28.4.09

Mawar Melati Semua Indah


Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
***************************************************************************************************


MAWAR MELATI SEMUA INDAH
Oleh: S. Gegge Mappangewa

NANDA meraih pulpen. Perih mengikuti jejak cerita yang akan digoreskannya. Sedih, lelah! Membuatnya tak bisa menggoreskan satu kata pun. Air matanya luruh tiba-tiba, saat karang hati yang pernah dibiarkan terhempas badai apapun, tumbang akhirnya. Dia pun mengalah! Melangkah menemui ibunya, yang memang menginginkan kekalahan itu.
“Inikah yang ibu inginkan?” ucapnya sambil mengibaskan rambut hitamnya.
Mata wanita yang dipanggilnya ibu, berbinar sudah. Tidak lagi basah! Juga tak ada lagi kalimat badai yang keluar dari bibirnya.
Nanda ingin menangis, tapi tetap dipaksa menarik dua sudut bibirnya, minim sekali senyum itu, seminim busana yang kini dipakainya. Di balik senyum itu tersimpan dendam. Lalu dengan langkah dibikin menggoda, dia melenggang di depan ibunya.
“Aku minta doa restu ibu,” penuh kemunafikan dia mengucap kata itu.
Teringat jilbab lebar yang pernah menutupi auratnya, dia ingin menangis. Sangat ingin! Namun lebih ingin lagi, dia ingin membahagiakan ibunya, menuruti keinginannya untuk menjadi bintang idola remaja.
Nanda tak pernah menduga, juga tak mengerti jika dia akan menjadi korban idol hunt yang kini meminta semua orang menatap ke media. Sedikit pun dia tak punya keinginan untuk menjadi bintang, apalagi jika harus merelakan aurat menjadi aura keberuntungannya. Tapi ibunya, berawal dari membujuk, lalu setengah memaksa, namun kini menyuruh Nanda pergi dari rumah jika dia tetap mempertahankan jilbabnya.
Ibunya ingin semua orang berdecak kagum, janda ditinggal suami yang hidup sebagai tukang jahit tapi masih bisa menghidupi kedua anaknya dengan layak. Dira yang sulung telah sukses sebagai idola remaja. Uang dan popularitas telah didapatkan, dan ibunya menginginkan, Si bungsu Nanda mengikuti jejaknya.
“Ini bukan untuk ibu, Nanda. Apa kamu nggak sakit hati pada ayah yang meninggalkanmu? Kamu bisa saja bertahan dengan kesabaranmu, tapi tolong balaskan dendam ibu. Membuat lelaki bejat itu kembali dan mengemis di rumah ini.”
Nanda ingin menutup telinga, tapi dipilihnya berlaku manis. Menurutnya, ibu tak salah menaruh dendam pada ayah yang menikah lagi. Tapi yang membuatnya tak mengerti, meski harus diterima juga, permintaan ibunya yang menyuruhnya menjadi model.
Kebanggaan ibunya dulu, pada Nanda yang anggun dengan jilbabnya, pada Nanda yang sopan langkahnya, kini pudar. Bahkan profesi Nanda sebagai penulis fiksi, tak dipandangnya. Sebelah mata pun tidak!
“Sudah berapa tahun kamu jadi penulis, siapa yang memujimu? Kamu hanya pemain di balik layar. Kamu cantik, pintar. Anugerah Tuhan jangan disia-siakan!”
Dulu, saat kalimat itu terlontar untuknya, dia masih bisa berkilah, membela diri bahkan tak rela dirinya dibanding-bandingkan dengan Kak Dira, hanya karena profesi.
“Sebelum Kak Dira jadi model, aku nggak pernah merasa dinomorduakan. Tapi kenapa sekarang ibu perlakukan untukku…”
“Ibu ingin melihat kamu sukses seperti kakakmu,”
“Dengan memaksaku? Jilbabku yang ibu kagumi dulu pun ingin ibu lepas paksa dari tubuhku,” setengah menangis dia mengucap kalimatnya.
Tapi ibunya tetap pada pendiriannya. Nanda mencoba cara lain. Banyak diam, bahkan menghindar dari ibunya hingga berkesan perang dingin. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Nanda bahkan terusir dari rumah jika tetap mempertahankan prinsip. Bukan tak ada jalan lain, tapi Nanda merasa jika menuruti keinginan ibunya adalah jalan terbaik saat ini.
***
“Jilbaber kita berganti bikini,”
Sungguh! Gendang telinganya terasa pecah mendengar kalimat itu. Dia tetap melangkah, menelusuri koridor kampus yang penghuninya melayangkan mata ke arahnya. Dia memaksa tersenyum, menganggap koridor kampus sebagai cat walk yang akan ditempatinya melenggang saat jadi model kelak.
“Nanda?” suara tak percaya dengan apa yang dilihatnya itu, milik Fatah.
Nanda berhenti sejenak, menatap ke arah Fatah yang langsung tertunduk menerima tatapannya. Ini yang pertama kalinya dia menatap lama ke wajah Fatah. Sebelumnya, dia lebih banyak mendengar suaranya dari balik hijab mesjid. Kalaupun bertemu, tidak ‘sedekat’ ini.
“Jenggoter kita patah hati, nih!” teriak mahasiswa lain yang sedang melihat Nanda dan Fatah dalam kebekuan.
Nanda ingin bicara, tapi tak tahu harus mengucap apa. Fatah yang pergi darinya pun, tak mampu ditahan langkahnya. Kali ini dia menangis. Merasa kehilangan Fatah, teman setia di aktivis dakwah.
Sebenarnya Nanda tahu apa yang akan terjadi jika dia menuruti keinginan ibunya. Bahkan keberaniannya datang ke kampus dengan pakaian minim, semata karena ingin ‘uji nyali’ sekaligus membiasakan diri tampail funky.
Nanda telah membulatkan tekad untuk menjadi model! Di balik tekad itu, dia punya rencana tersendiri untuk ibunya. Mungkin semacam dendam tapi itu terpaksa dilakukan setelah tersiksa oleh paksaan dan amarah ibunya.
Padahal dia boleh saja tak serius di audisi model yang diikutinya kemarin, tapi demi dendam itu dia berusaha menjadi yang terbaik. Hasilnya tentu saja menggembirakan, buat ibunya! Meski buat dirinya sangat menyakitkan. Nanda terpilih sebagai nominasi model yang akan masuk karantina dan dibimbing ke jalan glamour.
Nanda menangis saat ibunya memberinya senyum bangga dengan prestasi yang diraihnya. Sekian lama hidup dengan ibunya, tanpa ayah, bahkan tanpa materi berlebih, namun Nanda bahagia. Tapi kini…? Keberhasilan Dira menjadi model, bukannya membuat ibunya puas. Padahal cari apa lagi? Rumah sederhana yang dulu ditempati hidup kekurangan, kini telah ‘disulap’ Dira menjadi istana. Bahkan usaha jahitan telah berubah menjadi konveksi besar. Puas tetap tak teraih. Nanda jadi korban, menggadai iman demi keinginan ibunya.
***
Nanda tahu dendam itu dosa, apalagi jika rasa itu untuk orang yang telah melahirkannya. Tapi Nanda telah meniatkannya sejak dia luluh untuk meluruhkan jilbab dari tubuhnya. Baginya, bayaran perih hati saat dia terpaksa melepas jilbab, haruslah setimpal. Paling tidak memberi teguran pada ibunya yang materialis.
Popularitas di tangan kini. Model agency tempatnya terdidik, bukan hanya memilihnya sebagai juara kedua, namun juga sebagai pemenang favorit pilihan penggemar. Tapi sedikit pun Nanda tak berbangga, bencinya malah semakin menjadi.
Dan benci pun membuncah kini. Saat wajahnya telah terpampang di lembaran majalah remaja sebagai idola, pada hampir tiap sudut kota di papan iklan yang dibintanginya. Apalagi di televisi, hampir semua peran sinetron dilakoninya. Seperti niatnya dari awal, saat namanya telah melambung dan terikat perjanjian kontrak Production House, dia pun kembali ke habitat semula, sebagai jilbaber!
“Kamu gila, Nanda! Bukankah kamu telah terikat kontrak dengan iklan shampo, gimana surat perjanjian yang telah kamu tanda tangani dengan rumah produksi, peran kamu di sinetron sebagai gadis funky, tanpa jilbab! ” ibunya panik.
“Tapi perjanjian antara ibu dan Nanda, cuma sebatas jadi model…”
Kalimat Nanda terpotong oleh tamparan keras ibunya.
“Jangan anggap sepele! Rumah produksi bisa saja nuntut kamu miliyaran,”
“Kan ada denda kurungan, itu jika ibu tak mau merelakan harta yang ibu peroleh dari Dira, untuk kebebasan Nanda.”
Ibunya memelas, memaksa, juga menampar lagi. Tapi Nanda bergeming. Bahkan mengadakan jumpa pers tentang keputusannya meninggalkan dunia selebritis.
Bukan tak ada perih. Iba telah berubah menjadi ujung pedang yang mengiris-iris saat rumah, mobil dan usaha konveksi ibunya tersegel demi membayar denda pelanggaran surat perjanjiannya dengan rumah produksi. Iba bukan karena tak punya apa-apa lagi, tapi karena ibunya yang tiba-tiba shock, tak kuat menerima kenyataan yang mendadak berubah arah.
“Kamu nggak punya perasaan!” cecar Dira. “Bukan begini caranya membalas sakit hati pada ibu. Sebesar apa pun salahnya, apa susahnya melupakan, memaafkan. Atau karena jiwa kecilmu tak mampu mengingat perjuangan ibu menghidupimu tanpa ayah?
Salahkah dia punya mimpi setelah tidurnya tak kau nyenyakkan dengan tangismu di tengah malam? Minta disusui, digantikan popok!”
Nanda diam. Ujung jilbabnya telah basah air mata. Sementara ibunya terkulai lemas berjuntaian selang infus.
“Sebenarnya bukan saat kamu memilih untuk jadi model, kamu harus melepas jilbab. Tapi saat kamu membangun kebencian pada ibu, di situlah jilbabmu tak pernah pantas! Nanda, bukan kamu yang harus memberi teguran pada ibu, tapi Tuhan!”
Mendengar Dira mengucap kata Tuhan, sesal semakin menyiksa. Sedikit pun dia tak pernah meminta persetujuan-Nya lewat istikharah, saat dia memilih menjadi model. Begitu juga saat melepaskan bencinya lewat dendam, tak pernah sekali pun dia meminta petunjuk lewat doa, dia bertindak sendiri!
“Maafkan Nanda, Bu!”
Tubuh ibunya yeng terkulai, dipeluk lekat. Dibasahi dengan air mata penyesalan. Tubuh itu masih juga bisu, mendekati beku.
“Permisi!”
Pelukan Nanda terlepas. Matanya yang beralih ke asal suara membuat detak jantungnya berirama keras. Dia ingin bicara, menjelaskan pada petugas kepolisian yang datang, jika utangnya pada rumah produksi telah lunas dari hasil pelelangan harta ibunya, tapi mata petugas itu menatap tajam ke arah Dira yang membalas tatapan itu dengan gugup.
“Bisa ikut kami ke kantor?”
Dira tampak tak bisa mengelak. Seolah tahu jika dirinya bersalah. Nanda bisu, bingung, tak mengerti dengan pemandangan yang kini disaksikannya.
“Kak Dira!” desisnya tapi tak dipeduli.
Nanda ingin mengikuti langkah Dira yang dikawal petugas kepolisian, tapi ibunya yang mulai menggerakkan jari, setelah seharian hilang dari kesan kehidupan, memaksanya tinggal dan menemani ibunya.
“Maafkan Nanda, Bu! Nanda menyesal. Aku keterlaluan! Ibu mau memaafkanku, kan?”
Pejaman mata ibunya terbuka sejenak lalu tertutup lagi. Dia ingin membuka mata untuk Nanda, tapi terlalu berat. Kelopaknya menyimpan tangis. Korneanya merindukan sosok Nanda yang anggun dengan jilbabnya. Tapi rindu itu tertahan oleh sesal yang telah membedakan kedua puterinya, hanya karena profesi. Kelopak basah kemudian! Jemarinya mengenggam jari Nanda yang menjabatnya. Erat sekali!
“Nanda, Ibu yang salah…” serangkai kalimat terucap akhirnya.
Nanda menggeleng. Tapi ibunya membuka mata, menatap layu pada Nanda yang masih dibasahi tangis. Tatapan yang meminta Nanda menyerahkan semua kesalahan padanya. Baginya, tak cukup dengan sesal. Harta dan dendam pada suaminya telah membuatnya berpaling dari Tuhan, bahkan memaksa puterinya merintis jalan setapak, di antara duri. Kenyataan kini membuatnya sadar, mengingat kematian yang sekian lama luput dari ingatannya.
“Dira ke mana?”
Bergetar bibir Nanda menerima pertanyaan itu. Tangisnya terhenti, berganti kemirisan. Tentu saja tak tepat menceritakan apa yang baru saja terjadi pada Dira, meski sebenarnya dia pun tak tahu apa yang membuat Dira dijemput petugas kepolisian.
“Kak Dira ada syuting katanya,”
“Ibu ingin memeluknya. Ibu rindu,” katanya sambil meraih remote tv dan meng-on-kan.
Wajah Dira memang ada di layar kaca, tapi tak seperti biasanya. Kali ini wajahnya hadir di acara infotainmen dan menampilkan sosoknya sebagai tersangka pengedar dan pengguna drugs.
Mata Nanda tak betah menatap layar tv. Tatapnya beralih ke arah ibunya. Dia takut, akan terjadi apa-apa pada ibunya menyaksikan kenyataan baru, yang jauh lebih pahit.
“Ibu sedih. Perih! Tapi tak rapuh. Kuharap Dira bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya, seperti ibu yang kini tak bisa membedakan posisi kalian, hanya karena warna …”
Nanda melabuhkan peluknya, menumpahkan tangis di tubuh ibunya yang berusaha setegar mungkin. Dalam pelukan itu, meski perih yang akan mengikuti jejak goresan penanya, dia tetap tak sabar ingin meraih pulpen, lalu bercerita panjang.
Kutulis kisahku, pada karang dengan jari telanjang! batinnya membayangkan kalimat pembuka cerpennya, setelah sekian lama tak menulis.
***






0 komentar: