2.8.09

KESEMPATAN KEDUA
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Beberapa bulan terakhir, saya merasa dimata-matai seseorang. Merasa tak tenang. Semua orang di sekelilingku kucurigai, meski tak satu pun mata bisa kutangkap sebagai pelakunya. Saya selalu membujuk hati; itu hanya perasaanku! Tapi semakin kubujuk, semakin kurasa ada sebuah hidden camera yang mengintaiku. Dan mungkin ini bukan lagi curiga, tapi phobia akut. Saking akutnya, getar sms pun kadang membuat dadaku bergemuruh-gemuruh. Beberapa teman yang kutempati sharing malah menganggapku suspect jin. Sungguh terlalu

Saya teringat dengan seorang sahabat saat kuliah dulu. Dia pernah merasakan phobia seperti ini. Hingga suara langkah kaki di luar rumah pun, kadang membuatnya lari sembunyi ke kolong ranjang. Tapi saya tak separah itu. Penyebabnya pun berbeda. Dia phobia karena drug. Semua yang di sekitarnya dianggap sebagai mata-mata yang siap menjebloskannya ke penjara.
Padahal penjara tak sekejam yang ada di benaknya. Hanya persoalan reputasi yang tercemar sebagai napi. Dan napi pun tak selamanya bernoda. Setahun lalu (April 2008) saya diundang untuk berbagi ilmu kepenulisan di Lapastika (Lembaga Pemasyarakatan Narkotika) di Bolangi. Di benakku, saya akan berhadap-hadapan dengan wajah-wajah sangar. Tapi setelah bertemu dengan mereka, ada keinginan untuk memperpanjang tangan, melebarkan bahu, untuk merangkul mereka semua. Beberapa di antaranya bahkan pernah jadi ‘korbanku’. Korban dalam arti penggemar, pernah terbuai dengan cerpen-cerpenku di majalah remaja.
Dan pekan lalu, saya dapat kesempatan lagi untuk masuk di Lapas itu. Masih sebagai pemateri kepenulisan, dan mudah-mudahan tidak akan pernah masuk sebagai napi Pesertanya berbeda dengan setahun lalu. Tapi semua masih tak sesangar yang kubayangkan. Saat sesi istirahat, saya ke mushalla, beberapa napi datang menyalamiku. Ternyata, mereka adalah peserta setahun lalu. Semua penuh senyum!
“Kak, saya masih di sini! Tiga tahun lagi saya akan bebas!”
Tiga tahun? Ya, tiga tahun dari enam tahun masa hukuman yang harus dilaluinya. Tapi semua masih penuh senyum. Betah Mungkin?
Saat materiku selesai, seorang peserta datang menghampiriku. Dari tatapannya, dan gerak bibirnya yang susah berucap, kutahu dia ingin berahasia denganku. Saya mengerti, lalu mengambil langkah menghindar dari napi yang lain yang cerita denganku. Saya punya waktu tak cukup lima menit dengannya. Karena jam tiga tengngng, saya harus meninggalkan Lapas. Begitu aturannya!
Ternyata dari biodataku, dia tahu kalo saya satu kabupaten dengannya, meski tak satu kampung!
“Kak, minta tolong, hubungi keluargaku! Mereka nggak tahu kalo saya di sini.”
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Setahun lebih! Saya tertangkap saat ke Makassar untuk jalan-jalan. Awalnya saya nggak ingin keluargaku tahu kalo saya ada di sini. Tapi, saya harus jujur, saya tetap membutuhkan mereka!”
Deggg!!! Seolah ada pukulan keras yang menghantam dadaku. Setahun raib dari keluarga? Bisa kubayangkan, meski tak ingin kurasakan, bagaimana dahsyatnya perasaan sedih yang menjeram di balik dadanya.
Saya mengangguk, mengiyakan permintaannya, lalu mengambil langkah pergi darinya. Kurasakan tatapannya masih menancap di punggungku, tapi saya tak berbalik membalas tatapan itu. Dan ketika langkahku tiba di luar Lapas, di balik dinding-dinding kokoh itu, hatiku merapuh. Di balik dinding kokoh yang baru saja kumasuki, begitu banyak hati yang menyesali masa lalunya. Allah memberiku lagi kesempatan bertemu dengan orang-orang yang pernah melalaikan waktu luangnya. Ya, kesempatan sering datang mengetuk pintu, tapi tak ada orang yang membukakan pintu untuknya. Mungkin saya pun pernah mendengar ketukan pintu itu, tapi saya pura-pura tuli, tak mau mendengar, dan ketika kesempatan emas itu berlalu, mungkinkah ada kesempatan kedua?***


0 komentar: