24.10.12

BAHASA STICKER, BAHASA NGE-STRIKE

Oleh: S. Gegge Mappangewa Tahun 1980-an, sticker belum banyak ditemukan seperti sekarang ini. Sticker yang paling sering ditemukan hanya satu jenis, yakni bergambar dua telapak tangan terbuka dan di tengahnya terdapat tempat photo ukuran pas photo, lalu di bawahnya terdapat kalimat; Hidupku Di Tangan-Mu, Tuhan. Sticker ini biasanya dipasang di motor ataupun di barang-barang yang biasa dibawa ke mana-mana. Sticker yang menjamur saat itu hanyalah sticker berjenis panache, yang biasa di-tatto-kan di badan dan hilang saat terkena air. Itu pun hanya bergambar lucu atau super hero yang hanya diminati anak-anak. Kini, di sepanjang jalan Makassar, berderet-deret penjual sticker. Bahkan di beberapa emperan mal terdapat etalase yang khusus menjual sticker. Kalimat sticker-nya pun beragam, mulai dari yang lucu, bijak, merk dagang dan merk kendaraan tertentu, hingga yang kalimatnya ‘nonjok’ atau kasar alias nge-strike. Kehadiran sticker-sticker ini, tentu saja pertanda bahwa pencipta kalimat-kalimat sticker tersebut adalah orang-orang yang kreatif. Seolah-olah, kehadiran sticker yang menjamur ini, menggantikan posisi kartu ucapan yang berisi kalimat romantis dan kalimat lucu, yang dulu pernah menjamur tahun 1990-an. Hanya saja, yang perlu disayangkan, jika kalimat pada kartu ucapan adalah kalimat romantis dan kalimat-kalimat lucu, maka pada sticker justru lebih banyak kata-kata yang kasar. Misalnya saja; Nabrak Benjol! Apa Lihat-Lihat? Nyalib Kiri, Banci! Hari Gini Oper Gigi, Ompong Kali! Pake m***ic, sekalian aja pake lipstik! Dilarang Baca, Bego! Maraknya kalimat-kalimat sticker serupa itu, tentu saja membuat orang yang sering membacanya akan terbiasa dengan kalimat-kalimat mengejek, melecehkan dan berkesan kasar. Dampaknya, dalam keseharian terutama remaja, kata-kata kasar tersebut seolah bukan lagi hal yang tak baik untuk diperdengarkan. Kalimat-kalimat kasar itu bahkan digunakan untuk bercanda tanpa merasa telah menyakiti lawan bicaranya. Dan jika sebuah kebiasaan terus berulang, maka akan membentuk karakter yang susah untuk menghapusnya. Kasus serupa telah terjadi pada penggunaan kata sundala’. Saking seringnya didengar di bahasa pergaulan anak-anak Makassar, membuat kata kasar ini tidak ‘sepedas’ lagi dengan makna aslinya. Padahal kata sundal menurut kamus bahasa Indonesia berarti; perempuan jalang, pelacur. Sedikit sekali remaja yang tahu arti kata sundal ini. Mereka tahunya, saat marah dia harus mengucapkan kalimat itu untuk melampiaskan emosinya. Entah itu kemarahan pada laki-laki ataupun pada perempuan. Lebih miris lagi, karena sering didengar dan diucapkan, kata super kasar ini malah biasa dibawa dalam kalimat bercanda yang malah membuat orang bukannya tersinggung tapi malah tertawa. Apalagi setelah muncul penghalusan katanya seperti suntili (Sundal Tiga Kali), kata ini sangat sering kita dengar di sela-sela pergaulan remaja. Kembali ke soal sticker. Jika kalimat-kalimat melecehkan yang ada di sticker ini tak tergantikan dengan hal lain yang lebih kreatif namun tetap positif, maka suatu saat perbandaharaan kata-kata kasar di kota yang menjunjung tinggi siri’ napacce ini akan semakin banyak. Bukan hanya itu, kelak kata-kata kasar tersebut akan menjadi karakter generasi berikutnya. Kreativitas generasi muda memang selalu terbuka luas meski tak harus melucu dengan kata-kata kasar. Soal pasar, bukankah Joger yang asli buatan anak negeri, yang mencap dirinya sebagai pabrik kata-kata, telah membuktikan kreativitas positifnya. Bukan hanya di Bali, kalimat khas Joger telah merambah mancanegara karena telah dijadikan sebagai oleh-oleh khas Bali. Baik di sticker maupun di kaos, kata-kata keluaran Joger selalu lebih lucu dan selalu teringat; Sejak kau tolak cintaku, aku tak bisa makan saat tidur, tak bisa tidur saat makan. Soda tak bisa menghapus dosa. Belanja nggak belanja tetap thank you! Every day is Sunday in Bali. Sekali lagi, sebenarnya kalimat-kalimat sticker yang umumnya ada di bagian belakang kendaraan di Makassar adalah bukti kreativitas remaja Makassar. Hanya perlu ‘ditertibkan’ dengan meyakini bahwa hal lucu tak harus kasar ataupun negatif. Pun, penulis tetap acungkan jempol untuk kreativitasnya yang tak kalah hebat dengan pabrik kata-kata yang lain. Kalimat sticker yang kreatif namun tak melecehkan misalnya; Jaga jarak, bukan muhrim! Warning, papaku polisi! Pinjam boleh, asal isi bensin. Dilarang nabrak, belum lunas! Bahasa sticker memang hal sepele, hanya hal kecil, hanya untuk lucu-lucuan, tapi bukankah hal-hal kecil jika dibiarkan akan membesar? Bukankan nila setitik bisa merusak susu sebelanga? Jika dibiarkan, bukan tak mungkin bahasa sticker yang dianggap sepele itu akan merusak generasi sebangsa. Api yang menghanguskan sebuah bangunan bertingkat biasanya bermula dari nyala lilin kecil atau bahkan dari nyala puntung rokok yang belum padam sempurna.

1 komentar:

Mugniar mengatakan...

Iya ya ... seharusnya benda2 seperti itu berisi kata2 positif. Seperti lagu2 juga. Sekarang banyak lagu yang isinya negatif macam lagu CInta Satu Malam itu ...

Btw, makasih ya pak sudah BW (blog walking ke blog saya) :)