24.10.12

CERITA PAGI

S. Gegge Mappangewa

MASIH pagi. Perasaan aku baru memejamkan mata semenit, setelah bangun shalat subuh tadi. Aku bahkan tertidur dengan mukenah yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintuku telah diketuk perlahan awalnya, lalu digedor keras. “Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar. Aku kenal betul suara itu. Milik Imah, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. Pagi-pagi begini mau apa, ya? Aku bahkan menutup kupingku dengan guling. Gedoran itu semakin tak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Imah, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru. Terpaksa aku bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen, semalam tidurku agak larut malam karena PR Fisika-ku yang tumben tak bisa kuselesaikan cepat. “Selamat pagi,” ributnya setelah kubukakan pintu kamar. “Aku dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, aku masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis. Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apapun! Aku cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuhku di tempat tidur. “Pemirsa, aku udah berhasil masuk ke kamar Lely. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,” “Nggak lucu!” ketusku sambil menutup telinga dengan guling. Imah tetap beraksi. Kudengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamarku. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya, terlalu kecil untuk siswa SMA sepertiku. Meski kesal, aku kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman. “Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Lely? Yuk, kita buka!” Kudengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi aku belum juga menggubrisnya. Toh, tak ada barang rahasia di dalamnya. “Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Dompetku sudah ada berada di tangannya. “Jangan dibuka, Mah!” “Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan sekolah, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo Si Lely ini jadi bintang pelajar tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!” Aku tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap aku mendekat untuk mengambil dompetku. “Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Lely bintang pelajar kita ini, fans berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompetku. Melihat foto Denny, air mataku tiba-tiba meluruh begitu saja. Imah langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arahku dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam. “Sori, Ly! Aku cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy kamu. Lagian, nge-fans sama Denny, menurutku hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!” Aku menghapus air mataku. Mengambil dompetku dari tangan Imah. “Kamu mau maafin aku kan?” Imah tak punya salah, aku yang terlalu cengeng mungkin. Tapi aku janji, ini air mata terakhirku untuk Denny. Meski aku juga merasa punya quantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny. “Jujur, akhir-akhir ini aku ingin dekat sama kamu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi. Aku bisa mengerti, jika Imah ataupun teman kostku yang lain tak punya banyak waktu untuk bersamaku. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam sekolah, kuhabiskan bersama buku-buku pelajaranku. Aku tak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Aku selalu merasa lebih aman di kamar sendiri. Untungnya sikap dinginku itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena aku tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Jadi tidak sedikit pun ada kesan sombong yang kutampakkan, dan memang aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segala-galanya, lalu menyombongkan diri. Apalagi, alasanku cukup meyakinkan, aku harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, medali bintang pelajar tetap bisa kupertahankan. “Ly, boleh kan aku curhat ke kamu?” Belum juga kuiyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama-papanya, yang sedang kacau. “Di rumah nggak ada kedamaian, Ly! Kamu mungkin nggak tahu, aku ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Aku orang Jakarta asli. Rumahku di Pondok Indah. Aku ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!” Aku mungkin terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitarku. Tanpa kusadari, Imah butuh teman dan selama ini aku lebih akrab dengaan diriku sendiri, dengan permasalahanku sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya padaku. Aku terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkanku bahwa semua orang punya masalah. Aku ingin meraih pundak Imah, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan namaku. Aku dapat telpon dari Denny. “Denny siapa, Ly!” “Denny bintang sinetron itu,” ucapku santai. “Dia nelpon kamu?” tanyanya heran. Aku mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku memang tak pernah cerita tentang Denny. Aku masih lebih suka menyimpannya sendiri, dan menyimpannya sebagai semangat untukku. “Ada perlu apa Denny nelpon kamu?” tanyanya saat aku pulang dari menerima telepon. “Dia ngajak aku buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!” “Kalian akrab?” Imah semakin bingung. Akrab? Aku juga bingung mau jawab apa. Haruskah aku jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Imah baru saja menceritakan masalahnya untukku, kini giliranku. “Denny itu saudara sepupuku….” Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka. “Tapi kok, Denny dan adiknya menelpon kamu untuk menemaninya belanja?” “Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.” Bukan sekali aku diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat kutemani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untukku, meskipun sebenarnya aku tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, aku terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untukku. “Tapi kenapa kamu mau menyimpan foto Denny dalam dompetmu?” Bukan untuk kubanggakan, bahwa aku ini sepupunya. Tapi untuk memberiku semangat. Setiap melihat fotonya, aku selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Aku tak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Aku harus mengangkat diriku sendiri! Aku yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, tidak harus dengan menjadi selebritis. Imah manggut-manggut. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamarku. Tapi tak lama kemudian, dia datang lagi. “Aku pamit dulu, Ly! Aku tiba-tiba rindu pada Mama dan Papaku. Aku nggak boleh lari dari masalah. Aku harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Aku bangga pada kamu, Lily. Aku mengidolakanmu!” ucapnya dalam pelukku. Menangis! Aku ikut menangis. Mungkin aku telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untukku. Kusimpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!***

lanjutan cerita......

BAHASA STICKER, BAHASA NGE-STRIKE

Oleh: S. Gegge Mappangewa Tahun 1980-an, sticker belum banyak ditemukan seperti sekarang ini. Sticker yang paling sering ditemukan hanya satu jenis, yakni bergambar dua telapak tangan terbuka dan di tengahnya terdapat tempat photo ukuran pas photo, lalu di bawahnya terdapat kalimat; Hidupku Di Tangan-Mu, Tuhan. Sticker ini biasanya dipasang di motor ataupun di barang-barang yang biasa dibawa ke mana-mana. Sticker yang menjamur saat itu hanyalah sticker berjenis panache, yang biasa di-tatto-kan di badan dan hilang saat terkena air. Itu pun hanya bergambar lucu atau super hero yang hanya diminati anak-anak. Kini, di sepanjang jalan Makassar, berderet-deret penjual sticker. Bahkan di beberapa emperan mal terdapat etalase yang khusus menjual sticker. Kalimat sticker-nya pun beragam, mulai dari yang lucu, bijak, merk dagang dan merk kendaraan tertentu, hingga yang kalimatnya ‘nonjok’ atau kasar alias nge-strike. Kehadiran sticker-sticker ini, tentu saja pertanda bahwa pencipta kalimat-kalimat sticker tersebut adalah orang-orang yang kreatif. Seolah-olah, kehadiran sticker yang menjamur ini, menggantikan posisi kartu ucapan yang berisi kalimat romantis dan kalimat lucu, yang dulu pernah menjamur tahun 1990-an. Hanya saja, yang perlu disayangkan, jika kalimat pada kartu ucapan adalah kalimat romantis dan kalimat-kalimat lucu, maka pada sticker justru lebih banyak kata-kata yang kasar. Misalnya saja; Nabrak Benjol! Apa Lihat-Lihat? Nyalib Kiri, Banci! Hari Gini Oper Gigi, Ompong Kali! Pake m***ic, sekalian aja pake lipstik! Dilarang Baca, Bego! Maraknya kalimat-kalimat sticker serupa itu, tentu saja membuat orang yang sering membacanya akan terbiasa dengan kalimat-kalimat mengejek, melecehkan dan berkesan kasar. Dampaknya, dalam keseharian terutama remaja, kata-kata kasar tersebut seolah bukan lagi hal yang tak baik untuk diperdengarkan. Kalimat-kalimat kasar itu bahkan digunakan untuk bercanda tanpa merasa telah menyakiti lawan bicaranya. Dan jika sebuah kebiasaan terus berulang, maka akan membentuk karakter yang susah untuk menghapusnya. Kasus serupa telah terjadi pada penggunaan kata sundala’. Saking seringnya didengar di bahasa pergaulan anak-anak Makassar, membuat kata kasar ini tidak ‘sepedas’ lagi dengan makna aslinya. Padahal kata sundal menurut kamus bahasa Indonesia berarti; perempuan jalang, pelacur. Sedikit sekali remaja yang tahu arti kata sundal ini. Mereka tahunya, saat marah dia harus mengucapkan kalimat itu untuk melampiaskan emosinya. Entah itu kemarahan pada laki-laki ataupun pada perempuan. Lebih miris lagi, karena sering didengar dan diucapkan, kata super kasar ini malah biasa dibawa dalam kalimat bercanda yang malah membuat orang bukannya tersinggung tapi malah tertawa. Apalagi setelah muncul penghalusan katanya seperti suntili (Sundal Tiga Kali), kata ini sangat sering kita dengar di sela-sela pergaulan remaja. Kembali ke soal sticker. Jika kalimat-kalimat melecehkan yang ada di sticker ini tak tergantikan dengan hal lain yang lebih kreatif namun tetap positif, maka suatu saat perbandaharaan kata-kata kasar di kota yang menjunjung tinggi siri’ napacce ini akan semakin banyak. Bukan hanya itu, kelak kata-kata kasar tersebut akan menjadi karakter generasi berikutnya. Kreativitas generasi muda memang selalu terbuka luas meski tak harus melucu dengan kata-kata kasar. Soal pasar, bukankah Joger yang asli buatan anak negeri, yang mencap dirinya sebagai pabrik kata-kata, telah membuktikan kreativitas positifnya. Bukan hanya di Bali, kalimat khas Joger telah merambah mancanegara karena telah dijadikan sebagai oleh-oleh khas Bali. Baik di sticker maupun di kaos, kata-kata keluaran Joger selalu lebih lucu dan selalu teringat; Sejak kau tolak cintaku, aku tak bisa makan saat tidur, tak bisa tidur saat makan. Soda tak bisa menghapus dosa. Belanja nggak belanja tetap thank you! Every day is Sunday in Bali. Sekali lagi, sebenarnya kalimat-kalimat sticker yang umumnya ada di bagian belakang kendaraan di Makassar adalah bukti kreativitas remaja Makassar. Hanya perlu ‘ditertibkan’ dengan meyakini bahwa hal lucu tak harus kasar ataupun negatif. Pun, penulis tetap acungkan jempol untuk kreativitasnya yang tak kalah hebat dengan pabrik kata-kata yang lain. Kalimat sticker yang kreatif namun tak melecehkan misalnya; Jaga jarak, bukan muhrim! Warning, papaku polisi! Pinjam boleh, asal isi bensin. Dilarang nabrak, belum lunas! Bahasa sticker memang hal sepele, hanya hal kecil, hanya untuk lucu-lucuan, tapi bukankah hal-hal kecil jika dibiarkan akan membesar? Bukankan nila setitik bisa merusak susu sebelanga? Jika dibiarkan, bukan tak mungkin bahasa sticker yang dianggap sepele itu akan merusak generasi sebangsa. Api yang menghanguskan sebuah bangunan bertingkat biasanya bermula dari nyala lilin kecil atau bahkan dari nyala puntung rokok yang belum padam sempurna.

lanjutan cerita......

24.4.12

Lontara Rindu



Rindu adalah gelisah yang gulana. Mata bisa memejam tapi tanpa lena. Vito, remaja SMP, terpaksa harus patuh pada luka rindu pada ayah dan saudara kembarnya, Vino.

Cinta itu medan pertempuran. Medan laga yang kobaran apinya maha dahsyat. Halimah yang merasa tangguh untuk pertempuran itu, memilih silariang ketika cintanya pada Ilham tak mendapat restu. Benarkah Halimah tangguh untuk sebuah medan laga yang disebut cinta? Atau dia harus takluk di depan luka?

Guru bukan hanya berdiri di depan kelas. Tapi hadir di hati anak didik. Ketika kehadiran Pak Guru Amin dirindukan oleh siswanya, luka tiba-tiba datang bertandang karena Pak Amin dianggap menyebarkan fanatisme agama pada siswanya. Dia dan kesembilan siswanya di sebuah sekolah di daerah pegunungan di Sidrap, harus dipisah.

Bukan hanya air mata, tawa pun akan berderai di Lontara Rindu (Pemenang I Lomba Novel Republika 2011).

lanjutan cerita......

4.1.11

SALAHKAH AKU MENANGIS



Oleh: S. Gegge Mappangewa

Lelaki selalu identik dengan kesempurnaan. Tegar, kekar, sangar, dan seluruh yang berhubungan dengan gagah-gagahan berakar pada lelaki. Hingga ada kesan bahwa telaga air mata yang ada di balik retina lelaki, kering! Atau mungkin, bahwa bendungan air mata milik lelaki telah dirancang sekokoh mungkin, tanpa ada celah yang bisa dirembesi cairan setitik pun. Atau bahkan air mata lelaki memang mengandung gas methane, yang bisa membahayakan jika keluar, hingga tak ada jalan lain kecuali harus menguap begitu saja?
Padahal, jangan salah, sudah banyak dilakukan penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa menangis memiliki manfaat bagi kesehatan, baik manfaat fisik (jasmani) maupun manfaat psikis (ruhani). Dr Simon Moore, psikolog dari London Metropolitan University mengatakan, "Menangis adalah pelepasan emosi yang paling tepat saat kita tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata" . Menurut Profesor William Frey, ahli tangis dari AS, bahwa air mata yang dikeluarkan saat kita sedang emosional mengandung hormon endorphin atau stres sehingga bisa membuat perasaan lebih plong. Menangis juga diketahui bisa menurunkan tekanan darah dan denyut nadi.
No woman no cry! Dari ungkapan ini, seolah lelaki yang telah terlanjur kebobolan bendungan air matanya, bukanlah lelaki sejati. Saking tak ingin dianggap cengeng, beberapa lelaki mengaku lebih berani meneteskan darah di depan umum daripada meneteskan air mata. Tak heran, begitu banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan kata maaf, bahkan mungkin dengan setetes air mata tanda sesal, malah diselesaikan dengan kekerasan yang bukan tak mungkin menkucurkan darah, dan inilah yang disebutnya sebagai penyelesaian secara jantan. Sesat pastinya. Sesal nantinya!
Kalaupun ada lelaki yang menggunakan air mata sebagai pelarian untuk mengungkapkan kesedihannnya, air mata itu kembali disangsikan oleh orang yang melihatnya. Air mata buaya, begitu kata banyak orang! Boleh jadi, takut dianggap sebagai lelaki buaya beberapa lelaki lebih memilih menangis sendiri, atau bahkan berusaha muncul di permukaan setegar mungkin, padahal sebenarnya jiwanya tenggelam dalam lautan air mata yang tersembunyi di balik dada. Sesak tentunya!
Padahal air mata tak boleh menjadi ukuran, sejati atau matinya seorang lelaki. Pemain bola dunia yang begitu kekar, yang sedikit pun tak punya sisi feminin, toh banyak yang mengakui kekalahannya dengan air mata. Sahabat Rasulullah yang terkenal galak, Umar bin Khattab, ternyata sering menangis dalam shalatnya, hingga terdengar oleh makmun di shaf belakang.
Kebanyakan kita, lelaki tentunya, telah menganggap menangis itu aib. Tak peduli badai hampir merobohkan kita, kita tetap berusaha tegar. Untunglah kalau ketegaran itu tak menghanyutkan kita dalam arus deras yang semakin tak bisa dilawan saat kita telah mengalir di dalamnya. Jangan sampai air mata yang kita anggap aib tertampung dalam jarum suntik drug atau tersembunyi di dalam botol miras! Kedua pelarian ini hanya akan membawa kita terbang di atas angin–dan jelas-jelas bukan angin surga–bahkan akan membuat kita semakin menangis saat tiba waktunya untuk ‘turun angin’ alias terhempas.
Baik buruknya cuaca dalam hati, berpengaruh besar akan datangnya mendung yang akan membawa hujan air mata. Itu berarti, air mata itu bermuara dalam hati. Karena memang hati merupakan sumber inspirasi akal, ilmu, kesabaran, keberanian, kemuliaan, cinta, kehendak, dan seluruh sifat-sifat terpuji. Wanita ataupun lelaki, sama-sama punya hati. Lalu mengapa kita rela didiskriminasikan hanya gara-gara air mata yang tak ada dalil haramnya? Dalam urusan air mata, kita punya hak yang sama dengan wanita.
Jadi, menangislah! Tentu saja bukan dengan tangis yang berelebihan, apalagi diselingi dengan ratapan dan menyesali takdir. Jangan takut dianggap sebagai lelaki lemah, cengeng, atau bahkan lelaki buaya. Salah, masalah, dan masa lalu–yang selama ini menjadi hulu dari sungai air mata–adalah milik semua orang. Akui salah dengan maaf dan taubat, atasi masalah dengan berkisah pada orang-orang terdekat, dan lupakan masa lalu yang tak lain hanyalah kisah lalu yang memang harus diganti dengan cerita masa depan! Bahkan boleh jadi, obat hati itu bukan hanya lima perkara seperti yang kita kenal lewat ‘Tombo Ati’, melainkan enam perkara, di mana perkara keenam adalah menangis.
DR. ‘Aidh Al Qarni, penulis buku fenomenal La Tahzan (Jangan Bersedih) bahkan menuliskan jika “Rintih tangis orang yang bertaubat lebih dicintai Allah daripada gemuruh ujub suara orang yang beribadah. Penyesalan, kesedihan, dan rasa remuk redam hati orang yang berbuat dosa lebih baik daripada kesombongan seorang ahli ibadah terhadap amal-amalnya.” Jadi mengapa harus malu untuk menangis, apalagi jika itu menangis karena taubat?
Sekali lagi, menangislah! Sebelum Allah memaksa kita untuk menangis dengan ujian-ujiannya. Boleh jadi, bencana yang menimpa kita selama ini, akibat ulah kita yang malu menangis di depan Allah, malu mengakui kesalahan di depan Allah tapi sebaliknya, kita malah melarikan salah, masalah, dan masa lalu kita ke sebuah lembah yang disebut lembah hitam.
Saudaraku, jika menangis bisa membuatmu ‘tersenyum’, jangan simpan air mata itu. Alirkan padaku, lalu kita pertemukan air mata kita dalam sebuah muara yang di atasnya berdiri sebuah istana terapung. Di istana itu kita berbagi keluh, berbagi kisah. Kutunggu! Lalu kita bersama, mendaur ulang air mata itu menjadi kristal-kristal senyum.
*Tulisan ini kutulis empat tahun lalu dan kudapatkan lagi saat berusaha menyembunyikan air mata.

lanjutan cerita......

22.4.10

MEMPERTAJAM FIRASAT


MEMPERTAJAM FIRASAT

Daripada mimpi buruk itu menjelma lagi. Mungkin, tak ada salahnya firasat yang menjelma.
Mungkin…? Semoga bukan apatis. Saya benar-benar takut dengan mimpi itu. Kematian itu milik semua orang. Tapi mimpi buruk itu? Mungkin hanya padaku. Jadi, semoga bukan apatis, mungkin firasat itu lebih baik menjelma. Wajahnya tak pernah bisa kukenali. Berganti rupa setiap datang. Kadang rupa monster, kadang rupa malaikat. Tapi bagiku semuanya adalah nightmare. Jika firasat itu datang menjelma, adakah bekalku telah cukup? Saya enggan berpikir bekal! Mimpi buruk itulah yang menguras semua bekalku selama ini. Saya takut, mimpi buruk itu datang menjelma, dan saya selalu rapuh untuk bisa melawannya.

lanjutan cerita......

17.4.10


SAAT MALAM
Kuyakin, malam ini saya tak bisa lagi tidur. Sampai pagi, mata ini tak akan bisa kubujuk untuk tidur. Dan yang paling kubenci, setiap mata tak bisa kompromi seperti ini, sesosok bayangan akan datang mempermainkanku. Jika kutepis, dia akan datang dalam mimpi burukku dalam tidurku esok hari.


Hhhhaahhhh…! Rongga dadaku sepertinya menyempit. Alveolusku sepertinya gagal melaksanakan tugasnya sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida. Arteri pulmonalisku seperti melebar, sedangkan vena pulmonalisku menyempit, membuat oksigen di rongga dadaku kurasa berkurang. Hhhhhahhh….! Sekali lagi kuhempas napas. Masih tetap sesak! Ya, Allah! Aku ingin tidur malam ini. Ingin sekali! Ya, Allah…. Sudilah menukar mimpi burukku selama ini dengan mimpi harapan.
Kini, tak cukup dengan menghempas napas! Kucoba mengelus dada dengan istighfar, semoga menjadi mantra pengusir sosok yang selalu hadir di mimpi burukku! Allahku, hanya Engkau yang mampu mengusir mimpi buruk itu! Jangan pernah datangkan lagi mimpi serupa itu di malam-malamku!
Malam semakin menanjak. Sebentar lagi akan tergelincir di subuh yang dingin. Gerimis tipis perlahan menebal, sayup, lalu tipis kembali. Tak usah kubujuk, mataku memang tak bisa terpejam malam ini. Tak mengapa! Demi tak bertemu sosok-sosok yang selalu hadir dalam mimpi burukku. Biarlah! Akkhhh, sepertinya saya telah terbiasa dengan kata ‘biarlah’. Mengapa sedikit pun saya tak pernah berusaha melawan? Ahhh… biarlah! Buat apa melawan, ini adalah takdir, meski kutahu setengahnya adalah pilihanku!
Allahku…! Engkau seperti prasangkaku, kan? Dan saya akan selalu datang padamu dengan prasangka baik! Engkau akan mengusir sosok-sosok itu dari mimpi burukku! Engkau akan menggantinya dengan mimpi manis yang seumur hidupku belum pernah kurasakan! Belum pernah ya, Allah! Mungkinkah malam ini terkabul ya, Allah? Mungkin mustahil, karena saya telah yakin, malam ini saya takkan bisa tertidur! Kutunggu di malam-malam berikutnya, wahai Yang Tak Pernah Tidur! Kuakan selalu menunggu, wahai Yang Tak Beranak dan Tak Diperanakkan! Hanya Engkau!!!!!

lanjutan cerita......

29.3.10

Kolam Susu


KOLAM SUSU
Oleh: S. Gegge Mappangewa

Akhirnya Enal bisa tersenyum lega. Setelah tiga kali ditolak, proposal nikahnya akhirnya mendapat respon positif. Dasar Enal orangnya gigih, meski ditolak bahkan diceramahi soal pernikahan, tetap saja dia ajukan proposal serupa. Mamanya akhirnya angkat tangan, papanya membuka kedua belah tangan. Ningsih adiknya, juga ikutan pasrah. Padahal sebelumnya, dia yang paling ngotot melarang Enal menikah.
“Aku nggak setuju kalo Kak Enal cepat nikah,” begitu katanya dalam rapat keluarga.


“Karena takut nggak ada yang nganterin kan? Nggak ada lagi yang kiri kanan ngurus kamu? Itu namanya egois!”
Dibilangin begitu, Ningsih cepat menampik, meski sebenarnya memang itulah alasan utama menolak proposal Enal.
“Eh siapa juga yang takut kehilangan kakak seperti kamu. Aku tuh cuma kasihan. Ntar abis nikah mau kerja apa, ntar punya anak mau beli susu dari mana?”
“Kan ada ASI?”
“Kalo ASI istrimu nggak lancar? Anakmu mau nyosor sembarangan seperti kamu?”
“Hussh!” tegur mamanya, Ningsih langsung bisu.
Dibilangin nyosor sembarangan, muka Enal langsung digantungi kabut tebal. Memang sih, selama ini dia dan Ningsih hanyalah saudara sesusuan. Ibu Enal meninggal sejak dia masih bayi. Nggak ada ikatan darah antara orangtua mereka, cuma kebetulan saja, mama Ningsih saat itu satu kontrakan dengan ibu Enal, jadi dia yang mengulur tangan mengurus Enal.
Seperti pada ibunya, Enal juga nggak kenal ayahnya, karena meninggal saat Enal masih dalam kandungan. Untunglah orangtua Ningsih mau merawat dan memeliharanya seperti anak sendiri.
Orangtua Ningsih nggak pernah pilih kasih. Sejak kecil hingga Enal minta kawin seperti sekarang, setiap Ningsih dibelikan sesuatu, Enal dapat bagian yang sama. Dia nggak pernah kecewa, jika itu masalah pembagian kasih sayang. Hubungan dia dengan Ningsih pun, sebagaimana layaknya adik-kakak. Enal paling setia ngantar-jemput setiap Ningsih ada keperluan. Bahkan banyak di antara teman Ningsih, maupun teman Enal, nggak tahu jika mereka sebenarnya hanyalah saudara sesusuan.
Ningsih yang dulu ngotot melarang Enal nikah, sekarang melemah. Dia kasihan melihat Enal yang selalu merayu, merengek, bahkan sudah setengah memaksa pada mama dan papanya.
***
“Kapan bawa calonmu ke sini?”
Pertanyaan mamanya membuat Enal kaget. Ningsih yang melihat kekagetan itu, mengerutkan kening.
“Kenapa kaget? Pacar kamu nggak layak pamer ya?”
“Bukan gitu,”
“Terus kenapa?”
“Calonnya sementara dicari,” ucap Enal santai.
Giliran Ningsih dan mamanya yang kaget. Tentu saja bingung.
“Emang hilangnya di mana,” Ningsih nggak kuasa berlama-lama diserang penasaran.
“Bukan hilang,”
“Disambar orang?”
“Bukan...”
“Jangan-jangan kamu belum punya pacar. Nggak punya calon!”
“Yaa..gitu deh!”
Ningsih pukul jidat.
“Kamu gimana sih, Nal? Mama sama Papa tuh udah serius mau nikahin kamu. Papa bahkan udah nelpon temannya yang punya usaha percetakan buat cetak undangan kamu. Mama udah nelpon ke teman-teman arisan biar bantuin bikin kue. Tapi…” Mamanya geleng-geleng kepala.
“Mau nikah kok nggak ada calon. Emang ada dijual di mal, tinggal pilih, bayar, lalu bawa pulang? Ma, dia udah disunat belum? Jangan-jangan belum juga.”
“Ningsih!” bentak mamanya.
“Iya, bawel! Taunya ngeledek! Bantuin kek cari calonnya.”
Ningsih mempermainkan bola matanya. Cari calon buat Enal? Sepertinya itu pekerjaan asyik! Dia memang sudah lama promosikan Enal ke teman-teman kuliahnya.
“Tapi jangan pilih-pilih tebu, ya!”
“Ya, asal tebunya manis,”
Mamanya berlalu ke dapur sambil tertawa kecil.
“Mau yang kayak siapa? Temanku ada yang mirip selebritis…”
“Yang itu aja!” potong Enal cepat.
“Mirip Aming yang didandani ala banci. Mau?”
“Masa iya sih seperti itu. Pantes-pantesin dong! Aku kan cakep, berarti ceweknya harus cantik. Aku pintar, ceweknya tentulah nggak boleh yang bloon.”
“Makanya jangan langsung ngiler dengar mirip selebritis. Nanya dulu kek, hatinya gimana?”
“Oke deh, semuanya aku serahin ke kamu! Kamu, Mama, dan Papa yang audisi. Aku tinggal terima jadi!”
Enal bilang begitu karena dia tahu betul kalau Ningsih punya banyak teman yang cantik. Ningsih juga asyik-asyik aja terima pekerjaan itu. Toh, Enal cakep, pintar lagi! Dari dulu teman-temannya banyak yang nitip salam ke dia, tapi Ningsih cuekin karena takut nggak diperhatikan lagi kalau Enal sudah punya pacar.
***
Rara! Inilah finalis pertama yang Ningsih berhasil giring masuk rumah, setelah beberapa nama lain dicoret dalam daftar calon. Rara masih teman dekat Ningsih di kampus. Orangnya lembut, tuturnya nggak asal nyembur, dan juga sering kedapatan melirik Enal, saat Enal nganterin dia ke rumahnya.
Tapi Ningsih cuma ajak main ke rumah dulu. Dia belum to the point kalau Rara mau dijadikan adik ipar. Yang jelas, Ningsih sebagai penyeleksi pertama, menyatakan Rara sudah lolos seleksi. Berikutnya, giliran mama dan papanya sebagai eksekutor.
Biar mamanya leluasa mengajukan pertanyaan, dengan alasan ke kamar kecil, dia meninggalkan Rara di ruang tamu bersama mamanya.
“Aku boleh ngintip nggak?” tanya Enal saat Ningsih masuk kamarnya untuk memberi tahu kalau dia sudah dapat calonnya.
“Nggak usah! Yang jelas, kamu nggak akan kecewa!”
“Tapi aku kan penasaran. Kulitnya putih nggak, mulus nggak?”
“Eh, udah kubilang jangan pilih-pilih tebu!” sewot Ningsih, karena Rara yang dibawanya memang hitam manis.
“Bukan pilih tebu…”
“Sekali lagi kamu bicara, tanganmu kupatah tebu. Kalo mau yang persis seperti yang kamu suka, pilih sendiri! Kalo mau yang modis, carinya di mal. Mau yang kutu buku, carinya di perpus. Kalo mau yang alim, carinya di mesjid! Terserah!”
“Iya deh, kamu yang cariin. Tapi kamu tahu seleraku kan?”
Ningsih nyesal juga. Dia lupa sekali kalau Enal paling suka dengan cewek yang berkulit putih. Kalau ingat, dia pasti nggak akan bawa Rara. Dia takut, Enal akan kecewa, terpaksa menerima, lalu nggak bahagia. Enal memang super-care sama kulit, sering ribut pagi-pagi dengan Ningsih gara-gara dia paling betah ngurus daki di kamar mandi. Alasannya, malu kalau selesai kuliah, tapi surat lamaran kerja ditolak terus, gara-gara lebih banyak panu daripada berkas lamaran
“Kulitnya putih, kan? Kuning langsat, kan?” tanya Enal lagi.
“Iya, kuning langsat. Tapi langsat bonyok!“ ucap Ningsih lalu berlari keluar menemui Rara.
Tapi di ruang tamu, dia mendapatkan Rara dan mamanya saling berpelukan, menangis. Ningsih terpaku melihat adegan itu. Pikirnya, jangan-jangan Rara nggak lolos audisi, tereliminasi!
Enal yang diam-diam ngintip dari ventilasi kamar, memberanikan diri keluar saat melihat adegan menyedihkan itu.
“Enal…”
“Ya, Ma!” sahutnya pelan, menunduk.
Hanya sekali menyapu bersih wajah Rara dengan pandangan pertama tapi mendarat lama, Enal sudah jatuh suka. Dia nggak peduli kulitnya nggak putih, toh hitam manis. Tapi melihat Rara dan mamanya menangis, dia takut Rara bukanlah jodohnya.
“Rara ini saudara kamu!”
Enal. Ningsih. Mata mereka langsung membola, menyorot silih berganti ke wajah Rara dan mamanya.
“Tapi kata Mama, aku ini anak tunggal,”
“Iya, tapi Rara ini saudara sesusuan kamu. Sama seperti Ningsih,”
Mamanya akhirnya bernostalgia. Dulu, ASI mamanya nggak cukup untuk Ningsih sekaligus Enal, jadi mama Rara sering mengulurkan jasa, demi hidup Enal. Enal saat bayi, rewel! Jangankan mau minum pakai dot, sereal aja pilih-pilih!
***
Setelah Rara, kali ini Ningsih membawa Dian. Alasan diajak main ke rumah, padahal ingin diperkenalkan pada mamanya, sekaligus pada Enal. Harapnya sih, mama dan Enal suka. Ningsih selalu memastikan cewek manapun akan jatuh suka pada Enal karena cakepnya, juga pintarnya. Apalagi Ningsih selalu membawa cewek jomblo, termasuk Dian. Cuma persoalannya, Dian bersedia nikah dini atau nggak?
Ningsih juga heran, kok nikah dini sekarang lagi nge-trend. Ningsih sampai nggak mau sembarangan naksir di kampus, takut yang ditaksirnya malah sudah beranak istri. Dia yakin, keinginan Enal nikah, pasti karena teman-teman kuliahnya sebagian besar sudah pada nikah. Padahal menurut Ningsih, nggak berarti teman-teman sudah nikah, terus mau ikut-ikutan. Jangan sampai memang belum matang, atau malah nggak punya calon seperti yang dialami Enal.
