29.3.10

Kolam Susu


KOLAM SUSU
Oleh: S. Gegge Mappangewa

Akhirnya Enal bisa tersenyum lega. Setelah tiga kali ditolak, proposal nikahnya akhirnya mendapat respon positif. Dasar Enal orangnya gigih, meski ditolak bahkan diceramahi soal pernikahan, tetap saja dia ajukan proposal serupa. Mamanya akhirnya angkat tangan, papanya membuka kedua belah tangan. Ningsih adiknya, juga ikutan pasrah. Padahal sebelumnya, dia yang paling ngotot melarang Enal menikah.
“Aku nggak setuju kalo Kak Enal cepat nikah,” begitu katanya dalam rapat keluarga.


“Karena takut nggak ada yang nganterin kan? Nggak ada lagi yang kiri kanan ngurus kamu? Itu namanya egois!”
Dibilangin begitu, Ningsih cepat menampik, meski sebenarnya memang itulah alasan utama menolak proposal Enal.
“Eh siapa juga yang takut kehilangan kakak seperti kamu. Aku tuh cuma kasihan. Ntar abis nikah mau kerja apa, ntar punya anak mau beli susu dari mana?”
“Kan ada ASI?”
“Kalo ASI istrimu nggak lancar? Anakmu mau nyosor sembarangan seperti kamu?”
“Hussh!” tegur mamanya, Ningsih langsung bisu.
Dibilangin nyosor sembarangan, muka Enal langsung digantungi kabut tebal. Memang sih, selama ini dia dan Ningsih hanyalah saudara sesusuan. Ibu Enal meninggal sejak dia masih bayi. Nggak ada ikatan darah antara orangtua mereka, cuma kebetulan saja, mama Ningsih saat itu satu kontrakan dengan ibu Enal, jadi dia yang mengulur tangan mengurus Enal.
Seperti pada ibunya, Enal juga nggak kenal ayahnya, karena meninggal saat Enal masih dalam kandungan. Untunglah orangtua Ningsih mau merawat dan memeliharanya seperti anak sendiri.
Orangtua Ningsih nggak pernah pilih kasih. Sejak kecil hingga Enal minta kawin seperti sekarang, setiap Ningsih dibelikan sesuatu, Enal dapat bagian yang sama. Dia nggak pernah kecewa, jika itu masalah pembagian kasih sayang. Hubungan dia dengan Ningsih pun, sebagaimana layaknya adik-kakak. Enal paling setia ngantar-jemput setiap Ningsih ada keperluan. Bahkan banyak di antara teman Ningsih, maupun teman Enal, nggak tahu jika mereka sebenarnya hanyalah saudara sesusuan.
Ningsih yang dulu ngotot melarang Enal nikah, sekarang melemah. Dia kasihan melihat Enal yang selalu merayu, merengek, bahkan sudah setengah memaksa pada mama dan papanya.
***
“Kapan bawa calonmu ke sini?”
Pertanyaan mamanya membuat Enal kaget. Ningsih yang melihat kekagetan itu, mengerutkan kening.
“Kenapa kaget? Pacar kamu nggak layak pamer ya?”
“Bukan gitu,”
“Terus kenapa?”
“Calonnya sementara dicari,” ucap Enal santai.
Giliran Ningsih dan mamanya yang kaget. Tentu saja bingung.
“Emang hilangnya di mana,” Ningsih nggak kuasa berlama-lama diserang penasaran.
“Bukan hilang,”
“Disambar orang?”
“Bukan...”
“Jangan-jangan kamu belum punya pacar. Nggak punya calon!”
“Yaa..gitu deh!”
Ningsih pukul jidat.
“Kamu gimana sih, Nal? Mama sama Papa tuh udah serius mau nikahin kamu. Papa bahkan udah nelpon temannya yang punya usaha percetakan buat cetak undangan kamu. Mama udah nelpon ke teman-teman arisan biar bantuin bikin kue. Tapi…” Mamanya geleng-geleng kepala.
“Mau nikah kok nggak ada calon. Emang ada dijual di mal, tinggal pilih, bayar, lalu bawa pulang? Ma, dia udah disunat belum? Jangan-jangan belum juga.”
“Ningsih!” bentak mamanya.
“Iya, bawel! Taunya ngeledek! Bantuin kek cari calonnya.”
Ningsih mempermainkan bola matanya. Cari calon buat Enal? Sepertinya itu pekerjaan asyik! Dia memang sudah lama promosikan Enal ke teman-teman kuliahnya.
“Tapi jangan pilih-pilih tebu, ya!”
“Ya, asal tebunya manis,”
Mamanya berlalu ke dapur sambil tertawa kecil.
“Mau yang kayak siapa? Temanku ada yang mirip selebritis…”
“Yang itu aja!” potong Enal cepat.
“Mirip Aming yang didandani ala banci. Mau?”
“Masa iya sih seperti itu. Pantes-pantesin dong! Aku kan cakep, berarti ceweknya harus cantik. Aku pintar, ceweknya tentulah nggak boleh yang bloon.”
“Makanya jangan langsung ngiler dengar mirip selebritis. Nanya dulu kek, hatinya gimana?”
“Oke deh, semuanya aku serahin ke kamu! Kamu, Mama, dan Papa yang audisi. Aku tinggal terima jadi!”
Enal bilang begitu karena dia tahu betul kalau Ningsih punya banyak teman yang cantik. Ningsih juga asyik-asyik aja terima pekerjaan itu. Toh, Enal cakep, pintar lagi! Dari dulu teman-temannya banyak yang nitip salam ke dia, tapi Ningsih cuekin karena takut nggak diperhatikan lagi kalau Enal sudah punya pacar.
***
Rara! Inilah finalis pertama yang Ningsih berhasil giring masuk rumah, setelah beberapa nama lain dicoret dalam daftar calon. Rara masih teman dekat Ningsih di kampus. Orangnya lembut, tuturnya nggak asal nyembur, dan juga sering kedapatan melirik Enal, saat Enal nganterin dia ke rumahnya.
Tapi Ningsih cuma ajak main ke rumah dulu. Dia belum to the point kalau Rara mau dijadikan adik ipar. Yang jelas, Ningsih sebagai penyeleksi pertama, menyatakan Rara sudah lolos seleksi. Berikutnya, giliran mama dan papanya sebagai eksekutor.
Biar mamanya leluasa mengajukan pertanyaan, dengan alasan ke kamar kecil, dia meninggalkan Rara di ruang tamu bersama mamanya.
“Aku boleh ngintip nggak?” tanya Enal saat Ningsih masuk kamarnya untuk memberi tahu kalau dia sudah dapat calonnya.
“Nggak usah! Yang jelas, kamu nggak akan kecewa!”
“Tapi aku kan penasaran. Kulitnya putih nggak, mulus nggak?”
“Eh, udah kubilang jangan pilih-pilih tebu!” sewot Ningsih, karena Rara yang dibawanya memang hitam manis.
“Bukan pilih tebu…”
“Sekali lagi kamu bicara, tanganmu kupatah tebu. Kalo mau yang persis seperti yang kamu suka, pilih sendiri! Kalo mau yang modis, carinya di mal. Mau yang kutu buku, carinya di perpus. Kalo mau yang alim, carinya di mesjid! Terserah!”
“Iya deh, kamu yang cariin. Tapi kamu tahu seleraku kan?”
Ningsih nyesal juga. Dia lupa sekali kalau Enal paling suka dengan cewek yang berkulit putih. Kalau ingat, dia pasti nggak akan bawa Rara. Dia takut, Enal akan kecewa, terpaksa menerima, lalu nggak bahagia. Enal memang super-care sama kulit, sering ribut pagi-pagi dengan Ningsih gara-gara dia paling betah ngurus daki di kamar mandi. Alasannya, malu kalau selesai kuliah, tapi surat lamaran kerja ditolak terus, gara-gara lebih banyak panu daripada berkas lamaran
“Kulitnya putih, kan? Kuning langsat, kan?” tanya Enal lagi.
“Iya, kuning langsat. Tapi langsat bonyok!“ ucap Ningsih lalu berlari keluar menemui Rara.
Tapi di ruang tamu, dia mendapatkan Rara dan mamanya saling berpelukan, menangis. Ningsih terpaku melihat adegan itu. Pikirnya, jangan-jangan Rara nggak lolos audisi, tereliminasi!
Enal yang diam-diam ngintip dari ventilasi kamar, memberanikan diri keluar saat melihat adegan menyedihkan itu.
“Enal…”
“Ya, Ma!” sahutnya pelan, menunduk.
Hanya sekali menyapu bersih wajah Rara dengan pandangan pertama tapi mendarat lama, Enal sudah jatuh suka. Dia nggak peduli kulitnya nggak putih, toh hitam manis. Tapi melihat Rara dan mamanya menangis, dia takut Rara bukanlah jodohnya.
“Rara ini saudara kamu!”
Enal. Ningsih. Mata mereka langsung membola, menyorot silih berganti ke wajah Rara dan mamanya.
“Tapi kata Mama, aku ini anak tunggal,”
“Iya, tapi Rara ini saudara sesusuan kamu. Sama seperti Ningsih,”
Mamanya akhirnya bernostalgia. Dulu, ASI mamanya nggak cukup untuk Ningsih sekaligus Enal, jadi mama Rara sering mengulurkan jasa, demi hidup Enal. Enal saat bayi, rewel! Jangankan mau minum pakai dot, sereal aja pilih-pilih!
***
Setelah Rara, kali ini Ningsih membawa Dian. Alasan diajak main ke rumah, padahal ingin diperkenalkan pada mamanya, sekaligus pada Enal. Harapnya sih, mama dan Enal suka. Ningsih selalu memastikan cewek manapun akan jatuh suka pada Enal karena cakepnya, juga pintarnya. Apalagi Ningsih selalu membawa cewek jomblo, termasuk Dian. Cuma persoalannya, Dian bersedia nikah dini atau nggak?
Ningsih juga heran, kok nikah dini sekarang lagi nge-trend. Ningsih sampai nggak mau sembarangan naksir di kampus, takut yang ditaksirnya malah sudah beranak istri. Dia yakin, keinginan Enal nikah, pasti karena teman-teman kuliahnya sebagian besar sudah pada nikah. Padahal menurut Ningsih, nggak berarti teman-teman sudah nikah, terus mau ikut-ikutan. Jangan sampai memang belum matang, atau malah nggak punya calon seperti yang dialami Enal.
Enal dan mamanya sedang ngobrol di ruang tamu, saat Ningsih datang membawa Dian. Saking terpesonanya pada Dian, Enal sampai nggak menjawab salam. Matanya menatap lurus, tanpa kedip ke arah Dian. Ningsih yang melihat itu, mengibaskan tatapan tajamnya ke arah Enal.
Usai menjinakkan tatapan nakal Enal, kali ini Ningsih menangkap sinyal aneh dari tatapan mamanya. Tatapan mama juga tanpa kedip dan ada kesan kenal pada wajah Dian. Pikirnya, jangan-jangan saudara sesusuan lagi! Akhh, cepat dia menepis pikiran itu. Nggak mungkin, lanjut batinnya. Dia sengaja membawa Dian, selain cantik dan ramah, Dian juga berasal dari Tangerang. Jauh dari Makassar! Jadi sangat kecil kemungkinan ada hubungan darah apalagi sampai saudara sesusuan dengan Enal.
“Jangan-jangan kamu anaknya Sri Wahyuni? Kamu mirip sekali,” ucap mamanya pelan.
Saat Dian mengangguk membenarkan kalimat itu, mamanya langsung memeluk Dian erat, sambil nangis. Ningsih, terlebih Enal, patah hati lagi!
“Enal, Ningsih ini saudara sesusuan kamu. Sebelum ke Tangerang, mamanya pernah di Makasar dan satu kontrakan dengan kami.”
Apa yang dikhawatirkan Ningsih, terjadi lagi. Dia jadi kesal mendengar cerita mamanya, tentang Enal yang hingga umur satu tahun masih juga minum ASI. Dan yang lebih membuat Ningsih trauma untuk mencarikan jodoh, ternyata Enal punya ibu susuan tujuh orang. Selama ini mamanya nggak pernah buka mulut karena nggak ingin Enal mengenang masa kecilnya yang tanpa ibu dan ayah.
Mamanya memang sangat menyayangi Enal. Alasan itu juga yang membuat mamanya bungkam pada semua masa kecil Enal. Dia takut, Enal meninggalkan rumah dan pergi mencari ibu susuannya yang lain. Mamanya juga yakin, kepintaran Enal yang luar biasa, karena percampuran ASI yang sempurna yang dikomsumsinya saat bayi.
“Eh kamu dari kecil emang rakus ya? Sampai tujuh ibu susuan. Rasain sekarang, mau nikah jadi susah!” serang Ningsih kesal saat Dian berlalu.
“Ya, mau gimana lagi. Masa iya mau nyesel, aku kan juga nggak ingat masa kecilku.” Enal berucap pelan.
Enal nggak bisa menyembunyikan kesedihannya. Secara nggak langsung, pertemuannya dengan saudara-saudara sesusuannya, membuat kenangan masa kecilnya, terkais. Meski mamanya punya kasih yang berlebih, tetaplah dia rindu pada sosok ayah dan ibu kandungnya.
“Aku nggak mau nikah dulu,” katanya dengan sedih yang mendalam.
Ya, Enal menangguhkan keinginannya untuk menikah. Dia merasa belum pernah membalas jasa pada orang-orang yang telah memberinya kehidupan selama ini. Pertemuannya dengan saudara sesusuannya, membuat dia terjaga. Dia punya utang budi yang banyak, mungkin lebih dari satu kolam susu. Dia nggak mau air susu itu dibalasnya dengan tuba, jika kelak dia menikah dan malah merepotkan mamanya, karena kuliahnya yang masih jauh dari skripsian. Dia nggak ingin kolam susu itu, tertetesi nila setitik pun!
“Aku ingin kuliah dulu,”
“Jadi tugas Mak Comblangku udah selesai?”
Enal mengangguk.
Tapi belum sempat dia berlalu meninggalkan Ningsih, seorang cewek berdiri di pintu dan memberi salam. Dia teman Ningsih. Lumayan cantik. Kulitnya putih, dan wajahnya terbingkai jilbab cokelat muda, yang membuat wajah putih itu semakin berkilau.
“Eh, Dinda. Tumben main ke sini,”
“Aku mau pinjam buku Sabotta kamu,”
“Boleh, ayo langsung ke kamarku!”
Sebelum masuk kamar, Enal menarik lengan Ningsih dan membisikkan sesuatu.
“Tanyain ke dia dong, dia waktu kecil minum ASI atau nge-dot!”
Ningsih mencubit pinggangnya.***


lanjutan cerita......