4.1.11

SALAHKAH AKU MENANGIS



Oleh: S. Gegge Mappangewa

Lelaki selalu identik dengan kesempurnaan. Tegar, kekar, sangar, dan seluruh yang berhubungan dengan gagah-gagahan berakar pada lelaki. Hingga ada kesan bahwa telaga air mata yang ada di balik retina lelaki, kering! Atau mungkin, bahwa bendungan air mata milik lelaki telah dirancang sekokoh mungkin, tanpa ada celah yang bisa dirembesi cairan setitik pun. Atau bahkan air mata lelaki memang mengandung gas methane, yang bisa membahayakan jika keluar, hingga tak ada jalan lain kecuali harus menguap begitu saja?
Padahal, jangan salah, sudah banyak dilakukan penelitian ilmiah yang membuktikan bahwa menangis memiliki manfaat bagi kesehatan, baik manfaat fisik (jasmani) maupun manfaat psikis (ruhani). Dr Simon Moore, psikolog dari London Metropolitan University mengatakan, "Menangis adalah pelepasan emosi yang paling tepat saat kita tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata" . Menurut Profesor William Frey, ahli tangis dari AS, bahwa air mata yang dikeluarkan saat kita sedang emosional mengandung hormon endorphin atau stres sehingga bisa membuat perasaan lebih plong. Menangis juga diketahui bisa menurunkan tekanan darah dan denyut nadi.
No woman no cry! Dari ungkapan ini, seolah lelaki yang telah terlanjur kebobolan bendungan air matanya, bukanlah lelaki sejati. Saking tak ingin dianggap cengeng, beberapa lelaki mengaku lebih berani meneteskan darah di depan umum daripada meneteskan air mata. Tak heran, begitu banyak persoalan yang bisa diselesaikan dengan kata maaf, bahkan mungkin dengan setetes air mata tanda sesal, malah diselesaikan dengan kekerasan yang bukan tak mungkin menkucurkan darah, dan inilah yang disebutnya sebagai penyelesaian secara jantan. Sesat pastinya. Sesal nantinya!
Kalaupun ada lelaki yang menggunakan air mata sebagai pelarian untuk mengungkapkan kesedihannnya, air mata itu kembali disangsikan oleh orang yang melihatnya. Air mata buaya, begitu kata banyak orang! Boleh jadi, takut dianggap sebagai lelaki buaya beberapa lelaki lebih memilih menangis sendiri, atau bahkan berusaha muncul di permukaan setegar mungkin, padahal sebenarnya jiwanya tenggelam dalam lautan air mata yang tersembunyi di balik dada. Sesak tentunya!
Padahal air mata tak boleh menjadi ukuran, sejati atau matinya seorang lelaki. Pemain bola dunia yang begitu kekar, yang sedikit pun tak punya sisi feminin, toh banyak yang mengakui kekalahannya dengan air mata. Sahabat Rasulullah yang terkenal galak, Umar bin Khattab, ternyata sering menangis dalam shalatnya, hingga terdengar oleh makmun di shaf belakang.
Kebanyakan kita, lelaki tentunya, telah menganggap menangis itu aib. Tak peduli badai hampir merobohkan kita, kita tetap berusaha tegar. Untunglah kalau ketegaran itu tak menghanyutkan kita dalam arus deras yang semakin tak bisa dilawan saat kita telah mengalir di dalamnya. Jangan sampai air mata yang kita anggap aib tertampung dalam jarum suntik drug atau tersembunyi di dalam botol miras! Kedua pelarian ini hanya akan membawa kita terbang di atas angin–dan jelas-jelas bukan angin surga–bahkan akan membuat kita semakin menangis saat tiba waktunya untuk ‘turun angin’ alias terhempas.
Baik buruknya cuaca dalam hati, berpengaruh besar akan datangnya mendung yang akan membawa hujan air mata. Itu berarti, air mata itu bermuara dalam hati. Karena memang hati merupakan sumber inspirasi akal, ilmu, kesabaran, keberanian, kemuliaan, cinta, kehendak, dan seluruh sifat-sifat terpuji. Wanita ataupun lelaki, sama-sama punya hati. Lalu mengapa kita rela didiskriminasikan hanya gara-gara air mata yang tak ada dalil haramnya? Dalam urusan air mata, kita punya hak yang sama dengan wanita.
Jadi, menangislah! Tentu saja bukan dengan tangis yang berelebihan, apalagi diselingi dengan ratapan dan menyesali takdir. Jangan takut dianggap sebagai lelaki lemah, cengeng, atau bahkan lelaki buaya. Salah, masalah, dan masa lalu–yang selama ini menjadi hulu dari sungai air mata–adalah milik semua orang. Akui salah dengan maaf dan taubat, atasi masalah dengan berkisah pada orang-orang terdekat, dan lupakan masa lalu yang tak lain hanyalah kisah lalu yang memang harus diganti dengan cerita masa depan! Bahkan boleh jadi, obat hati itu bukan hanya lima perkara seperti yang kita kenal lewat ‘Tombo Ati’, melainkan enam perkara, di mana perkara keenam adalah menangis.
DR. ‘Aidh Al Qarni, penulis buku fenomenal La Tahzan (Jangan Bersedih) bahkan menuliskan jika “Rintih tangis orang yang bertaubat lebih dicintai Allah daripada gemuruh ujub suara orang yang beribadah. Penyesalan, kesedihan, dan rasa remuk redam hati orang yang berbuat dosa lebih baik daripada kesombongan seorang ahli ibadah terhadap amal-amalnya.” Jadi mengapa harus malu untuk menangis, apalagi jika itu menangis karena taubat?
Sekali lagi, menangislah! Sebelum Allah memaksa kita untuk menangis dengan ujian-ujiannya. Boleh jadi, bencana yang menimpa kita selama ini, akibat ulah kita yang malu menangis di depan Allah, malu mengakui kesalahan di depan Allah tapi sebaliknya, kita malah melarikan salah, masalah, dan masa lalu kita ke sebuah lembah yang disebut lembah hitam.
Saudaraku, jika menangis bisa membuatmu ‘tersenyum’, jangan simpan air mata itu. Alirkan padaku, lalu kita pertemukan air mata kita dalam sebuah muara yang di atasnya berdiri sebuah istana terapung. Di istana itu kita berbagi keluh, berbagi kisah. Kutunggu! Lalu kita bersama, mendaur ulang air mata itu menjadi kristal-kristal senyum.
*Tulisan ini kutulis empat tahun lalu dan kudapatkan lagi saat berusaha menyembunyikan air mata.

3 komentar:

Imamu hidate mengatakan...

Assalamualaikum Ya Akhi ! Sy penuhi janjiku, sy udh jln2 ke Blog Kakak. Wehh ... Cerpennya bgs bnget kak. Mdh2an sy jg bsa bkin cerpen kya kakak. Mohon Bimbinganx. Imam

umminyafardais mengatakan...

assalamualaikum....pasang jempol yang bny ah, disini...salam:)

Filosofia mengatakan...

Wah,,, awesome,postingan2 nya k gege keren2.. luar biasa