5.4.09

Sebagai Sahabat


ENTAH! Mungkin itu jawabku, jika ditanya kapan luka akibat kepergian Wilo, terlupakan di hatiku. Ya, terlupakan! Karena dulu aku mengangapnya sembuh, namun kini luka lagi. Dengan perih yang sama, sakit yang serupa!
Tak salah jika waktu adalah obat paling mujarab, terampuh untuk merawat luka. Tidak dengan siapa-siapa, tidak dengan ke mana, luka itu terawat sendiri bahkan terlupakan bersama waktu yang semakin beranjak. Kesedihan tertinggal setapak demi setapak, bersama mengeringnya air mata setetes demi setetes. Lalu berganti senyum, bahkan tawa, hingga berubah seperti kini. Seperti Ifah yang kini! Ifah tanpa masa lalu tentang Wilo.

Kalaupun kuakui, aku terluka lagi kini. Tak akan membuatku menangis. Wilo bahkan tak boleh tahu jika kemarin aku terluka. Yang dia harus tahu, aku tertawa bahkan melompat kegirangan saat berhasil mengusirnya dari hatiku.
“Kamu kurusan!” ucapnya setelah membiarkanku kembali ke masa lalu bersamanya.
“Ya, mungkin karena aku terlalu berambisi kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dengan Fakultas Kedokteran, pula. Apalagi saat ambisi itu terkabul, aku masih punya banyak mimpi. Aktif di organisasi, misalnya. Entah kenapa, aku merasa semakin sempurna dengan keadaanku saat berorasi di depan teman mahasiswa,” Panjang lebar aku bicara, demi menutupi keadaan yang sebenarnya terjadi sejak kepergiannya.
“Jadi bukan karena menyesal telah mencampakkanku?”
Aku tergelak. Bahkan menggeleng lantang meski hatiku merasa terpojok, seperti kedapatan nyolong dengan barang bukti di tangan.
“Wilo! Kalau aku menyesal karena telah mencampakkanmu, aku bisa aja kembali. Kapan aja, termasuk sekarang. Karena kutahu kamu akan terus mengharapku. Jadi buat apa aku rela berkurus-kurus hanya untuk menyesalinya.”
Aku tak berani menatapnya saat kalimat barusan kuucap. Kalimat yang telah menganggapnya sebagai cowok yang tak punya harga apa-apa, tak berarti sedikit pun. Padahal, begitu banyak cewek yang hanya mampu menelan ludah saat berangan memiliki Wilo yang cakep. Cewek harus punya plus tersendiri untuk bisa mendekati Wilo. Terutama karena Wilo sedikit dingin, bahkan berkesan berwibawa di permukaan.
“Terima kasih jika kamu mengerti bahwa aku masih mencintaimu hingga kini.”
Terhempas hatiku oleh badai tiba-tiba. Kucoba menenangkan gemuruh itu. Jika tidak, aku takut malah terbujuk untuk kembali padanya. Tidak! Tolong aku, Tuhan! Ya, hati yang tadi terhempas, kini tiba-tiba bersimpuh memohon. Aku menggeleng lagi, lantang! Saat kubayangkan wajah Erin terperangah mendengar kabar bahwa aku dan Wilo jadian.
“Wilo…Wilo! Harusnya waktu yang memisahkan kita selama ini, membuatmu lupa padaku. Apa susahnya, sih? Anggap aja aku enggak pantas untukmu. Terlalu tinggi untuk kau gapai, atau apa aja yang bisa membuatmu menyerah!”
Aku mengambil langkah pergi. Tanpa pamit! Berlama-lama dengannya, malah membuat luka lama itu lebih perih dari sebelumnya. Siapa sih yang bisa jauh dari Wilo, apalagi sampai mendapatkan penggantinya. Tidak ada! Bukan buta karena cinta, tapi memang semua yang kucari ada pada diri Wilo. Sayang, bukan hanya aku yang mendambanya. Ada Erin sahabatku!
Kudengar langkahnya memburu dari belakang. Bersama kalimat-kalimatnya yang membuatku ingin berbalik memeluknya. Tapi Erin? Aku tetap melangkah, meski saat tiba di tempat parkir, saat masuk dalam rongga Avanza-ku, aku belum bisa memutar kunci kontak lalu kabur. Aku bersandar di jok, di luar dia berdiri tanpa berani masuk mobil sebelum kubukakan pintu.
Curi lirik, kulihat dia bersandar di pintu mobil. Mungkin dia yakin aku akan keluar dan menemuinya untuk bicara. Aku masih mematung. Hanya tatapanku yang kuterbangkan cepat saat dia menangkapku tengah menatapnya. Tatap yang…? Aku tak tahu, perasaan apa yang ada di balik dadaku kini. Wilo semakin cakep, lebih berwibawa! Lalu ke mana Erin?
“Erin sering mencarimu,”
Suaranya kudengar dari luar, masih bersandar di pintu mobil. Suara itu membuatku menangis. Aku telah melukai dua orang sekaligus. Wilo dan Erin! Padahal semua kulakukan demi kebahagiaan keduanya. Aku tak sanggup menyaksikan tatapan Erin hampa meski bibirnya menuturkan kalimat yang penuh luapan kegembiraan.
“Kamu jadian dengan Wilo? Apa aku bilang, dia akan lebih memilihmu. Selamat deh!”
Jika aku bukan sahabatnya, jika aku tak mengenalnya sejak di bangku SD, aku tak akan mampu membaca kesedihannya saat menuturkan kalimatnya. Padahal dia tersenyum, bahkan tertawa saat itu. Berahun-tahun aku berbagi tawa dengannya, baru kali itu kulihat tawanya hanya di bibir. Tak ada di matanya!
Aku tak berani mengakui jika aku lebih cantik dari Erin. Tapi bisa kupastikan jika Wilo menjatuhkan pilihannya padaku hanya karena Erin yang punya masa lalu hitam dalam keluarganya. Saat itu, hampir semua siswa mencemohkannya, kecuali aku dan Wilo. Erin bahkan pernah memutuskan berhenti sekolah, hanya karena tak tahan mendengar gunjingan di sekolah. Tentang papanya yang terlibat affair dengan seorang selebritis.
Perihnya lagi, sosok papanya yang sering turun tangan dalam baksos sekolah, termuat di mading karena jasanya. Berganti dengan kliping tentang affair itu. Entah siapa yang mengedarkan kliping itu, guru atau siswa. Karena setahuku, banyak guru yang mengincar posisi papa Erin sebagai kepala sekolah. Juga banyak siswa yang iri dengan kepintaran Erin.
Aku ingin berbagi. Tapi tak tahu harus bagaimana, menjadi pelabuhan tangisnya, tentu saja tak cukup. Kurasakan berat mata ini memandang dukanya, tentulah lebih berat buat dia yang memikulnya. Aku ingin bebuat sesuatu untuk meringankan bebannya, tapi sekali lagi, aku tak tahu harus bagaimana.
Saat kudapatkan luka kehilangan di matanya saat aku jadian dengan Wilo barulah kusadar bahwa Wilo bisa membuatnya bahagia.
Aku ingin merasakan bagaimana perihnya saat Erin sahabatku, terkucil dari pergaulan, memendam luka karena kehilangan sosok papanya yang selalu dibangga-bangakannya. Satu-satunya cara untuk merasakan luka itu, hanya dengan membangga-banggakan Wilo lalu mencampakkannya.
Perih sekali! Saat aku harus memulai eksekusi itu. Menghina Wilo habis-habisan di depan umum, bahkan menamparnya! Bukan hanya Wilo yang tak percaya dengan perubahanku, tapi semua orang. Ifah yang manis berubah sinis, antagonis bahkan memandang rendah semua orang. Satu tujuanku, aku ingin dikucilkan! Merasakan derita Erin dulu. Dan seperti yang kuduga, Wilo melarikan cintanya ke Erin. Tujuanku pun tercapai!
Meski luka itu perih menyerang, aku tak menyesal dengan tindakan bodohku. Bukankah itu yang kuinginkan, merasakan luka yang pernah mendera sahabatku. Paling tidak, di antara kelukaan itu, aku telah merasakan diriku menjadi sahabat yang sempurna, sejati! Meski di mata semua orang, aku telah berubah sombong!
Jika ada yang tahu, betapa perihnya luka yang kurasa mungkin akan mengangkat jempol untukku! Tapi aku tak ingin itu, aku tak ingin Wilo atau siapa pun tahu. Kutakut Wilo semakin memburuku, meninggalkan Erin kembali!
“Erin ingin berbuat sesuatu untukmu. Demi mengembalikan kamu menjadi Ifah yang manis, lembut. Tidak seperti sekarang, angkuh! Tapi Erin, juga aku tak tahu harus berbuat apa. Bahkan tak mengerti, apa yang membuatmu berubah sedrastis itu.”
Entah pada menit kapan Wilo masuk ke rongga mobilku. Aku tak menyadarinya! Juga seperti tanpa sadar saat tanganku meraih handle pintu di sampingnya dan berucap kasar.
“Silakan keluar dari mobilku. Aku mau pergi!”
“Ifah! Katakan, apa yang membuatmu seperti ini…”
“Seperti apa? Inilah aku yang sebenarnya. Ifah yang tahun ini lulus masuk Kedokteran, tanpa gugup bicara di mimbar mahasiswa, bahkan bisa ganti mobil tiap hari. Dan mungkin bulan depan akan masuk dalam jajaran idola remaja, karena baru kemarin aku terjaring audisi untuk jadi bintang.
Jadi enggak cukupkah semua itu untuk kubanggakan, kusombongkan? Dan enggak cukupkah membuatmu mengerti bahwa kamu bukan levelku. Kamu pantasnya dengan Erin, puteri kepala sekolah yang terkucil karena dosa papanya?”
Berat sekali kulihat Wilo mengambil langkah turun dari mobilku. Aku ingin mengakhiri sandiwara ini. Aku tersiksa. Aku menangis! Tapi sebagai sahabat aku tak ingin melukai Erin lagi. Karena kutahu pasti, jika Wilo tahu aku terluka karena mencampakkannya, dia akan membuatku kembali bertekuk lutut di depannya. Aku tak mau itu!
Demi kamu, Erin! Bisik hatiku sambil memutar kunci kontak, lalu mengakselarasi mobilku. Melaju cepat, meninggalkan debu jalanan yang terbang mengotori wajah putih Wilo!
***


0 komentar: