, Nak?” tapi ”Guru siapa yang tadi menghukummu, Nak?” Sementara di kampung, orangtua murid yang datang sekolah yang meminta anaknya dihukum bila tidak taat peraturan sekolah apalagi tidak mau belajar.
”Kak Galang, kemarin saya demam. Nggak masuk sekolah. Padahal kemarin belajar bilangan ganjil dan genap. Saya tertinggal dong!” ucap Nuraeni.
Aku menuruni tangga setelah beberapa lama membiarkan diri dengan lamunanku. Semua oleh-oleh telah dikemas dalam karung. Tiga karung setengah. Tiga karung sayur-mayur dan setengahnya adalah buah alpukat dan segala macam kopi. Biji kopi yang belum digiling tapi sudah dipanggang, kopi bubuk, bahkan ada biji kopi yang masih harus dijemur lagi karena baru dipetik kemarin. Seolah tak ada yang tak mau memberiku oleh-oleh, tanpa pernah berpikir kalau aku tak tahu bagaimana menjemur kopi, apalagi mengelolanya hingga menjadi kopi bubuk.
”Sangat mudah membedakan bilangan ganjil dan genap,” tatapannya sangat senang menerima pelajaran tambahan itu.
Aku lalu memberi privat pada Nuraeni. Menyuruhnya menghitung dengan sepuluh jari tangan. Hitungan pertama dengan telunjuk kanan, hitungan kedua pindah ke telunjuk kiri, lalu jari tengah kanan di hitungan ketiga, begitu seterusnya hingga berakhir di ibu jari kiri di hitungan kesepuluh.
”Sekarang menghitung sampai tujuh dengan cara seperti tadi!”
Nuraeni dengan cepat menghitung sambil menaikkan jari kanan dan jari kiri secara bergantian. Tepat di hitungan ketujuh, tangan kanannya menampilkan empat jari kecuali ibu jari, dan tangan kirinya dengan tiga jari.
”Sekarang pasangkan jari-jari yang kanan dengan yang kiri!”
”Jari kelingking kanan nggak ada pasangannya, Kak!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan jari kelingkingnya.
”Itu berarti angka tujuh adalah bilangan ganjil, karena salah satu jari kamu nggak punya pasangan. Kalo semua jari punya pasangan, berarti itu bilangan genap.”
”Tapi jari saya cuma sepuluh. Kalo angkanya 38, gimana?”
”Ambil angka yang terakhir, yaitu delapan!”
Dia kemudian menghitung dengan metode seperti yang kuajarkan. Saat tiba di hitungan kedelapan, di mana tangan kanan dan tangan kirinya menampilkan masing-masing empat jari, kecuali ibu jari, dia memasangkan jari-jari tersebut.
”Semua ada pasangannya. Berarti 38 itu bilangan genap!” ucapnya.
Dalam lima menit, Nuraeni telah bisa membedakan bilangan ganjil dan bilangan genap. Cara seperti itu sebenarnya tak pernah kudapatkan di bangku sekolah, tapi dulu diajarkan oleh mama saat menemaniku belajar. Mama memang cerdas, selalu mencari cara cepat saat mengajarku di rumah. Padahal mama bukanlah guru, tapi tentu saja tetaplah pendidik bagi aku, anaknya.
”Sudah pukul sebelas!” ucap salah seorang dari orangtua murid.
Aku terjaga. Hari ini aku sudah harus di Tongko sebelum ashar, karena penutupan sekaligus pelepasan mahasiswa KKN akan dilaksanakan ba’da ashar di kecamatan. Intania, murid kelas satu yang selalu terlambat datang ke sekolah karena rumahnya yang jauh dari sekolah, sudah memperlihatkan kelopak mata yang penuh dengan air mata. Tapi belum menangis.
”Kalo Kak Galang mau tinggal di sini, saya nggak akan terlambat lagi ke sekolah. Saya janji akan berangkat subuh-subuh ke sekolah.”
Kantong air mata yang dari tadi dipertahankan keutuhannya, bocor kini. Rupanya masih ada bagian dari negeri ini, di mana ilmu masih sangat langka, yang untuk mendapatkannya haruslah mengemis, menangis, seperti yang dilakukan Intania untukku. Padahal Kalimbua bukanlah suku terpinggirkan. Hanya butuh perjalanan lima jam untuk tiba di desa induk. Dan dari desa induk, hanya butuh dua jam untuk tiba di kota kecamatan. Pasar-pasar di Makassar, hampir semuanya mensuplai sayuran dari sini untuk kemudian dijual, bahkan pasarannya hingga ke Kalimantan. Tak cukup sepuluh kilometer dari kota kecamatan, berdiri gapura batas kabupaten, yang bertuliskan ”Selamat Datang Di Tana Toraja” daerah wisata yang terkenal hingga ke mancanegara. Tapi SD Kecil Kalimbua tak pernah dilirik.
Akan kuceritakan pada siapa pun bahwa kebanggaan yang paling luar biasa bagi seseorang adalah saat dia begitu berarti bagi orang lain. Tapi kenapa SD Kecil ini sering ditinggalkan oleh gurunya? Akhh, aku lupa suatu hal. SD Kecil ini berdiri atas swadaya masyarakat, karena keprihatinan mereka pada anaknya yang masih kecil yang tidak memungkinkan untuk pergi sekolah dengan jalan kaki.
Akhirnya niat masyarakat itu dijembatani oleh seorang guru yang kemudian mengaku sebagai pemrakarsa berdirinya SD Kecil. Saat yang tepat, karena guru tersebut memang hanya mencari popularitas untuk kemudian diprioritaskan dalam kenaikan pangkat. Pihak Diknas, menangkap itu sebagai ide cemerlang. Tapi setelah SD Kecil terbentuk, tak seperti yang diprogramkan. Tiga guru yang bertugas di sana tak ada yang betah. Tentu saja dengan alasan daerahnya yang terisolasi. Toh gaji diterima setiap awal bulan, meski mengajarnya hanya terkadang akhir bulan sampai awal bulan.
”Saatnya Kak Galang untuk berangkat!”
Aku tahu kalimatku tidak diinginkan. Semua mematung. Sementara kabut tebal yang selalu menyelimuti Kalimbua, mulai menipis pertanda pagi telah beranjak. Di dusun ini, matahari memang terkadang tak muncul berhari-hari. Hanya kabut yang setia membawa dingin. Iklim dingin seperti itu yang membuat daerah ini kaya akan sayur-sayuran. Aku memberanikan diri melangkah saat semua mematung menatapku.
”Harusnya Kak Galang tak pernah ada bersama kami.” Nuraeni mengucapkan itu dengan tangis. Dia melepaskan ayam yang terikat kakinya, yang digendongnya dari tadi, lalu berlari menumpahkan tangis di pelukan ayahnya.
Ternyata perpisahan ini terlalu melukakan baginya, hingga berpikir aku lebih baik tak pernah ada di kehidupannya daripada harus datang sesaat lalu pergi.
Kulirik jam di pergelanganku. Melihat kegelisahan itu, Rustan yang dari tadi berdiri di sampingku berlari naik ke rumah. Dia kemudian datang membawakan careel-ku. Rustan memang paling dekat dengan saya selama ini, karena selama dua bulan aku menginap di rumahnya. Mungkin karena hampir tiap malam mendengar cerita tentang kuliah dan pekerjaanku sebagai guru freelance hingga dia sangat sadar bahwa aku memang harus pergi.
”Oleh-olehnya gimana?” ucapku saat careel telah memeluk punggungku dari belakang. Ucapan yang sangat terbata, takut semakin melukai perasaan mereka. Tapi bagaimana mungkin aku membawa oleh-oleh sebanyak tiga karung setengah sementara untuk berjalan kaki tanpa beban pun menuju Tongko sangatlah berat.
”Ambil oleh-olehnya masing-masing!” perintah Rustan.
Anak ini punya bakat jadi pemimpin. Padahal dia baru kelas dua, tapi mampu membuat teman-temannya menatapnya sebagai murid paling dewasa di sekolahnya. Aku belum mengerti apa yang akan mereka lakukan. Semua isi karung itu dikeluarkan dan mereka memegang oleh-olehnya masing-masing.
”Kita antar Kak Galang sampai ke Tongko!” perintah Rustan.
”Horeee...!”
Kesedihan yang tadi membekukan, kini cair. Jadilah kami seperti rombongan karnaval. Jalan berbaris menyusuri perkebunan kopi dan ladang sayur-sayuran. Orangtua mereka ikut dari belakang, meski tak bisa ikut bernyanyi seperti yang sesekali aku lakukan bersama murid-muridku. Lima kilometer dilalui dengan tawa ceria. Berlarian. Beberapa siung bawang merah berjatuhan di pematang, saat anak yang membawanya tergelincir dan jatuh.
Teman-teman posko menyambut kedatanganku dengan mata melotot. Dia tak pernah menyangka kepergianku dilepas dengan ’karnaval’ panjang seperti itu. Tak ada lelah di mata mereka. Keceriaan tadi berganti lagi dengan kesedihan. Apalagi bis yang akan membawa kami pergi telah parkir di depan rumah kepala desa.
Di antara sedih, dibantu orangtuanya, mereka memasukkan kembali oleh-oleh itu ke dalam karung. Nuraeni menyerahkan langsung ayamnya padaku, tentu saja diiringi air mata. Teman-teman posko yang hendak usil dengan mengomentari ayam pemberian itu, jadi kelu. Isak Nuraeni pecah. Aku memeluknya. Kabut datang menyelimuti Tongko, seolah ingin menyembunyikan air mataku.
Tak hanya kabut. Tarian angin yang selama ini terkadang hanya berhembus sepoi, kini meliuk keras hingga membuat pohon-pohon yang harusnya ikut kelu dengan perpisahan ini, harus ikut menari. Tertiup angin, kabut yang menggulung dari Gunung Tongko, tercerai-berai, jatuh satu per satu setelah menipis seperti potongan-potongan kecil benang putih. Tipis. Menyerupai musim salju.
”Kalian harus rajin belajar, biar pintar seperti Kak Galang!”
Suaraku seolah tak terdengar. Aku sadar telah menangis. Mereka menikmati kesedihannya dengan menatapku tiada lepas. Satu per satu mereka datang mencium tanganku, memelukku hingga bahuku basah air mata.
”Kak Galang suatu saat akan kembali ke sini kan?” ucap Rustan. Satu-satunya murid yang mampu berucap saat memelukku. Yang lain hanya diam. Kerongkongan mereka hanya mampu mengeluarkan suara tangis yang kadang tertahan, membuat tangis itu terdengar semakin melukakan.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya hingga bis membunyikan klakson. Kulepas jas almamaterku, lalu kupasangkan di tubuh kecil Rustan. Meski dia sangat bahagia dengan pemberian itu, air matanya tetap saja datang mewakili sisi hatinya yang terluka.
Wajah mereka benar-benar hampa akan harapan saat aku melangkah menaiki bis. Mereka masih terlalu kecil untuk merasakan perihnya patah hati. Aku yakin, baginya, ini lebih dari patah hati. Setelah diberi harapan menapak masa depan, mengejar cita-cita, meraih bintang, tiba-tiba kompas yang diharapkannya harus hilang. Air mataku luruh. Lenganku bahkan tak bisa kuangkat untuk membalas lambaiannya, padahal bis sudah beranjak perlahan. Bergerak menjauh dari mereka, semakin jauh. Hingga akhirnya, hanya ruang di balik dadaku yang mampu mendengar tangis kehilangannya.
***
Acara pelepasan mahasiswa KKN di kota kecamatan, berlalu begitu saja. Suara tangis murid-muridku masih mengiang jelas. Sosoknya masih terbayang jelas.
”Kamu kenal dengan orang yang membawa kata sambutan di atas sana?” tanya Fauzi, teman posko yang kebetulan duduk berdampingan denganku.
Aku tak usah menjawab, karena kutahu itu retoris untukku. Sosok itu juga yang mewakili pak camat karena tak sempat hadir, membawa kata sambutan saat kami baru datang di wilayahnya ini dua bulan lalu.
”Dia itu alumni SD Kecil tempatmu mengabdi dua bulan.”
Aku menatap Fauzi tak percaya, tapi dia meyakinkanku dengan anggukan. Katanya, menurut cerita kepala desa, masih banyak pejabat kabupaten yang dulunya sekolah di SD Kecil itu, bahkan ada yang sudah menjadi anggota dewan. Bukan karena dulunya SD Kecil itu sekolah unggulan, tapi karena SD Kecil itu mendidik orang-orang yang berkemauan besar untuk maju.
Tapi mengapa tak ada yang kembali untuk membangunnya? Bukankah SD Kecil itu yang telah membuat mereka menjadi orang besar?
Sekolah itu telah mereka anggap sebagai ibu yang telah menelantarkannya dulu. Tak bisa memberi ASI yang cukup apalagi gizi sempurna. Dan giliran mereka sekarang untuk menelantarkan SD Kecil itu. Mungkin mereka telah merasa berhasil membalas sakit hatinya dengan ’mengutuk’ sekolah itu jadi batu, tak bisa tumbuh besar. Tapi, tanpa pernah mereka sadari, mereka juga adalah Pejabat Kundang. Guru-guru yang makan gaji dari sekolah itu, namun tak pernah mengabdi, juga adalah Guru Kundang.
Itu hanyalah sebagian kecil kedurhakaan, yang tanpa disadari telah membuat bumi ini sering murka.***


lanjutan cerita......

Cerita Pagi


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.


Oleh: S. Gegge Mappangewa

MASIH pagi. Perasaan aku baru memejamkan mata semenit, setelah bangun shalat subuh tadi. Aku bahkan tertidur dengan mukenah yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintuku telah diketuk perlahan awalnya, lalu digedor keras.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar.
Aku kenal betul suara itu. Milik Imah, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. Pagi-pagi begini mau apa, ya? Aku bahkan menutup kupingku dengan guling. Gedoran itu semakin tak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Imah, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru.
Terpaksa aku bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen, semalam tidurku agak larut malam karena PR Fisika-ku yang tumben tak bisa kuselesaikan cepat.
“Selamat pagi,” ributnya setelah kubukakan pintu kamar. “Aku dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, aku masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis.
Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apapun! Aku cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuhku di tempat tidur.
“Pemirsa, aku udah berhasil masuk ke kamar Lely. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,”
“Nggak lucu!” ketusku sambil menutup telinga dengan guling.
Imah tetap beraksi. Kudengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamarku. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya, terlalu kecil untuk siswa SMA sepertiku. Meski kesal, aku kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman.
“Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Lely? Yuk, kita buka!”
Kudengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi aku belum juga menggubrisnya. Toh, tak ada barang rahasia di dalamnya.
“Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Dompetku sudah ada berada di tangannya.
“Jangan dibuka, Mah!”
“Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan sekolah, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo Si Lely ini jadi bintang pelajar tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!”
Aku tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap aku mendekat untuk mengambil dompetku.
“Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Lely bintang pelajar kita ini, fans berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompetku.
Melihat foto Denny, air mataku tiba-tiba meluruh begitu saja. Imah langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arahku dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Sori, Ly! Aku cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy kamu. Lagian, nge-fans sama Denny, menurutku hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!”
Aku menghapus air mataku. Mengambil dompetku dari tangan Imah.
“Kamu mau maafin aku kan?”
Imah tak punya salah, aku yang terlalu cengeng mungkin. Tapi aku janji, ini air mata terakhirku untuk Denny. Meski aku juga merasa punya quantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny.
“Jujur, akhir-akhir ini aku ingin dekat sama kamu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi.
Aku bisa mengerti, jika Imah ataupun teman kostku yang lain tak punya banyak waktu untuk bersamaku. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam sekolah, kuhabiskan bersama buku-buku pelajaranku. Aku tak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Aku selalu merasa lebih aman di kamar sendiri.
Untungnya sikap dinginku itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena aku tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Jadi tidak sedikit pun ada kesan sombong yang kutampakkan, dan memang aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segala-galanya, lalu menyombongkan diri.
Apalagi, alasanku cukup meyakinkan, aku harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, medali bintang pelajar tetap bisa kupertahankan.
“Ly, boleh kan aku curhat ke kamu?”
Belum juga kuiyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama-papanya, yang sedang kacau.
“Di rumah nggak ada kedamaian, Ly! Kamu mungkin nggak tahu, aku ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Aku orang Jakarta asli. Rumahku di Pondok Indah. Aku ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!”
Aku mungkin terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitarku. Tanpa kusadari, Imah butuh teman dan selama ini aku lebih akrab dengaan diriku sendiri, dengan permasalahanku sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya padaku.
Aku terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkanku bahwa semua orang punya masalah. Aku ingin meraih pundak Imah, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan namaku. Aku dapat telpon dari Denny.
“Denny siapa, Ly!”
“Denny bintang sinetron itu,” ucapku santai.
“Dia nelpon kamu?” tanyanya heran.
Aku mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku memang tak pernah cerita tentang Denny. Aku masih lebih suka menyimpannya sendiri, dan menyimpannya sebagai semangat untukku.
“Ada perlu apa Denny nelpon kamu?” tanyanya saat aku pulang dari menerima telepon.
“Dia ngajak aku buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!”
“Kalian akrab?” Imah semakin bingung.
Akrab? Aku juga bingung mau jawab apa. Haruskah aku jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Imah baru saja menceritakan masalahnya untukku, kini giliranku.
“Denny itu saudara sepupuku….”
Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.

“Tapi kok, Denny dan adiknya menelpon kamu untuk menemaninya belanja?”
“Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.”
Bukan sekali aku diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat kutemani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untukku, meskipun sebenarnya aku tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, aku terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untukku.
“Tapi kenapa kamu mau menyimpan foto Denny dalam dompetmu?”
Bukan untuk kubanggakan, bahwa aku ini sepupunya. Tapi untuk memberiku semangat. Setiap melihat fotonya, aku selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Aku tak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Aku harus mengangkat diriku sendiri! Aku yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, tidak harus dengan menjadi selebritis.
Imah manggut-manggut. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamarku. Tapi tak lama kemudian, dia datang lagi.
“Aku pamit dulu, Ly! Aku tiba-tiba rindu pada Mama dan Papaku. Aku nggak boleh lari dari masalah. Aku harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Aku bangga pada kamu, Lily. Aku mengidolakanmu!” ucapnya dalam pelukku. Menangis!
Aku ikut menangis. Mungkin aku telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untukku. Kusimpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!***


lanjutan cerita......

Kado Termahal


Oleh: S. Gegge Mappangewa
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.
Oleh: S. Gegge Mappangewa
INI bulan kedua, saya menunggu kedatangan Benny. Suratnya yang terakhir, tiga bulan lalu, bercerita tentang rencana kepulangannya dari Jepang. Untuk menemuiku. Tentu saja dengan janji memberi kado untukku.
Ada kebohongan yang kusimpan rapi, katanya. Dia selalu dihantui mimpi buruk tentangku. Lalu kenapa dia tak juga pulang hingga kini? Mungkin saja dia telah tahu, kebohongan yang memang selalu tersembunyi rapi untuknya. Saya tak pernah bisa mengungkap kebohongan itu dalam suratku, meski seribu sinyal telah diterima Benny sebagai kecurigaan.
Mengapa kamu tak pernah balas emailku, mengapa harus via surat, sebegitu sibukkah kamu hingga tak bisa menyempatkan diri ke warnet? Dan seribu tanya lagi, yang hanya bisa kujawab dengan diam. Saya tak ingin menjadi beban pikiran Benny. Saya tahu betul, bagaimana besar perhatian Benny terhadapku. Begitu pun saya padanya. Sebagai sahabat, kami memang telah menunjukkan kesetiaan masing-masing.
Untuk pertama kalinya, kudengar suara Benny terisak lewat telepon, saat dengan terpaksa saya harus mengundurkan diri untuk pertukaran pelajar ke Jepang. Saya ingin sekali melihat air matanya, tapi sungguhlah tak mungkin. Pihak kedutaan Jepang, langsung mengkarantinakan Benny, setelah menyelesaikan interview dan tes tertulisnya, saat itu.
Tes saat itu sebenarnya, cukup bergengsi. Dari ratusan peserta yang ikut tes dari awal, hanya saya dan Benny yang lolos, dan itu hanya akan dipilih satu orang.
“Saya yakin kamu yang akan berangkat, Radar!” ucapnya semalam sebelum ikut tes.
“Dengan alasan apa?”
“Kamu satu level di atasku, di kursus Bahasa Jepang. Pengenalan Kanji-mu hampir menyamai orang Jepang asli.”
“Kamu juga nggak mungkin lolos hingga seleksi akhir, jika nggak ada yang istimewa dari kamu.”
Dia terdiam. Malam itu, dia gelisah sekali. Sangat! Saya bahkan menyalakan AC kamar, karena kupikir dia sedang kepenatan. Hanya semenit AC berhembus, dia mematikannya. Gelisahnya tak juga padam. Semakin menjadi. Bahkan sesekali kulihat tatapannya, menancap ke arahku, lalu terbang liar saat tatapan itu kubalas dengan diam.
Saya bisa mengerti. Benny adalah tumpuan harapan orangtuanya. Satu-satunya! Adik-adiknya yang masih kecil, masih butuh perjalanan panjang, untuk mencapai cita-citanya. Benny sendiri pun, sebenarnya terancam tak bisa kuliah setelah lepas SMA. Papanya yang hanya Pegawai Negeri Sipil, tak bisa berbuat banyak, karena mamanya yang sakit-sakitan.
Ikut pertukaran pelajar, adalah jalan alternatif untuk mengurangi sedikit beban orangtuanya. Apalagi, jika dianggap sukses, proyek pertukaran pelajar itu, dilanjutkan dengan pemberian beasiswa, untuk melanjutkan kuliah gratis di Jepang. Tentu saja, Benny semakin menggila. Cita-citanya untuk kuliah di Teknik Mesin, sedikit menemui celah.
Tapi salahkah saya, bila datang menutup celah itu? Menjadi saingan tunggalnya di program pertukaran pelajar itu? Orangtuaku memang mampu membiayai kuliahku, tapi adalah kebanggaan tersendiri yang akan kupersembahkan sebagai anak kepada orangtuanya, jika saya berhasil ke Jepang.
Apalagi, orang-orang di sekitar telah menganggap keluarga kami, sebagai keluarga berantakan. Kak Intan yang bulan lalu masuk penjara karena terbukti sebagai pengguna dan pengedar drugs. Kak Farid yang kerjanya ikut balapan liar, mabuk dan terkadang tak pulang dalam sebulan. Di rumah, hanya ada saya. Belajar dan belajar, untuk membuktikan pada mama dan papa, bahwa masih ada saya yang bisa dia banggakan pada orang lain.
“Saya pulang dulu, Radar,” ucapnya. Masih gelisah.
“Tengah malam gini?”
Dia mengangguk. Gugup! Tatapannya masih menyapu sekilas di wajahku, saat dia menyerahkan STNK dan kunci motorku, yang tadi siang dipinjamnya.
“Motormu udah kumasukkan di garasi,” katanya sambil berlalu pergi.
“Sampai jumpa besok, di tempat tes.”
Langkahnya terhenti. Berbalik ke arahku, lalu mengangguk sekali. Ada kesan lirih dalam anggukan itu.
Sepulangnya, gelisah Benny, menular ke jiwaku. Saya tak bisa tidur. Di benakku, ada Benny yang akan tersenyum, meski harus terluka dengan kemenanganku besok. Seperti halnya Benny, saya juga merasa yakin bahwa saya-lah yang akan berangkat ke Jepang, mengikuti pertukaran pelajar itu. Dan Benny akan, tertinggal, bahkan tak bisa melanjutkan kuliah tahun depan setelah lulus SMA.
Saya harus mengalah! Itu yang akhirnya menjadi obat penenang jiwaku. Tak ada lagi gelisah. Saya masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada orang lain, juga pada mama dan papa, bahwa saya lain dari Kak Intan ataupun Kak Farid, yang hanya bisa memberi kesusahan.
Besok pagi, saya akan sengaja terlambat ke tempat tes. Saya tahu betul, etos kerja orang Jepang, yang seolah mendewakan waktu, hingga tak senang dengan orang yang tak menghargai detak jarum detik. Ini adalah keputusan. Tak boleh berubah. Bujukku pada batinku sendiri, yang masih berat untuk menerima keputusan itu.
Besok paginya. Rencana keterlambatanku, berjalan lancar. Saya bahkan tak pernah lagi melihat wajah Benny, hingga saat ini. Saya tak pernah tiba di tempat tes. Saya tiba-tiba terkurung di dunia sepi ini. Dunia sebatas langkah gelindingan ban kursi rodaku.
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.
“Radar, kenapa kamu nggak ikut tes? Kamu nggak apa-apa, kan? Panitia pertukaran pelajar, bekerjasama dengan pihak sekolahku, sepakat untuk langsung menerbangkanku ke Jakarta sekarang juga, untuk ikut pelatihan, bersama peserta dari provinsi lain.”
Kalimat Benny itu, kudengar saat saya masih terbaring di rumah sakit.
“Saya menabrak truk yang melintasi cepat dari arah berlawanan,” ucapku setegar mungkin, agar dia tak gelisah memikirkanku. ”Tapi nggak terlalu parah,” lanjutku dengan air mata yang menitik, saat seorang perawat datang membawakan kursi roda untuk tubuhku yang sebelah tungkai kakinya telah diamputasi.
Tak ada kalimat dari Benny. Bisu. Entah siapa, saya atau dia yang duluan meletakkan horn telepon. Hingga saat itu, saya kehilangan asa. Trauma. Motor yang kupakai saat kecelakaan pun, kurelakan jadi besi tua di kantor polisi.
Tapi mengapa Benny tak juga datang, hingga kini? Saya ingin melihat dia menangis melihat keadaanku. Padanya, saya akan berbagi duka tanpa ragu dia akan menertawaiku. Untuknya, saya akan persembahkan kado termahal, yakni kesediaanku untuk mengalah saat ikut seleksi pertukaran pelajar dulu. Meski akhirnya nasib buruk memaksaku untuk harus tetap tinggal di Makassar.
***
Saya mulai jenuh menunggu kedatangan Benny. Berlembar-lembar suratnya, yang bercerita tentang Negeri Sakura, telah berkali-kali kubaca. Demi sedikit mengobati rinduku yang memuncak sejak dua bulan lalu. Sejak dia berjanji akan pulang di liburan musim dingin.
“Betul ini rumah Pak Galang Wijaya?”
Saya mengangguk lemah. Polisi datang lagi ke rumah. Tetangga pasti pada mencibir lagi. Jangan-jangan Kak Farid lagi yang membuat masalah di luar, dan harus berurusan dengan polisi. Untung saja, mama dan papa, tak ada di rumah. Saya kasihan melihat mama yang seolah trauma dengan polisi. Harapanku untuk membuat dia tersenyum bangga dengan kesuksesanku, harus berakhir kecewa di atas kursi roda.
Kedua polisi itu mengamati kursi rodaku, juga kakiku yang tak sama panjang. Saya jadi tersinggung dengan tatapan itu. Tapi saya bisanya apa? Rasa tak percaya diriku, kumat lagi.
“Atau kamu putra Pak Galang yang kecelakaan beberapa bulan lalu. Radar?”
Saya mengangguk.
“Kami yang menangani masalah Adik.”
“Masalah apa? Papa telah menyelesaikan semua kewajiban mengenai peristiwa kecelakaan itu. Tentang motorku yang belum juga diambil, saya yang melarangnya…”
“Itulah masalahnya,” salah seorang dari polisi itu, langsung memotong kalimatku. “Dari penyelidikan kami, motor yang Adik pakai, sebelumnya sengaja dirusak dengan memutuskan tali rem. Peristiwa itu bukan murni kecelakaan, ada seseorang yang mendalanginya.”
Dadaku berdebar tak karuan. Bayangan Benny yang selalu hadir sebagai sahabat sejati untukku, kini hadir sebagai malaikat maut. Inikah jawaban dari gelisahnya, semalam sebelum kejadian itu? Inikah alamat dari firasat buruk yang selalu kuterka dari tatapannya? Inikah gunanya sahabat? Kesedihan menjalar bebas masuk ke relung hatiku. Ini sedih yang terdalam, luka yang terperih. Lebih dalam dan jauh lebih perih, dibanding saat pertama kutahu, sebelah tungkai kakiku telah teramputasi.
“Papa dan mama saya nggak ada di rumah,” ucapku lalu langsung berbalik dengan kursi rodaku.
Ada perih mengiris, saat mataku terhalang kabut, memandangi kursi roda yang kutumpangi. Kursi roda ini, kado termahal dari seorang sahabat bernama Benny. Kado ini takkan kulupa, diberikan padaku demi kebahagiaannya. Lebih mahal dari harga kematian.
Harga mati untuk takdirku. ***



lanjutan cerita......

Apel Merah


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Sebenarnya dia tak keberatan, lelaki kumal itu menjadikan emperan tokonya sebagai rumah, seandainya tak ada ikatan masa lalu antara mereka. Dia tak keberatan mantan suaminya itu mengetuk kembali pintu hati yang telah dibantingnya keras, andai lelaki kumal itu tak pernah menelantarkan cintanya. Sulit. Luka cinta memang selalu sulit untuk disembuhkan, teramat sulit untuk dimaafkan.
Oleh: S. Gegge Mappangewa

GERIMIS merintik. Tak terdengar tik…tik…tik…. Hanya laksana potongan benang halus yang terbang dari langit malam, hingga yang kelihatan hanya yang tersorot lampu jalanan. Pengendara motor yang sesekali masih melintas tengah malam, mempercepat laju motornya. Takut, rinai gerimis berubah menjadi hingar-mengguyur-kuyup!
Wanita setengah baya itu, sejam yang lalu mengintip dari balkon rumahnya. Bukan mengintip gerimis. Tak ada pengendara motor yang diintainya. Anak lelakinya yang biasa pulang tengah malam, pun membawa kunci sendiri dan tak perlu ditunggui.
Akhir-akhir ini dia diresahkan oleh lelaki kumal tak berbaju yang sering tidur di emperan rukonya, hingga pagi. Awalnya, anaknya yang pulang tengah malam, bercerita jika lelaki misterius itu tertidur di depan pintu masuk rukonya. Tapi tak digubrisnya. Namanya juga gelandangan! Terlalu kejam jika untuk emperan pun, dia tak mau berbagi.
Tapi saat pagi menjelang dan dia hendak membuka toko kelontongannya, lelaki itu masih tertidur tepat di depan pintu. Berbantalkan lengan, tanpa alas apa pun, lelaki itu masih tetap juga ngorok. Arus lalu lintas di depan ruko, mulai mengalir. Deru mesin, klakson, teriakan kondektur mencari penumpang, tak satu pun mengganggu tidurnya. Bukan hanya nyamuk, beberapa lalat lebih memilih bertengger di tubuhnya daripada mencari makan di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya meringkuk.
Matanya masih tajam mengawasi gelandangan itu. Pintu rukonya belum terbuka sempurna. Sebuah tahi lalat di pipi kiri lelaki itu, membuka semua file masa lalunya yang pernah dia hapus paksa. File itu ternyata masih tertahan di sebuah recycle bin. Tahi lalat di pipi kiri itu, menjadi pengungkit masa lalunya. Sakit lagi. Meski sebelumnya memang tak pernah dia rasakan bersenang-senang. Dia merakit sendiri. Merangkak, bangun dan menegarkan diri saat dia terjatuh. Hingga dia bangkit lagi seperti kini.
Sebotol air mineral jualannya, diraih lalu ditumpahkan di atas kepala gelandangan itu. Byurrr! Gelandangan yang ternyata juga tak waras itu, bangkit dan berlari dari tempatnya. Terkekeh, bicara sendiri tanpa ada yang tahu makna bicaranya. Tapi matanya, jelas menyorot tajam ke wanita yang baru saja menyiram tubuhnya.
“Pergi!”
Dia berlari kencang, saat wanita itu mengusirnya dengan suara penuh amarah.
Malam ini, wanita itu mengintipnya dari balkon. Gelandangan gila itu, mengais-ngais tempat sampah. Sisa makanan dikumpul lalu dilahapnya dengan tangan kumal. Di bawah sorot lampu jalan yang berada tepat di atasnya, lelaki itu menikmati gerimis yang tak juga reda, pun tak berubah deras. Lelaki itu terdengar seperti mengigau, sesekali.
Harapnya, lelaki itu hanya kebetulan mangkal di depan rukonya. Tapi menelusuri lembaran masa lalu, sepertinya mustahil jika itu sebuah kebetulan. Ini Makassar. Lelaki itu terakhir dilihatnya, ditinggalkan tepatnya, di Surabaya.
Dia ingin menyangkal. Membantah kata hatinya jika lelaki itu mantan suaminya, tapi bukan hanya tahi lalat, pemilik tubuh kumal dan kurus itu masih menyisakan jejak masa lalu dari tatapannya. Dia tak ingin masa lalu itu kembali padanya. Bukan karena lelaki itu telah gila dan jadi gelandangan, tapi karena lelaki itu juga pernah membuatnya mendekati gila. Baginya, itu karma. Dulu dia yang diterlantarkan dengan kehadiran istri kedua, istri simpanan, selingkuhan, dan entah wanita jenis apalagi yang dihadirkan untuk melukainya.
Untungnya dia masih punya ruko warisan orangtua, tempatnya berpulang. Hingga dia bisa menjadi single parent buat anaknya yang kini kuliah di universitas swasta.
Kemiripan anak semata wayang itu dengan papanya, sering mengingatkan dia pada suaminya. Tapi itu tak membangkitkan rindunya, ataupun menyentuh luka hatinya. Dia malah semakin ingin membuktikan pada semua orang bahwa tanpa suami, dia bisa menghidupi anaknya. Menuruti semua keinginan anaknya, mulai dari pakaian yang mengikuti trend, hingga masuk dalam komunitas pemilik Moge (Motor Gede). Satu keinginan anaknya yang tak pernah terkabul hingga kini, tentang siapa sebenarnya papanya?
Anaknya sering bertanya tentang itu, tapi jawabnya selalu air mata. Sebagai anak, tentulah dia tak ingin terus-terusan melihat mamanya menangis. Tapi sayang, dia salah mengambil langkah. Terkadang pergi pagi - pulang malam, dengan alasan banyak tugas kuliah, tapi dia menenangkan pikiran di depan botol minuman keras. Dia kecewa pada mamanya yang tak pernah memberinya jawaban tentang papanya.
Gerimis reda. Wanita itu hendak masuk, membiarkan lelaki dari masa lalunya itu, meringkuk di depan rukonya. Tapi suara motor anaknya yang pulang tengah malam, menghalangi langkahnya untuk beranjak.
Dari balkon, jelas sekali, lelaki itu menghampiri anaknya.
“Ridha, kamu jangan mau disentuh olehnya!” teriaknya dari atas balkon.
Anaknya hanya tersenyum. Untuk yang pertama kalinya dia meragukan ketulusan hati mamanya. Biasanya, mamanya yang selalu mengajarkan dia untuk tidak sombong apalagi bersikap angkuh pada siapa pun. Atau orang gila dan gelandangan adalah pengecualian? Anaknya yang tak tahu masalah, hanya menggeleng.
Wanita itu berlari dari balkon, turun untuk meleraikan anaknya dari pegangan lelaki kumal itu. Bukan takut tertulari kuman, tapi takut jika lelaki itu menjawab pertanyaan anaknya yang selama ini menjadi rahasia hidupnya.
“Masuk cepat! Kamu nggak jijik melihat dia? Kamu bisa tertular penyakit gilanya. Cepat cuci tangan yang bersih, kulihat kamu tadi menyambut uluran tangannya.”
Prakkk!
Pintu ruko tertutup keras. Lelaki kumal itu tersentak. Anaknya keheranan. Di matanya, perlakuan mamanya lebih gila dari lelaki tak waras tadi. Dia takut. Sangat takut. Anaknya akan mengenali papa yang selama ini dicarinya dalam tanya. Bertahun-tahun dia menjalani hidup sendiri, mengalihkan seluruh cinta yang dimilikinya pada putra tunggalnya. Tapi kini, lelaki yang menurutnya manusia terbejat itu, datang untuk mengacaukan suasana, setelah sebelumnya dia dengan santainya memporak-porandakan keadaan.
***
Bulan mengintip. Bintang mengintai. Tentulah malam remang. Wanita itu gamang. Ragu. Tapi dia tak ingin mengubah keputusannya. Sebuah apel merah, yang telah disuntikkan racun tikus, dibuangnya ditempat sampah. Tentu saja, bukan untuk dimakan tikus, tapi untuk lelaki yang pernah masuk dalam kehidupannya itu. Dia masih ingat, lelaki yang jadi target pembunuhannya itu, sangat suka dengan apel merah.
Pikirnya, kalaupun mati tepat di depan rukonya, orang tak akan curiga. Paling juga orang berpikir, mati karena sakit. Lagi pula, siapa yang akan mengurus dan memperdulikan orang gila seperti dia, untuk diotopsi, diselidiki kematiannya. Keluarganya? Dia takkan gila jika masih punya orang yang peduli padanya. Pemerintah? Negeri ini masih banyak urusan. Kematiannya bahkan dianggap mengurangi sedikit masalah.
Sebenarnya dia tak keberatan, lelaki kumal itu menjadikan emperan tokonya sebagai rumah, seandainya tak ada ikatan masa lalu antara mereka. Dia tak keberatan mantan suaminya itu mengetuk kembali pintu hati yang telah dibantingnya keras, andai lelaki kumal itu tak pernah menelantarkan cintanya. Sulit. Luka cinta memang selalu sulit untuk disembuhkan, teramat sulit untuk dimaafkan.
Dia merapatkan telinga di pintu rukonya saat sebuah langkah terdengar dari luar. Lelaki bejat itu, pikirnya. Saat terdengar suara seperti mengigau. Dia mulai berani menggedor pintu, pikirnya.
“Ini yang terkahir kalinya kamu menggedor pintu rumahku! Aku punya apel merah kesukaanmu dulu. Itu untukmu. Pengantar tidurmu!” lanjut batinnya, penuh benci.
“Ma, buka pintu!”
Mama? Bencinya semakin membuncah. Seperti minuman bersoda dalam kaleng, dikocok lalu dibuka tutupnya. Muncrat! Tapi dia mempertahankan bencinya untuk tidak meluncur dulu. Dia biarkan terkocok oleh suara-suara igauan lelaki dari balik pintu rukonya.
Suara igauan itu, kini reda. Berganti suara sampah kertas yang berserakan.
“A…pel me..rah…”
Wanita itu tersenyum. Senyum pengantar kematian buat lelaki yang selama ini dicintainya.
“Sedikit pahit, tapi enak!”
Dasar gila! Umpat batinnya, masih tersenyum, sambil berlalu ke tempat tidur. Dia butuh istirahat yang cukup untuk perannya sebagai orang yang tak tahu apa-apa, besok pagi, saat tubuh lelaki itu didapatkan kaku di depan rukonya.
***
Pintu rukonya ramai digedor orang. Dia masih menyempatkan diri bercermin. Melatih wajahnya untuk tak menampakkan muka gugup, tanpa dosa saat dia berhadapan dengan orang-orang yang mungkin saja mencurugainya. Merasa telah menghayati peran, dia beranjak.
Begitu pintu terkuak, orang-orang yang berkerumun, memberi jalan untuknya. Seorang lelaki terbujur kaku, meski sangat mirip, tapi dia yakin jika dia bukan lelaki sasaran racun tikusnya. Dia meradang, saat lelaki yang ingin dibunuhnya semalam, kini berdiri di seberang jalan, dengan mata sembab.
Mayat lelaki yang di depannya kini, adalah putra tunggalnya. Semalam pulang dari pesta minuman keras. Mabuk. Mengingau. Melahap apel merah untuk papanya, saat mamanya tak membukakan pintu untuknya.
Lelaki di seberang jalan, masih menatapnya tajam. Seolah dia menunggu di sana. Di dunia lain. Dunia para orang gila. Dunia orang-orang yang tak bisa menerima kenyataan. Kehilangan putra tunggalnya, akan mengantar dia ke dunia itu.***


lanjutan cerita......

Dewi Penolong


Oleh: S. Gegge Mappangewa

SUASANA rumah sakit cukup ramai. Lalu lalang perawat dan tim medis lainnya yang berseragam putih bersih, seolah tak terlihat di mata Neno. Dia ragu pada keputusan yang sejak dari rumah tadi, telah bulat. Dia merasa telah menghianati persahabatannya dengan Hanna, jika dia melakukan apa yang kini ada di benaknya.
Persahabatan? Mungkin lebih dari itu! Neno merasa, Hanna banyak membantunya. Sejak memutuskan untuk tidak menerima bantuan apapun dari Mama dan Papanya, hidupnya bergantung pada Hanna. Mulai dari biaya makan hingga uang yang digunakannya tiap hari, semua berasal dari uang saku Hanna yang juga didapatkan dari orangtuanya yang pas-pasan pula.

Ini bulan ketiga dia membuang diri. Entah sampai kapan dia harus bertahan. Bulan depan dia harus membayar SPP. Selama ini, kalau pun uang Hanna cukup untuk hidup berdua, itu karena mereka berhemat. Selain uang untuk makan dan keperluan sekolah, tak ada biaya lain yang keluar.
Ego Neno belum juga reda. Setiap bulan saldo rekeningnya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Tapi sedikit pun dia tak ada niat untuk mengambil uang pemberian Mama dan Papanya. Dia mengecek saldo via ATM, bukan untuk tahu jumlahnya, tapi untuk memastikan bahwa Mama dan Papanya telah resmi cerai.
Saldo yang dua kali lipat itu, cukup sebagai bukti bahwa Mama dan Papanya tak bisa akur. Mama juga Papanya, mungkin kasihan pada Neno atau mungkin cuma ajang promosi agar Neno mau memilih satu di antara mereka. Mama atau Papa! Mereka berdua saling ingin membuktikan cintanya pada Neno, dengan tetap mentransfer uang untuknya. Sayang sekali, Neno tak butuh itu. Dia ingin buktikan pada Mama dan Papanya, jika dia akan pergi dari rumah dan tak akan kembali, juga tak butuh apapun, bila Mama dan Papanya tak rujuk kembali.
Neno merasa segalanya telah hancur. Semuanya telah terlanjur. Jadi buat apa pulang ke rumah? Hanya melukakan jika tahu yang bertahan di rumah itu, Mama atau Papanya. Saking tak inginnya berhubungan lagi dengan Mama dan Papanya, kartu teleponnya dia buang, ponsel pun dia jual untuk biaya hidup sehari-hari.
Susah memang. Apalagi saat seperti ini, kondisi tubuhnya tak fit dan dia butuh uang untuk berobat. Uang dari mana? Dari Hanna? Neno cukup mengerti jika itu terlalu memberatkan, meskipun rumah sakit yaang ditujunya bukanlah rumah sakit swasta yang biayanya bisa mencekal leher. Padahal dulu, Neno punya dokter keluarga. Tinggal telepon, dokter datang mengetuk pintu. Sekarang? Dia masih ragu di antara keramaian rumah sakit.
Semalam dia mendapatkan kartu identitas berobat milik Hanna. Tanpa sengaja. Saat dia asyik membersihkan laci meja belajar dari kertas-kertas yang tak berguna. Tinggal di kamar kos adalah hal yang baru buat Neno, makanya setiap hari dia mencari kesibukan meskipun itu hanya dengan membersihkan kamar.
“Ini kartu berobat kamu, Han?”
Hanna merenung lama sebelum menjawab pertanyaan itu. Itu pun dengan anggukan.
“Aku pinjam ya? Akhir-akhir ini maag-ku kambuh. Pakai kartu ini, aku bisa bebas dari biaya adminitrasi. Lagian dokter nggak mungkin tahu kalau aku menyalahgunakan kartu orang lain. ”
“Ja…jangan! Kartu itu sudah kadaluarsa. Mak…maksudku nggak terpakai lagi.”
Neno tentu saja heran dengan kegugupan Hanna. Selama ini, barang apapun milik Hanna, bebas dia pakai.
“Kalau cuma maag, nggak usah ke rumah sakit. Cukup makan teratur. Atau paling juga sembuh dengan minum obat yang beredar di apotek. Usahakan jangan terlalu banyak mikir! Tau nggak, stress bisa bikin maag kambuh?” lanjut Hanna lagi.
Neno tak berucap apa-apa lagi. Dia bahkan tak curiga sedikit pun dengan kegugupan Hanna.
Tapi tadi, saat Hanna keluar dan maag-nya kambuh lagi. Dia nekat membawa lari kartu berobat itu. Satu hal yang tak bisa dilakukan Neno selama memisahkan diri dari orangtuanya, adalah minum obat yang bukan resep dokter. Pikirnya, Hanna tak akan marah hanya karena persoalan dia melanggar larangannya untuk tidak memakai kartu berobat itu.
Kini, setelah tiba di rumah sakit, di antara perih lambungnya, dia tiba-tiba berpikir jika apa yang dilakukannya kini adalah bukti pengkhianatan. Dan dia tak ingin itu. Dia tak mungkin mengkhianati Hanna yang telah memberinya tumpangan hidup. Padahal kalau dilihat dari segi ekonomi, Hanna bukanlah orang yang pantas untuk menerima dan mau menghidupinya untuk jangka waktu yang tak tentu. Hanya kebaikan hati-lah yang membuat Hanna punya kesempatan berbuat baik, untuk menolong!
Hanna juga tahu jika Neno punya uang di bank, hasil transfer dari Mama dan Papanya. Tapi dia tak menginginkan apalagi menuntut Neno untuk membuang egonya, lalu menerima bantuan Mama dan Papanya. Bahkan bukan hanya sekali, Hanna menceramahi Neno agar tak menyimpan dendam pada Mama dan Papanya.
“Aku bukan bosan ataupun nggak mau menampung kamu lagi. Aku hanya ingin kamu baikan dengan Mama dan Papa kamu. Gimanapun, mereka orangtua kamu. Mereka pasti punya alasan sehingga memilih cerai.”
Kalimat itu sering diperdengarkan Hanna. Hingga saat ini, masihlah sebatas mengalun di indera dengar Neno, dia belum bisa menanamkannya di hati.
Neno menghempas napasnya keras. Dia membalikkan tubuh dari keramaian rumah sakit. Dia ingin pulang. Membiarkan perih melilit lambungnya. Dia tak ingin mengkhianati Hanna. Dia harus meminta ijin kembali pada Hanna untuk menggunakan kartu itu. Memang kelihatannya sepele, tapi sekecil apapun persoalan, jika hati merasa dikhianati, biasanya susah diobati.
“Mungkin ada yang bisa kami bantu?” tegur seorang perawat yang dari tadi memperhatikan dia melamun.
Neno ingin menggeleng, tapi perawat itu terlanjur melihat kartu berobat di tangannya.
“Mau berobat? Sini saya bantu.”
Neno seakan tak punya daya selain dari kekuatan perawat yang menarik lengannya ke meja resepionis. Dia mengikut saja.
“Sering sakit perut, mual…” ucap Neno saat ditanya.
“Silakan antri di bagian gastroentritis. Dari sini lurus, tepat di ujung koridor, belok kiri!” jelas perawat yang bertugas di meja resepsionis sambil menyerahkan nomor antrian.
“Terima kasih!” ucapnya pada resepsionis, juga pada perawat yng mengantarnyaa barusan.
Sebenarnya Neno ingin mengambil jalan lain untuk pulang ke rumah, tapi tepat di ruangan gastroentritis, nomor antriannya langsung disebut dan dipersilakan masuk. Neno menurut saja.
Selesai membayar uang pemeriksaan yang tak sampai sepuluh ribu, dia masuk menemui dokter yang bertugas. Senyum ramah dokter itu sedikit mnghapus kerinduan pada Mama dan Papanya yang biasa mengeluarkan uang ratusan ribu untuk penyakit maag-nya. Kini…? Tak sampai sepuluh ribu! Itu pun berat buatnya dan harus menyalahgunakan kartu Hanna demi menghindar dari biaya adminitrasi pembuatan kartu.
“Hanna?”
“Iya, Dok!” Neno mengangguk tegas meski dokter mengerutkan kening seolah tahu bahwa dia bukan pemilik kartu yang sebenarnya.
“Maaf, saya nggak hapal dengan semua pasienku.”
Dari buku pemeriksaan Neno mengintip jika Hanna pernah berobat di ruangan ini. Itu berarti, Hanna juga punya keluhan pada lambung dan usus. Dia mulai menyadari kebodohannya. Mengapa dia tak pernah berpikir jika bisa saja dokter mengenali Hanna jika sering berobat di rumah sakit ini, apalagi di bagian gastroentritis ini.
“Maag-ku semakin parah, Dok.” keluh Neno cemas.
Dokter menatapnya tajam. Nyali Neno berkerut. Pikirnya lagi, masih menyesali kebodohan, bukan tak mungkin Hanna yang cantik, meninggalkan kesan di hati dokter muda yang kini menatapnya. Jadi mustahil untuk membohonginya jika dia adalah Hanna.
“Jadi kamu masih yakin jika penyakit kamu itu maag? Tiga bulan yang lalu saya sudah bilang, gejala yang kamu rasakan kemungkinan besar bukan maag tapi gagal ginjal.”
Neno tentu saja kaget mendengar semua itu. Hanna ternyata masih menyimpan rahasia untuknya. Apa untungnya? Harusnya Hanna berterus terang agar dia bisa membantunya mencari solusi.
“Tiga bulan lalu, saya konsul kamu ke ahli bedah, karena saya yakin ginjal kamu sudah rusak parah. Tidak semua sakit perut adalah gejala maag. Saya tahu kamu tak punya uang banyak, aku bahkan meminta teman di bagian bedah untuk nggak membebani kamu uang check up. Tapi kamu nggak pernah check up ke sana.
Lagi pula, jika kamu positif gagal ginjal, pihak rumah sakit memberi keringanan bahkan gratis berobat bagi keluarga yang tidak mampu seperti kamu, asal punya surat pengantar dari RT setempat. Kamu masih mau hidup, kan? Jika benar ginjal kamu yang rusak, dan sejak tiga bulan lalu kamu biarkan begitu saja, kamu nggak punya banyak kesempatan lagi…”
Air mata Neno mengalir. Tak pernah dia sangka, jika sahabat yang telah menyelamatkannya selama ini, ternyata lebih butuh uluran tangan. Terjawab sudah mengapa Hanna tak ingin meminjamkan kartu identitas berobatnya. Hanna menyimpan rahasia hidup yang tak ingin seorang pun tahu, hingga hidupnya berakhir sekali pun.
***
“Kamu mulai nggak jujur, No.” serang Hanna saat Neno telah berdiri di ambang pintu kamar kosnya.
Tak mendapatkan kartu berobatnya di laci meja belajar, membuat Hanna yakin jika Neno tak mengindahkan larangannya untuk tidak memakai barang miliknya itu.
“Terlebih kamu, Han. Kamu bahkan membiarkan dirimu menderita sendiri, tanpa mau membaginya…”
“Ja...jadi…”
“Kalau kamu nggak ingin membagi keluhmu untukku, mengapa kamu mau mendengarku mengeluh, menolongku, padahal kamu sendiri lebih membutuhkan?” Suara Neno meninggi.
Hanna yang tadi kecewa dan emosi pada sikap Neno, sepertinya sibuk mencari alasan.
“Kamu nggak tahu…”
“Aku tahu kamu nggak punya uang, Hanna. Aku datang mengeluh dan minta bantuan padamu, bukan karena aku menganggap kamu anak orang kaya yang bisa menyelamatkanku, tapi karena aku tahu bahwa kamu mau menolong siapa pun…”
“Neno…”
“Han,” Neno tak memberi kesempatan. “Jika kamu bisa menolongku, meski kamu dalam keadaan susah, mengapa aku nggak? Mengapa kamu meragukanku?”
Neno terdiam sesaat. Memberi kesempatan air matanya untuk turun, tapi tak mmberi kesempatan Hanna untuk bicara.
“Selama ini aku egois, nggak bisa menerima keputusan cerai Mama dan Papaku. Tapi sekarang nggak. Penyakit maag membuatku insyaf, terjaga. Bahwa sebagai anak, aku nggak mungkin melepaskan diri dari orangtuaku.”
Neno mengeluarkan kantongan hitam berisi uang yang baru saja ditariknya dari ATM. Hanna tercengang menyaksikan itu. Dia tak pernah menyangka, Neno akan membuang harga dirinya, melepas egonya untuk tidak menerima bantuan Mama dan Papanya, hanya karena dia.
“Kamu harus sembuh, Hanna. Ini baru sebagian dari saldo di rekeningku. Aku nggak mau kehilangan kamu. Jika masih kurang, aku nggak akan berpikir dua kali untuk menelpon Mama dan Papaku. Aku nggak mau mempertahankan ego, lalu membiarkan seorang sahabat sepertimu pergi dariku.”
Hanna membatu. Pelukan Neno pun seolah tak kuasa dibalasnya. Selama ini, Hanna menyembunyikan penyakitnya karena tak ingin menyusahkan orang lain, termasuk Mama dan Papanya di kampung. Dia tak pernah protes, mengapa Tuhan mengirimkan penyakit untuknya. Dia bahkan yakin jika itu cara Tuhan untuk memintanya berbuat baik tanpa mengharap pamrih.
Tapi kini, seorang dewi yang baru saja dia bantu mengepakkan sayap patahnya, mengulurkan tangan untuk menolong. Dia terharu, ingin menolak. Tapi dewi penolong itu mengajaknya untuk terbang bersama. Disadarinya, setiap orang berkesempatan menolong, asalkan punya hati yang tulus. Dan hanya hati tuluslah yang akan dibayar pamrih, jika bukan sekarang, Maha Penolong menjanjikan sebuah hari pembalasan.***



lanjutan cerita......

Sebagai Sahabat


ENTAH! Mungkin itu jawabku, jika ditanya kapan luka akibat kepergian Wilo, terlupakan di hatiku. Ya, terlupakan! Karena dulu aku mengangapnya sembuh, namun kini luka lagi. Dengan perih yang sama, sakit yang serupa!
Tak salah jika waktu adalah obat paling mujarab, terampuh untuk merawat luka. Tidak dengan siapa-siapa, tidak dengan ke mana, luka itu terawat sendiri bahkan terlupakan bersama waktu yang semakin beranjak. Kesedihan tertinggal setapak demi setapak, bersama mengeringnya air mata setetes demi setetes. Lalu berganti senyum, bahkan tawa, hingga berubah seperti kini. Seperti Ifah yang kini! Ifah tanpa masa lalu tentang Wilo.

Kalaupun kuakui, aku terluka lagi kini. Tak akan membuatku menangis. Wilo bahkan tak boleh tahu jika kemarin aku terluka. Yang dia harus tahu, aku tertawa bahkan melompat kegirangan saat berhasil mengusirnya dari hatiku.
“Kamu kurusan!” ucapnya setelah membiarkanku kembali ke masa lalu bersamanya.
“Ya, mungkin karena aku terlalu berambisi kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dengan Fakultas Kedokteran, pula. Apalagi saat ambisi itu terkabul, aku masih punya banyak mimpi. Aktif di organisasi, misalnya. Entah kenapa, aku merasa semakin sempurna dengan keadaanku saat berorasi di depan teman mahasiswa,” Panjang lebar aku bicara, demi menutupi keadaan yang sebenarnya terjadi sejak kepergiannya.
“Jadi bukan karena menyesal telah mencampakkanku?”
Aku tergelak. Bahkan menggeleng lantang meski hatiku merasa terpojok, seperti kedapatan nyolong dengan barang bukti di tangan.
“Wilo! Kalau aku menyesal karena telah mencampakkanmu, aku bisa aja kembali. Kapan aja, termasuk sekarang. Karena kutahu kamu akan terus mengharapku. Jadi buat apa aku rela berkurus-kurus hanya untuk menyesalinya.”
Aku tak berani menatapnya saat kalimat barusan kuucap. Kalimat yang telah menganggapnya sebagai cowok yang tak punya harga apa-apa, tak berarti sedikit pun. Padahal, begitu banyak cewek yang hanya mampu menelan ludah saat berangan memiliki Wilo yang cakep. Cewek harus punya plus tersendiri untuk bisa mendekati Wilo. Terutama karena Wilo sedikit dingin, bahkan berkesan berwibawa di permukaan.
“Terima kasih jika kamu mengerti bahwa aku masih mencintaimu hingga kini.”
Terhempas hatiku oleh badai tiba-tiba. Kucoba menenangkan gemuruh itu. Jika tidak, aku takut malah terbujuk untuk kembali padanya. Tidak! Tolong aku, Tuhan! Ya, hati yang tadi terhempas, kini tiba-tiba bersimpuh memohon. Aku menggeleng lagi, lantang! Saat kubayangkan wajah Erin terperangah mendengar kabar bahwa aku dan Wilo jadian.
“Wilo…Wilo! Harusnya waktu yang memisahkan kita selama ini, membuatmu lupa padaku. Apa susahnya, sih? Anggap aja aku enggak pantas untukmu. Terlalu tinggi untuk kau gapai, atau apa aja yang bisa membuatmu menyerah!”
Aku mengambil langkah pergi. Tanpa pamit! Berlama-lama dengannya, malah membuat luka lama itu lebih perih dari sebelumnya. Siapa sih yang bisa jauh dari Wilo, apalagi sampai mendapatkan penggantinya. Tidak ada! Bukan buta karena cinta, tapi memang semua yang kucari ada pada diri Wilo. Sayang, bukan hanya aku yang mendambanya. Ada Erin sahabatku!
Kudengar langkahnya memburu dari belakang. Bersama kalimat-kalimatnya yang membuatku ingin berbalik memeluknya. Tapi Erin? Aku tetap melangkah, meski saat tiba di tempat parkir, saat masuk dalam rongga Avanza-ku, aku belum bisa memutar kunci kontak lalu kabur. Aku bersandar di jok, di luar dia berdiri tanpa berani masuk mobil sebelum kubukakan pintu.
Curi lirik, kulihat dia bersandar di pintu mobil. Mungkin dia yakin aku akan keluar dan menemuinya untuk bicara. Aku masih mematung. Hanya tatapanku yang kuterbangkan cepat saat dia menangkapku tengah menatapnya. Tatap yang…? Aku tak tahu, perasaan apa yang ada di balik dadaku kini. Wilo semakin cakep, lebih berwibawa! Lalu ke mana Erin?
“Erin sering mencarimu,”
Suaranya kudengar dari luar, masih bersandar di pintu mobil. Suara itu membuatku menangis. Aku telah melukai dua orang sekaligus. Wilo dan Erin! Padahal semua kulakukan demi kebahagiaan keduanya. Aku tak sanggup menyaksikan tatapan Erin hampa meski bibirnya menuturkan kalimat yang penuh luapan kegembiraan.
“Kamu jadian dengan Wilo? Apa aku bilang, dia akan lebih memilihmu. Selamat deh!”
Jika aku bukan sahabatnya, jika aku tak mengenalnya sejak di bangku SD, aku tak akan mampu membaca kesedihannya saat menuturkan kalimatnya. Padahal dia tersenyum, bahkan tertawa saat itu. Berahun-tahun aku berbagi tawa dengannya, baru kali itu kulihat tawanya hanya di bibir. Tak ada di matanya!
Aku tak berani mengakui jika aku lebih cantik dari Erin. Tapi bisa kupastikan jika Wilo menjatuhkan pilihannya padaku hanya karena Erin yang punya masa lalu hitam dalam keluarganya. Saat itu, hampir semua siswa mencemohkannya, kecuali aku dan Wilo. Erin bahkan pernah memutuskan berhenti sekolah, hanya karena tak tahan mendengar gunjingan di sekolah. Tentang papanya yang terlibat affair dengan seorang selebritis.
Perihnya lagi, sosok papanya yang sering turun tangan dalam baksos sekolah, termuat di mading karena jasanya. Berganti dengan kliping tentang affair itu. Entah siapa yang mengedarkan kliping itu, guru atau siswa. Karena setahuku, banyak guru yang mengincar posisi papa Erin sebagai kepala sekolah. Juga banyak siswa yang iri dengan kepintaran Erin.
Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus bagaimana, menjadi pelabuhan tangisnya, tentu saja tak cukup. Kurasakan berat mata ini memandang dukanya, tentulah lebih berat buat dia yang memikulnya. Aku ingin bebuat sesuatu untuk meringankan bebannya, tapi sekali lagi, aku tak tahu harus bagaimana.
Saat kudapatkan luka kehilangan di matanya saat aku jadian dengan Wilo barulah kusadar bahwa Wilo bisa membuatnya bahagia.
Aku ingin merasakan bagaimana perihnya saat Erin sahabatku, terkucil dari pergaulan, memendam luka karena kehilangan sosok papanya yang selalu dibangga-bangakannya. Satu-satunya cara untuk merasakan luka itu, hanya dengan membangga-banggakan Wilo lalu mencampakkannya.
Perih sekali! Saat aku harus memulai eksekusi itu. Menghina Wilo habis-habisan di depan umum, bahkan menamparnya! Bukan hanya Wilo yang tak percaya dengan perubahanku, tapi semua orang. Ifah yang manis berubah sinis, antagonis bahkan memandang rendah semua orang. Satu tujuanku, aku ingin dikucilkan! Merasakan derita Erin dulu. Dan seperti yang kuduga, Wilo melarikan cintanya ke Erin. Tujuanku pun tercapai!
Meski luka itu perih menyerang, aku tak menyesal dengan tindakan bodohku. Bukankah itu yang kuinginkan, merasakan luka yang pernah mendera sahabatku. Paling tidak, di antara kelukaan itu, aku telah merasakan diriku menjadi sahabat yang sempurna, sejati! Meski di mata semua orang, aku telah berubah sombong!
Jika ada yang tahu, betapa perihnya luka yang kurasa mungkin akan mengangkat jempol untukku! Tapi aku tak ingin itu, aku tak ingin Wilo atau siapa pun tahu. Kutakut Wilo semakin memburuku, meninggalkan Erin kembali!
“Erin ingin berbuat sesuatu untukmu. Demi mengembalikan kamu menjadi Ifah yang manis, lembut. Tidak seperti sekarang, angkuh! Tapi Erin, juga aku tak tahu harus berbuat apa. Bahkan tak mengerti, apa yang membuatmu berubah sedrastis itu.”
Entah pada menit kapan Wilo masuk ke rongga mobilku. Aku tak menyadarinya! Juga seperti tanpa sadar saat tanganku meraih handle pintu di sampingnya dan berucap kasar.
“Silakan keluar dari mobilku. Aku mau pergi!”
“Ifah! Katakan, apa yang membuatmu seperti ini…”
“Seperti apa? Inilah aku yang sebenarnya. Ifah yang tahun ini lulus masuk Kedokteran, tanpa gugup bicara di mimbar mahasiswa, bahkan bisa ganti mobil tiap hari. Dan mungkin bulan depan akan masuk dalam jajaran idola remaja, karena baru kemarin aku terjaring audisi untuk jadi bintang.
Jadi enggak cukupkah semua itu untuk kubanggakan, kusombongkan? Dan enggak cukupkah membuatmu mengerti bahwa kamu bukan levelku. Kamu pantasnya dengan Erin, puteri kepala sekolah yang terkucil karena dosa papanya?”
Berat sekali kulihat Wilo mengambil langkah turun dari mobilku. Aku ingin mengakhiri sandiwara ini. Aku tersiksa. Aku menangis! Tapi sebagai sahabat aku tak ingin melukai Erin lagi. Karena kutahu pasti, jika Wilo tahu aku terluka karena mencampakkannya, dia akan membuatku kembali bertekuk lutut di depannya. Aku tak mau itu!
Demi kamu, Erin! Bisik hatiku sambil memutar kunci kontak, lalu mengakselarasi mobilku. Melaju cepat, meninggalkan debu jalanan yang terbang mengotori wajah putih Wilo!
***


lanjutan cerita......