Enal dan mamanya sedang ngobrol di ruang tamu, saat Ningsih datang membawa Dian. Saking terpesonanya pada Dian, Enal sampai nggak menjawab salam. Matanya menatap lurus, tanpa kedip ke arah Dian. Ningsih yang melihat itu, mengibaskan tatapan tajamnya ke arah Enal.
Usai menjinakkan tatapan nakal Enal, kali ini Ningsih menangkap sinyal aneh dari tatapan mamanya. Tatapan mama juga tanpa kedip dan ada kesan kenal pada wajah Dian. Pikirnya, jangan-jangan saudara sesusuan lagi! Akhh, cepat dia menepis pikiran itu. Nggak mungkin, lanjut batinnya. Dia sengaja membawa Dian, selain cantik dan ramah, Dian juga berasal dari Tangerang. Jauh dari Makassar! Jadi sangat kecil kemungkinan ada hubungan darah apalagi sampai saudara sesusuan dengan Enal.
“Jangan-jangan kamu anaknya Sri Wahyuni? Kamu mirip sekali,” ucap mamanya pelan.
Saat Dian mengangguk membenarkan kalimat itu, mamanya langsung memeluk Dian erat, sambil nangis. Ningsih, terlebih Enal, patah hati lagi!
“Enal, Ningsih ini saudara sesusuan kamu. Sebelum ke Tangerang, mamanya pernah di Makasar dan satu kontrakan dengan kami.”
Apa yang dikhawatirkan Ningsih, terjadi lagi. Dia jadi kesal mendengar cerita mamanya, tentang Enal yang hingga umur satu tahun masih juga minum ASI. Dan yang lebih membuat Ningsih trauma untuk mencarikan jodoh, ternyata Enal punya ibu susuan tujuh orang. Selama ini mamanya nggak pernah buka mulut karena nggak ingin Enal mengenang masa kecilnya yang tanpa ibu dan ayah.
Mamanya memang sangat menyayangi Enal. Alasan itu juga yang membuat mamanya bungkam pada semua masa kecil Enal. Dia takut, Enal meninggalkan rumah dan pergi mencari ibu susuannya yang lain. Mamanya juga yakin, kepintaran Enal yang luar biasa, karena percampuran ASI yang sempurna yang dikomsumsinya saat bayi.
“Eh kamu dari kecil emang rakus ya? Sampai tujuh ibu susuan. Rasain sekarang, mau nikah jadi susah!” serang Ningsih kesal saat Dian berlalu.
“Ya, mau gimana lagi. Masa iya mau nyesel, aku kan juga nggak ingat masa kecilku.” Enal berucap pelan.
Enal nggak bisa menyembunyikan kesedihannya. Secara nggak langsung, pertemuannya dengan saudara-saudara sesusuannya, membuat kenangan masa kecilnya, terkais. Meski mamanya punya kasih yang berlebih, tetaplah dia rindu pada sosok ayah dan ibu kandungnya.
“Aku nggak mau nikah dulu,” katanya dengan sedih yang mendalam.
Ya, Enal menangguhkan keinginannya untuk menikah. Dia merasa belum pernah membalas jasa pada orang-orang yang telah memberinya kehidupan selama ini. Pertemuannya dengan saudara sesusuannya, membuat dia terjaga. Dia punya utang budi yang banyak, mungkin lebih dari satu kolam susu. Dia nggak mau air susu itu dibalasnya dengan tuba, jika kelak dia menikah dan malah merepotkan mamanya, karena kuliahnya yang masih jauh dari skripsian. Dia nggak ingin kolam susu itu, tertetesi nila setitik pun!
“Aku ingin kuliah dulu,”
“Jadi tugas Mak Comblangku udah selesai?”
Enal mengangguk.
Tapi belum sempat dia berlalu meninggalkan Ningsih, seorang cewek berdiri di pintu dan memberi salam. Dia teman Ningsih. Lumayan cantik. Kulitnya putih, dan wajahnya terbingkai jilbab cokelat muda, yang membuat wajah putih itu semakin berkilau.
“Eh, Dinda. Tumben main ke sini,”
“Aku mau pinjam buku Sabotta kamu,”
“Boleh, ayo langsung ke kamarku!”
Sebelum masuk kamar, Enal menarik lengan Ningsih dan membisikkan sesuatu.
“Tanyain ke dia dong, dia waktu kecil minum ASI atau nge-dot!”
Ningsih mencubit pinggangnya.***


lanjutan cerita......