16.8.09

Belajar Bijak (Proudly Present)


Oleh : S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan yang lalu, saya kehilangan ATM dan STNK. Sebenarnya saya sudah lama ingin mengganti dompetku yang umurnya telah lebih sepuluh tahun, tapi saya selalu berpikir, toh masih bagus, belum ada cacat. Hanya ukurannya yang kekecilan karena kartu-kartu semakin bertambah menghiasi dompet. Akhirnya, apa yang kukhawatirkan terjadi, ATM dan STNK tercecer entah kapan dan di mana. Saya bahkan baru sadar kalau ATM dan STNK itu hilang, setelah saya membeli dompet baru dan memindahkan semua isi dompet yang lama.
Pikiran mumet. Terbayang susahnya birokrasi jika kehilangan sesuatu. Harus ke kepolisian mengambil surat keterangan hilang, ke samsat urus STNK baru, bayar lagi, dan …. Ahhhh, saya mengambil napas panjang. ATM kublokir, selesai! Saya menunggu-nunggu, suatu saat ada orang yang menemukan barang-barang itu dan menghubungiku.
Tak cukup sepekan, doaku terkabul. Seseorang datang ke alamat yang tertera di STNK, alamatku saat masih kuliah dulu. Sayangnya, dia nggak mau menyerahkan STNK itu tanpa bertemu denganku. Bisa kutebak, dia meminta imbalan. Tapi nggak apa, bukankah memberi hadiah itu perlu. Apalagi, ini sebuah prestasi kejujuran!
Berbekal nomor telepon yang dia titipkan, saya mulai menyusuri keberadaan sang penemu, yang menurut tetangga yang bertemu dengannya, adalah seorang wanita paruh baya yang saat datang, membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil. Saat nomor itu kuhubungi, tepat ketika selesai shalat maghrib, yang mengangkatnya adalah seorang lelaki. Dan tahu apa jawabnya? Dengan bangganya dia berucap:
“Oooh, ATM dan STNK nya ditemukan istriku.”
“Kapan saya bisa ketemu, Pak!”
“Jangan sekarang, saya lagi di pesta minum!” ucapnya bangga.
Pesta minum? Saya kehabisan kata. Bisu. Meski kemudian saya bisa berucap lagi, itu dengan kalimat gugup. Bukan gugup karena takut pada dia yang ternyata “Dewa Mabuk”. Saya sangat-sangat tidak terbiasa dengan orang yang penuh rasa bangga menceritakan dosa-dosanya. Akhhhh… yang penting ATM dan STNK ku kembali.
Saya mulai melobi lagi. Bisa dibayangkan, melobi orang yang lagi mabuk? Tapi syukurlah, entah sadar atau tidak, dia memberitahukan alamatnya. Dan tanpa pikir panjang, saya ke rumahnya untuk menemui istrinya di sebuah perkampungan yang, maaf saja kalau saya sebut sebagai perkampungan kumuh.
Tiba di sana, saya mencoba menanyakan alamat lelaki yang malam itu tengah menikmati pesta minumnya. Tapi apa kata tetangganya?
“Ooohh, jangan cari dia kalo jam-jam begini, dia masih di tempat minumnya.”
Ternyata semua tetangganya sudah kenal dia sebagai “Dewa Mabuk”. Bagaimana tidak, saya saja yang baru dikenalnya lewat telepon, langsung memperkenalkan dirinya dengan bangga sebagai peminum. Semua bisa dibanggakan rupanya, termasuk dosa-dosa. Teringat pada lagu Ebit G. Ade; Mungkin Tuhan mulai enggan, melihat tingkah kita yang selalu bangga dengan dosa-dosa.
Ditemani seseorang, saya menyusuri lorong-lorong sempit menuju rumahnya. Di sana-sini terdengar irama dangdut. Dan langkahku tertahan di sebuah rumah berpintu kayu lapuk, tanpa perabot, sempit. Dadaku ikut menyempit! Seorang wanita muda dengan dua anaknya, menyambutku ramah. Kepala keluarga rumah tangga ini, sedang asyik mabuk-mabukkan. Dan sang istri menunggu di rumah, mungkin akan dibawakan oleh-oleh tamparan saat terlambat membukakan pintu, seperti yang selama ini dipersembahkan sinetron-sinetron. Yang penting ATM dan STNK ku kembali. Batinku lalu memberinya imbalan. Awalnya dia menolak, tapi saat uangnya kuberikan pada anaknya, anak itu menyambarnya lalu berlari masuk kamar.
***
Rupanya kisah belum berakhir meski STNK dan ATM ku sudah di tangan. Saat kuceritakan ke teman-teman tentang pengalaman itu, ternyata daerah yang kumasuki malam itu adalah wilayah abu-abu, lokalisasi terselubung, katanya! Benarkah…? Itu masih katanya…. Saya tak ingin dengan bangga men-judge!***



0 komentar: