Oleh: S. Gegge Mappangewa
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.
Oleh: S. Gegge Mappangewa
INI bulan kedua, saya menunggu kedatangan Benny. Suratnya yang terakhir, tiga bulan lalu, bercerita tentang rencana kepulangannya dari Jepang. Untuk menemuiku. Tentu saja dengan janji memberi kado untukku.
Ada kebohongan yang kusimpan rapi, katanya. Dia selalu dihantui mimpi buruk tentangku. Lalu kenapa dia tak juga pulang hingga kini? Mungkin saja dia telah tahu, kebohongan yang memang selalu tersembunyi rapi untuknya. Saya tak pernah bisa mengungkap kebohongan itu dalam suratku, meski seribu sinyal telah diterima Benny sebagai kecurigaan.
Mengapa kamu tak pernah balas emailku, mengapa harus via surat, sebegitu sibukkah kamu hingga tak bisa menyempatkan diri ke warnet? Dan seribu tanya lagi, yang hanya bisa kujawab dengan diam. Saya tak ingin menjadi beban pikiran Benny. Saya tahu betul, bagaimana besar perhatian Benny terhadapku. Begitu pun saya padanya. Sebagai sahabat, kami memang telah menunjukkan kesetiaan masing-masing.
Untuk pertama kalinya, kudengar suara Benny terisak lewat telepon, saat dengan terpaksa saya harus mengundurkan diri untuk pertukaran pelajar ke Jepang. Saya ingin sekali melihat air matanya, tapi sungguhlah tak mungkin. Pihak kedutaan Jepang, langsung mengkarantinakan Benny, setelah menyelesaikan interview dan tes tertulisnya, saat itu.
Tes saat itu sebenarnya, cukup bergengsi. Dari ratusan peserta yang ikut tes dari awal, hanya saya dan Benny yang lolos, dan itu hanya akan dipilih satu orang.
“Saya yakin kamu yang akan berangkat, Radar!” ucapnya semalam sebelum ikut tes.
“Dengan alasan apa?”
“Kamu satu level di atasku, di kursus Bahasa Jepang. Pengenalan Kanji-mu hampir menyamai orang Jepang asli.”
“Kamu juga nggak mungkin lolos hingga seleksi akhir, jika nggak ada yang istimewa dari kamu.”
Dia terdiam. Malam itu, dia gelisah sekali. Sangat! Saya bahkan menyalakan AC kamar, karena kupikir dia sedang kepenatan. Hanya semenit AC berhembus, dia mematikannya. Gelisahnya tak juga padam. Semakin menjadi. Bahkan sesekali kulihat tatapannya, menancap ke arahku, lalu terbang liar saat tatapan itu kubalas dengan diam.
Saya bisa mengerti. Benny adalah tumpuan harapan orangtuanya. Satu-satunya! Adik-adiknya yang masih kecil, masih butuh perjalanan panjang, untuk mencapai cita-citanya. Benny sendiri pun, sebenarnya terancam tak bisa kuliah setelah lepas SMA. Papanya yang hanya Pegawai Negeri Sipil, tak bisa berbuat banyak, karena mamanya yang sakit-sakitan.
Ikut pertukaran pelajar, adalah jalan alternatif untuk mengurangi sedikit beban orangtuanya. Apalagi, jika dianggap sukses, proyek pertukaran pelajar itu, dilanjutkan dengan pemberian beasiswa, untuk melanjutkan kuliah gratis di Jepang. Tentu saja, Benny semakin menggila. Cita-citanya untuk kuliah di Teknik Mesin, sedikit menemui celah.
Tapi salahkah saya, bila datang menutup celah itu? Menjadi saingan tunggalnya di program pertukaran pelajar itu? Orangtuaku memang mampu membiayai kuliahku, tapi adalah kebanggaan tersendiri yang akan kupersembahkan sebagai anak kepada orangtuanya, jika saya berhasil ke Jepang.
Apalagi, orang-orang di sekitar telah menganggap keluarga kami, sebagai keluarga berantakan. Kak Intan yang bulan lalu masuk penjara karena terbukti sebagai pengguna dan pengedar drugs. Kak Farid yang kerjanya ikut balapan liar, mabuk dan terkadang tak pulang dalam sebulan. Di rumah, hanya ada saya. Belajar dan belajar, untuk membuktikan pada mama dan papa, bahwa masih ada saya yang bisa dia banggakan pada orang lain.
“Saya pulang dulu, Radar,” ucapnya. Masih gelisah.
“Tengah malam gini?”
Dia mengangguk. Gugup! Tatapannya masih menyapu sekilas di wajahku, saat dia menyerahkan STNK dan kunci motorku, yang tadi siang dipinjamnya.
“Motormu udah kumasukkan di garasi,” katanya sambil berlalu pergi.
“Sampai jumpa besok, di tempat tes.”
Langkahnya terhenti. Berbalik ke arahku, lalu mengangguk sekali. Ada kesan lirih dalam anggukan itu.
Sepulangnya, gelisah Benny, menular ke jiwaku. Saya tak bisa tidur. Di benakku, ada Benny yang akan tersenyum, meski harus terluka dengan kemenanganku besok. Seperti halnya Benny, saya juga merasa yakin bahwa saya-lah yang akan berangkat ke Jepang, mengikuti pertukaran pelajar itu. Dan Benny akan, tertinggal, bahkan tak bisa melanjutkan kuliah tahun depan setelah lulus SMA.
Saya harus mengalah! Itu yang akhirnya menjadi obat penenang jiwaku. Tak ada lagi gelisah. Saya masih punya banyak kesempatan untuk membuktikan pada orang lain, juga pada mama dan papa, bahwa saya lain dari Kak Intan ataupun Kak Farid, yang hanya bisa memberi kesusahan.
Besok pagi, saya akan sengaja terlambat ke tempat tes. Saya tahu betul, etos kerja orang Jepang, yang seolah mendewakan waktu, hingga tak senang dengan orang yang tak menghargai detak jarum detik. Ini adalah keputusan. Tak boleh berubah. Bujukku pada batinku sendiri, yang masih berat untuk menerima keputusan itu.
Besok paginya. Rencana keterlambatanku, berjalan lancar. Saya bahkan tak pernah lagi melihat wajah Benny, hingga saat ini. Saya tak pernah tiba di tempat tes. Saya tiba-tiba terkurung di dunia sepi ini. Dunia sebatas langkah gelindingan ban kursi rodaku.
Kecelakaan pagi itu, membuatku kehilangan segala harapan. Jika tak sedih melihat mama yang selalu murung, SMA-ku bahkan tak ingin kuselesaikan. Saya benar-benar tak bisa melangkah, di atas kursi rodaku. Seolah semua orang yang melihatku, mencibir dan menertawai.
“Radar, kenapa kamu nggak ikut tes? Kamu nggak apa-apa, kan? Panitia pertukaran pelajar, bekerjasama dengan pihak sekolahku, sepakat untuk langsung menerbangkanku ke Jakarta sekarang juga, untuk ikut pelatihan, bersama peserta dari provinsi lain.”
Kalimat Benny itu, kudengar saat saya masih terbaring di rumah sakit.
“Saya menabrak truk yang melintasi cepat dari arah berlawanan,” ucapku setegar mungkin, agar dia tak gelisah memikirkanku. ”Tapi nggak terlalu parah,” lanjutku dengan air mata yang menitik, saat seorang perawat datang membawakan kursi roda untuk tubuhku yang sebelah tungkai kakinya telah diamputasi.
Tak ada kalimat dari Benny. Bisu. Entah siapa, saya atau dia yang duluan meletakkan horn telepon. Hingga saat itu, saya kehilangan asa. Trauma. Motor yang kupakai saat kecelakaan pun, kurelakan jadi besi tua di kantor polisi.
Tapi mengapa Benny tak juga datang, hingga kini? Saya ingin melihat dia menangis melihat keadaanku. Padanya, saya akan berbagi duka tanpa ragu dia akan menertawaiku. Untuknya, saya akan persembahkan kado termahal, yakni kesediaanku untuk mengalah saat ikut seleksi pertukaran pelajar dulu. Meski akhirnya nasib buruk memaksaku untuk harus tetap tinggal di Makassar.
***
Saya mulai jenuh menunggu kedatangan Benny. Berlembar-lembar suratnya, yang bercerita tentang Negeri Sakura, telah berkali-kali kubaca. Demi sedikit mengobati rinduku yang memuncak sejak dua bulan lalu. Sejak dia berjanji akan pulang di liburan musim dingin.
“Betul ini rumah Pak Galang Wijaya?”
Saya mengangguk lemah. Polisi datang lagi ke rumah. Tetangga pasti pada mencibir lagi. Jangan-jangan Kak Farid lagi yang membuat masalah di luar, dan harus berurusan dengan polisi. Untung saja, mama dan papa, tak ada di rumah. Saya kasihan melihat mama yang seolah trauma dengan polisi. Harapanku untuk membuat dia tersenyum bangga dengan kesuksesanku, harus berakhir kecewa di atas kursi roda.
Kedua polisi itu mengamati kursi rodaku, juga kakiku yang tak sama panjang. Saya jadi tersinggung dengan tatapan itu. Tapi saya bisanya apa? Rasa tak percaya diriku, kumat lagi.
“Atau kamu putra Pak Galang yang kecelakaan beberapa bulan lalu. Radar?”
Saya mengangguk.
“Kami yang menangani masalah Adik.”
“Masalah apa? Papa telah menyelesaikan semua kewajiban mengenai peristiwa kecelakaan itu. Tentang motorku yang belum juga diambil, saya yang melarangnya…”
“Itulah masalahnya,” salah seorang dari polisi itu, langsung memotong kalimatku. “Dari penyelidikan kami, motor yang Adik pakai, sebelumnya sengaja dirusak dengan memutuskan tali rem. Peristiwa itu bukan murni kecelakaan, ada seseorang yang mendalanginya.”
Dadaku berdebar tak karuan. Bayangan Benny yang selalu hadir sebagai sahabat sejati untukku, kini hadir sebagai malaikat maut. Inikah jawaban dari gelisahnya, semalam sebelum kejadian itu? Inikah alamat dari firasat buruk yang selalu kuterka dari tatapannya? Inikah gunanya sahabat? Kesedihan menjalar bebas masuk ke relung hatiku. Ini sedih yang terdalam, luka yang terperih. Lebih dalam dan jauh lebih perih, dibanding saat pertama kutahu, sebelah tungkai kakiku telah teramputasi.
“Papa dan mama saya nggak ada di rumah,” ucapku lalu langsung berbalik dengan kursi rodaku.
Ada perih mengiris, saat mataku terhalang kabut, memandangi kursi roda yang kutumpangi. Kursi roda ini, kado termahal dari seorang sahabat bernama Benny. Kado ini takkan kulupa, diberikan padaku demi kebahagiaannya. Lebih mahal dari harga kematian.
Harga mati untuk takdirku. ***
5.4.09
Kado Termahal
Diposting oleh Gegge di 14.35
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
makasih atas infonya, dan jangan lupa kunjungi balik website kami http://bit.ly/2D2nTUD
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar