16.8.09

Belajar Bijak (Hati-Hati Membanting Pintu!)


HATI-HATI MEMBANTING PINTU
OLEH: S. GEGGE MAPPANGEWA
Ramadhan datang mengetuk pintu. Kesempatan untuk membersihkan hati sekaligus melembutkannya. Karena begitu banyak di antara kita yang merasa telah memiliki hati yang sebersih-bersihnya, tapi ternyata tak bisa melembutkannya. Setahun perjalanan sejak Ramadhan yang lalu, adalah mustahil hati kita masih sebersih Syawal yang lalu. Tingkah, lisan hingga prasangka pasti pernah menyesatkan langkah kita, entah itu sengaja atau tidak.
Sejenak, mari kita renungkan, pada siapa kita pernah khilaf dalam tingkah dan lisan, pada siapa kita pernah berprasangka. Tingkah, lisan, dan prasangka yang mungkin telah membuat keakraban terlerai. Terlerai setelah terbakar amarah.
Sengaja ataupun tidak, entah mengapa, banyak sekali orang yang suka membanting pintu saat marah. Andai pintu bisa bicara, dia akan terheran-heran; “Lho, apa salah dan dosaku?” Dan andai pintu benar-benar bicara, dan mengucapkan kalimat itu, orang yang marah dan membanting pintu juga akan lebih heran; ”Lho, kok pintu bisa bicara?” :)

Biasanya, semakin besar kemarahan, semakin besar pula energi yang dikeluarkan untuk membanting pintu. Ingin kuingatkan, hati-hati membanting pintu! Jangan mentang-mentang pintu tak bisa bicara, tak bisa melawan, lalu meluapkan kemarahan pada pintu. Bukan takut salah banting lalu terjepit tangan sendiri.
Sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang telah kamu banting itu, kamu datangi kembali untuk kamu ketuk! Inilah peran yang paling susah dilakoni, mengetuk kembali pintu yang telah dibanting. Bukan keberanian, tapi kelembutan hatilah yang dibutuhkan untuk peran ini. Apalagi jika kita adalah manusia yang merasa harga diri premium, jangan harap kamu bisa datang lagi untuk mengetuk pintu itu! Bahkan dengan harga diri yang berkelas medium hingga kelas low pun akan ragu untuk melakukan peran ini. Ya, hampir tak ada yang pernah berani datang untuk mengetuk kembali pintu yang telah dibantingnya. Makanya, kuingatkan sekali lagi, hati-hati membanting pintu! Jangan sampai pintu yang kamu banting itu akan kamu datangi untuk kamu ketuk kembali!
Sebenarnya, meskipun susah, ada beberapa orang yang mampu melakukan ‘adegan berbahaya’ ini. Mereka adalah orang-orang yang harga dirinya berkelas no price. Tapi maukah kita disebut orang yang tak punya harga diri, no price? Karena selama ini, hampir di mata semua orang, meminta maaf adalah sebuah kehinaan. Dan ingin kukatakan, jika kamu mampu melakukannya, kamu bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price, tapi low profile. Bahkan hingga maafmu pun tak diterima, lalu kamu datang mengetuknya beribu-ribu kali, grafik harga dirimu akan semakin naik dan kamu sesungguhnya yang berkelas premium itu!
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jika esok atau lusa, seseorang datang mengetuk pintu hatimu yang telah dia banting, dia bukanlah orang yang harga dirinya berkelas no price.
Ramadhan datang mengetuk pintu. Jangan tunggu besok, mari mencari pintu yang telah kita banting untuk kita ketuk. Untuk memperbaiki kelas harga diri kita! Dan kamu jangan pernah merasa kelas premium kalau kamu belum pernah mengetuk pintu yang telah kamu banting! Jika kamu telah mampu melakukannya, jangan pernah lagi mengulangi membanting pintu! Semarah apapun kamu.





lanjutan cerita......

Belajar Bijak (Proudly Present)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan ATM dan STNK. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengganti dompetku yang umurnya telah lebih sepuluh tahun, tapi saya selalu berpikir, toh masih bagus, belum ada cacat. Hanya ukurannya yang kekecilan karena kartu-kartu semakin bertambah menghiasi dompet. Akhirnya, apa yang kukhawatirkan terjadi, ATM dan STNK tercecer entah kapan dan di mana. Saya bahkan baru sadar kalau ATM dan STNK itu hilang, setelah saya membeli dompet baru dan memindahkan semua isi dompet yang lama.
Pikiran mumet. Terbayang susahnya birokrasi jika kehilangan sesuatu. Harus ke kepolisian mengambil surat keterangan hilang, ke samsat urus STNK baru, bayar lagi, dan …. Ahhhh, saya mengambil napas panjang. ATM kublokir, selesai! Saya menunggu-nunggu, suatu saat ada orang yang menemukan barang-barang itu dan menghubungiku.
Tak cukup sepekan, doaku terkabul. Seseorang datang ke alamat yang tertera di STNK, alamatku saat masih kuliah dulu. Sayangnya, dia nggak mau menyerahkan STNK itu tanpa bertemu denganku. Bisa kutebak, dia meminta imbalan. Tapi nggak apa, bukankah memberi hadiah itu perlu. Apalagi, ini sebuah prestasi kejujuran!
Berbekal nomor telepon yang dia titipkan, saya mulai menyusuri keberadaan sang penemu, yang menurut tetangga yang bertemu dengannya, adalah seorang wanita paruh baya yang saat datang, membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil. Saat nomor itu kuhubungi, tepat ketika selesai shalat maghrib, yang mengangkatnya adalah seorang lelaki. Dan tahu apa jawabnya? Dengan bangganya dia berucap:
“Oooh, ATM dan STNK nya ditemukan istriku.”
“Kapan saya bisa ketemu, Pak!”
“Jangan sekarang, saya lagi di pesta minum!” ucapnya bangga.
Pesta minum? Saya kehabisan kata. Bisu. Meski kemudian saya bisa berucap lagi, itu dengan kalimat gugup. Bukan gugup karena takut pada dia yang ternyata “Dewa Mabuk”. Saya sangat-sangat tidak terbiasa dengan orang yang penuh rasa bangga menceritakan dosa-dosanya. Akhhhh… yang penting ATM dan STNK ku kembali.
Saya mulai melobi lagi. Bisa dibayangkan, melobi orang yang lagi mabuk? Tapi syukurlah, entah sadar atau tidak, dia memberitahukan alamatnya. Dan tanpa pikir panjang, saya ke rumahnya untuk menemui istrinya di sebuah perkampungan yang, maaf saja kalau saya sebut sebagai perkampungan kumuh.
Tiba di sana, saya mencoba menanyakan alamat lelaki yang malam itu tengah menikmati pesta minumnya. Tapi apa kata tetangganya?
“Ooohh, jangan cari dia kalo jam-jam begini, dia masih di tempat minumnya.”
Ternyata semua tetangganya sudah kenal dia sebagai “Dewa Mabuk”. Bagaimana tidak, saya saja yang baru dikenalnya lewat telepon, langsung memperkenalkan dirinya dengan bangga sebagai peminum. Semua bisa dibanggakan rupanya, termasuk dosa-dosa. Teringat pada lagu Ebit G. Ade; Mungkin Tuhan mulai enggan, melihat tingkah kita yang selalu bangga dengan dosa-dosa.
Ditemani seseorang, saya menyusuri lorong-lorong sempit menuju rumahnya. Di sana-sini terdengar irama dangdut. Dan langkahku tertahan di sebuah rumah berpintu kayu lapuk, tanpa perabot, sempit. Dadaku ikut menyempit! Seorang wanita muda dengan dua anaknya, menyambutku ramah. Kepala keluarga rumah tangga ini, sedang asyik mabuk-mabukkan. Dan sang istri menunggu di rumah, mungkin akan dibawakan oleh-oleh tamparan saat terlambat membukakan pintu, seperti yang selama ini dipersembahkan sinetron-sinetron. Yang penting ATM dan STNK ku kembali. Batinku lalu memberinya imbalan. Awalnya dia menolak, tapi saat uangnya kuberikan pada anaknya, anak itu menyambarnya lalu berlari masuk kamar.
***
Rupanya kisah belum berakhir meski STNK dan ATM ku sudah di tangan. Saat kuceritakan ke teman-teman tentang pengalaman itu, ternyata daerah yang kumasuki malam itu adalah wilayah abu-abu, lokalisasi terselubung, katanya! Benarkah…? Itu masih katanya…. Saya tak ingin dengan bangga men-judge!***



lanjutan cerita......