CINTAKU JAUH DI LANGIT
Oleh: S. Gegge Mappangewa
JAUH kulepaskan tatapan, terbang bebas di atas hamparan kebun teh dan lintasan Jakarta Bandung yang meliuk berliku, juga menukik. Di sini, di atas sebuah bukit, di areal perkebunan teh Puncak, Jawa Barat, kurapatkan duduk dari tadi. Ada rindu menyeruak di antara haru yang kurasakan sesak setiap kucoba mengingat kenangan setahun lalu, di sini, Ramadhan yang lalu, bersama Abraar.
Sengaja memang, kutinggalkan Jakarta menuju Puncak. Hanya untuk melihat kembali saksi kisah bahagia sekaligus kisah perih yang pernah terajut di sini. Kisah itu mengalun kembali seiring menggemanya nama Abraar memenuhi ruang hatiku, ketika kucoba mendesiskan namanya.
Aku tak boleh menangis meski haru menyeruak, aku tak mungkin mengikuti emosi jiwa yang ingin selalu meneriak¬kan namanya. Semua demi keabsahan puasaku, juga kerelaanku menerima takdir. Kisah lalu itu adalah perjalanan hidup, mungkin seperti lintasan Jakarta Bandung yang penuh liku.
"Hey!"
Seorang cowok datang menyapaku. Kubalas dengan senyum. Terlalu sibuk dengan kisah lalu, aku telah meng¬anggap diriku sebagai penghuni tunggal bukit ini. Padahal sejak siang tadi, pengunjung banyak berdatangan. Sekadar menikmati hawa dingin bukit ini, hijaunya hamparan teh atau aktraksi paralayang yang bertolak dari bukit ini sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Paralayang? Aku menggeleng perlahan, tanpa sadar. Cowok di sampingku mengerutkan kening tanda tak mengerti dengan gelenganku.
"Namaku Kade,” ucapnya kemudian sambil mengulurkan tangan untukku.
“Vira !” balasku singkat tanpa meraih uluran tangannya.
“Kamu sepertinya ada masalah" ucapnya lagi sambil menarik kembali uluran tangannya yang tak kusambut.
Aku terdiam. Dingin yang semakin menusuk membuatku menarik ruslui¬ting jaket, lalu melipat tangan di dada. Kualihkan kembali tatapanku ke kaki bukit. Lintasan Jakarta Bandung, sepi. Hanya sesekali kendaraan melintas, membuat jalan beraspal itu seperti liukan anaconda raksasa yang sedang tertidur. Kade, cowok yang agak jauh di sampingku, nampaknya belum juga beringsut. Bahkan berceloteh sendiri.
"Dulu, setiap ada masalah, aku selalu melarikan diri ke sini,” ungkap¬nya. “Jarak Bandung ke sini, nggak kupeduli. Di sini aku bisa sendiri, bahkan terbang ke langit sana.” lanjut¬nya sambil menatap langit barat.
Aku yang dari tadi menganggapnya patung, kini terhipnotis untuk balik menatapnya. Kalimatnya membuat bayangan Abraar seperti utuh berada di depanku.
Dulu, Abraar selalu ke sini. Tiap minggu! Menunggu angin datang, lalu mengembangkan parasutnya. Terbang melintas di atas hamparan kebun teh, semua karena dia berambisi untuk menjadi atlet para¬layang.
Abraar, pemilik lesung pipit itu kurasa¬kan semakin nyata di depanku. Tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Dan lesung pipinya, seolah memiliki magis yang mampu melesakkan aku masuk ke dalamnya. Namun semua kesempurnaan itu membuatku semakin tak bisa berharap banyak. Jalan bersama dia pun rasanya sudah anugerah besar buatku. Hanya keramahan, juga kerendahan hatinya yang membuatnya mau berteman denganku. Siapa sih yang mau berteman dengan gadis cacat sepertiku? Kalau pun banyak yang memujiku cantik, namun terlalu sedikit yang mau jalan dengan seorang cewek berkaki pincang sepertiku.
Tapi Abraar, awal kedekatannya denganku kuanggap sebuah hinaan. Aku salah sangka, aksi pedekate nya padaku kupikir hanya karena otakku yang encer. Karena kutahu betul, dia selalu berada di peringkat terakhir bahkan pernah terancam tidak naik kelas.
Namun ketika dia berhasil menak¬lukkan hatiku untuk menjadi temannya. Abraar lain dari yang kupikir. Dia tak pernah memberiku kesempatan untuk putus asa, tak pernah malu melangkah di sampingku, yang jalannya terseok-¬seok karena kaki kiriku yang tidak normal sejak lahir.
“Semua karena aku tahu, tak banyak yang mau berteman dengan kamu,” ungkapnya jujur ketika kutanya alasan kedekatannya denganku.
Beribu kalimat sumbang pun akhirnya terlontar. Abraar yang otaknya tumpul di kelas, ternyata juga berotak udang dalam mencari pacar. Vira, gadis cacat yang bukan hanya pintar di kelas tapi juga punya ilmu hitam yang bisa membuat cowok bertekuk lutut. Dan entah kalimat apalagi, yang semakin membuatku sadar dengan kekuranganku.
Aku tenang saja. Toh, Abraar juga tak menanggapinya. Tapi ketenangan itu akhirnya terusik juga. Terusik oleh mimpi seekor pungguk sepertiku yang merindukan bulan, jauh di langit sana. Kedekatanku dan banyak jalan bersa¬manya telah membuat hatiku dihinggapi penyakit cinta yang tidak seharusnya diidap oleh gadis cacat sepertiku.
Kusimpan cinta itu menjadi siksa jiwa. Aku tak peduli itu menyiksa, tak kuhiraukan meski sering membuatku menangis. Semua demi kelangsungan persahabatanku dengan Abraar.
Ya, persahabatan ! Aku tak boleh melewati garis batas itu. Sekali aku menyebut kata cinta buat Abraar, persahabatan itu akan hancur. Tak ingin kusesali ke-bodohanku kelak.
"Hey !"
Sapaan Kade membuat lamunanku buyar. Bahkan dia habis meninggalkan¬ku sendiri tanpa kusadari. Buktinya, sebuah careel berisi parasut telah bergantung di punggungnya. Dulu Abraar begitu gagah setiap membawa careel parasut seperti itu.
"Sori, aku ditugaskan untuk terbang. Untuk memberi aktraksi kepada para pengunjung di sini. Tapi aktraksi ini spesial kupersembahkan untukmu. Untuk awal perkenalan kita, " ujarnya sambil tersenyum.
Dia melebarkan parasutnya, memasang harness dan helm penga¬man. Entah berapa detik dia berdiri mematung, memperhatikan bendera kecil yang ditancapkan di salah satu tembereng bukit. Saat bendera itu berkibar pertanda ada angin, sejenak Kade melirikku sekali, lalu berlari mengambil awalan, dan di ujung ketinggian bukit, dia terbawa angin.
Seperti elang, Kade terbang mengitari perkebunan teh. Manarik dan mengulur tali parasutnya. Aku terpana melihatnya. Seolah Abraar yang sedang terbang di sana. Aku duduk kembali. Pengunjung yang lain masih terus menatapnya. Lain denganku, tadi ketika Kade terbang mengitari perkebunan teh, ada bahagia sekaligus ketakjuban melihatnya, tapi ketika dia memilih untuk terus menarik parasutnya, membuatnya, semakin tinggi. Di posisi terbangnya yang sejajar dengan matahari yang terhalang awan. Dia berhenti di situ. Berdiam diri! Lama sekali. Posisi seperti itu membuat kenanganku dengan Abraar datang mengiris.
Dua bulan terakhir kebersamaanku dengan Abraar, dia selalu terbang ke sana. Terbang hingga ketinggian yang sejajar dengan matahari sore. Padahal sebelumnya, dia tak pernah melakukan itu. Aku bisa menebak, jika dia. memen¬dam masalah berat dan melarikannya ke awan sana.
"Aku bahkan mau terbang hingga ke langit. Sayang nggak bisa! Meski kuyakin itu akan terjadi. Tak lama lagi!" ucapnya suatu sore, saat baru landing dari penerbangannya yang tinggi.
Sedikit pun aku tak menanggapi kalimat itu. Aku hanya memperhatikan dia sibuk melepaskan harness.
Kebiasaan Abraar terbang seperti itu, bermula saat dia dinyatakan gagal menjadi atlet nasional di olahraga paralayang. Jelas sekali ada kecewa, padahal sebelum mengikuti test dia sempat bercerita jika dia tak takut gagal. Toh, ini hanya kujadikan sebagai hobi sekaligus hiburan, katanya. Tapi akhirnya? Kegagalan itu membuatku menemukan Abraar yang lain dalam dirinya yang sebenarnya.
Aku mencoba belajar menghadapi kenyataan. Sedikit demi sedikit aku melangkah menjauh. Siapa tahu kedekatanku dengannya telah membuat dia bermasalah. Apalagi, akhir akhir ini sering kudengar dia menyebut nama Yuni di depanku. Kutahu dia mencintai¬nya, juga kuyakin jika Yuni tak akan menolak jika tahu perasaan Abraar.
Ketika kusadar bahwa aku menjadi penghalang, kucoba untuk beringsut. Bukankah mengharap terus cintanya, juga sebuah siksa bagiku? Jika aku menghindar, itu berarti aku telah memberi kebahagiaan buat Abraar yang juga pernah memberiku bahagia meski akhirnya aku melukai diriku sendiri dengan mimpi yang tak mungkin berwujud.
"Maukah kamu menerima cintaku?"
Seperti tak sadar ketika suatu hari, kudengar dia mengucapkan kalimat itu untukku.
"A..aku!" gugupku.
Dia mengangguk serius. Menatapku tanpa henti. Sayang sekali, tatapan yang sebelumnya selalu kuakui mendamai¬kan, saat itu malah membuat hatiku porak poranda. Bagaimana tidak, kalaupun aku pernah berani bermimpi untuk memilikinya, sedikit pun aku tak berani untuk mewujudkannya, Laksana terbang ke langit, saat untuk kedua kalinya dia mengucapkan cinta padaku. Aku melayang tanpa parasut. Terlebih, tanpa sayap! Karena aku memang bukan burung dara yang sempurna.
“Hey!”
Lagi lagi Kade datang melerai kenanganku bersama Abraar. "Kalau kamu mau, aku bisa memba¬wamu terbang seperti tadi. Aku biasa jadi pelatih untuk penerbang pemula." ucapnya sambil melirik jam di perge¬langannya. "Masih bisa untuk sekali penerbangan."
Aku menggeleng.
"Kenapa, takut? Sekali kamu terbang, kamu akan ketagihan. Yakinlah! Di atas sana kamu boleh membuang semua bebanmu. Bahkan melupakan semua masalahmu. Ketinggian selalu menjanjikan mimpi. Mimpi yang indah!" Kade memohon lagi.
Apapun alasannya. Aku tetap menggeleng! Aku pun tahu, ketinggian selalu memberi mimpi yang indah, tapi aku lebih tahu jika terkadang ngarai menunggu di bawah. Apa artinya melambung sejenak bersama mimpi sementara hati juga harus selalu siap untuk terluka saat harus terhempas?
"Okel Nggak apa apa. Tapi kamu mau jadi temanku, kan?"
Tatapanku lurus menancap ke bola mata Kade. Sedikit teriris hatiku mendengarnya. Bagaimana tidak? Kuyakin kalimat itu terucap darinya karena belum sadar jika gadis yang berada di depannya tak bisa berjalan normal.
"Apa untuk menjadi teman, aku harus menunggu lama?" lanjutnya lagi. "Padahal aku berharap lebih dari itu."
Tatapanku yang tadi menancap di bola matanya, kini kularikan ke kaki bukit. Sore semakin layu, kabut pun menebal. Di bawah sana, speaker Mesjid Atta'Awun mengalunkan kalimat suci. Sebentar lagi maghrib. Aku harus turun.
"Boleh, kan?" desaknya meminta jawaban.
Aku tetap diam. Gelap yang merambat membuat semua kendaraan yang melintas di jalan Jakarta Bandung harus menyalakan lampu sorotnya. Lintasan panjang berliku itu, yang tadi mirip anaconda raksasa yang sedang tertidur, kini kilatan kilatan lampu kendaraan yang melintasinya tak ubahnya barong¬sai raksasa yang sedang berjalan meliuk.
Pengunjung bukit mulai turun satu per satu. Kade berpindah ke depanku. Menatapku tajam! Tapi aku memilih untuk melangkah. Langkah pincang yang terseok. ¬Tersaruk saruk! Dan kuyakin, dengan melihat itu, Kade akan tercengang sekaligus mema¬tung. Tanpa pemah mau mengiringi langkahku.
Selangkah, dua dan tiga kali aku melangkah menuruni bukit. Tanpa berbalik pun kutahu, apa yang sedang Kade perbuat. Dia tak akan pernah mau berteman dengan gadis pincang sepertiku.
Ada haru yang menyeru¬ak ketika semakin kusadar bahwa Kade tak mengikuti langkahku. Bukan karena ingin dia bersamaku, sekali lagi bukan! Haru itu menye¬ruak karena mengingatkanku pada satu satunya orang yang mau melangkah bersamaku. Abraar!
Ramadhan tahun lalu pun aku masih sempat menuruni bukit ini bersama Abraar. Buka puasa dan shalat jama'ah di Mesjid Atta'Awun. Lalu pulang membawa moci dan peuyem sebagai oleh oleh.
Aku tak boleh menangis. Tekadku sambil menyeret langkah. Kuingin cepat tiba di mesjid. Menanti maghrib dan mengadukan semua bebanku pada Allah yang bersinggasana di langit yang jauh. Sekaligus mengirim doa buat Abraar di sana.
Aku tak pernah melupa¬kan selalu kupuji kemurahan hati Abraar yang mau berteman denganku. Meski untuk mencintaiku, belakang¬an kutahu jika itu hanyalah pelarian. Kepiawaian Abraar mempermainkan tali parasutnya, keberaniannya menan-tang angin, tak diragukan lagi untuk menjadi atlet nasional paralayang. Tapi, semua keahlian itu harus diabaikan karena dokter memvonisnya sebagai penderita kanker otak ketika ikut test kesehatan, dalam seleksi atlet nasional.
Lama sekali baru aku tahu penyakit Abraar itu, meski kulihat ada duka yang menggantung di setiap tatapannya. Meski kuarasakan ada keanehan dari sikapnya yang selalu menerbangkan parasut ke ketinggian yang sejajar dengan matahari. Barulah setelah dia terbaring lemas dan hendak menghembus¬kan napas terakhirnya, dia meminta maaf atas cinta semunya padaku.
Ada Yuni yang mengisi ruang hatinya. Begitu cintanya pada Yuni, Abraar tak ingin Yuni teruka dengan kehilangan dirinya kelak Aku pun jadi korban pelarian itu. Aku tak tahu perasaan apa yang berkeca¬muk di hatiku saat mendengar pengakuan Abraar. Aku ingin membenci tapi dia telah membuatku berarti.
Hanya sesaat setelah aku membasuh tubuhku dengan wudhu, adzan maghrib menggema. Segelas air putih kuteguk, tambah beberapa buah moci. Lalu meraih mukenah dan mengambil tempat di barisan jamaah yang hendak shalat.
Khusyu' sekali aku dalam shalat, lalu melantunkan doa untuk Abraar. Doa untuk ketenangannya di 'ketinggian' sana.
Ketika aku keluar mesjid, hendak membeli oleh-¬oleh khas Puncak. Kudapat-kan sosok Kade yang sedang menghampiri seorang cewek yang lumayan manis. Tentu saja aku tak cemburu apalagi terluka. Allah yang pemurah pernah mengirimkan Abraar untuk mencintaiku. Meski dengan cara lain. Kuyakin juga, Allah, kekasihku yang bersinggasana di langit sana, akan selalu hadir di hati. Untuk mendengar doaku!
***
(Termuat di Aneka Yess! Edisi Oktober 2003)
2.8.09
CERPEN (Cintaku Jauh di Langit)
Diposting oleh Gegge di 16.15
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
sangat suka sekali,teruskan dengan karya yang lebih seru
tetap setia dan sabar serta iklas dengan kepergian orang yang dicintai
Sgt tersentuh dgn ceritanya....truslah berkarya
Sgt tersentuh dgn ceritanya....truslah berkarya
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar