Kota I Lagaligo,
Latar Sastra Penuh Sejarah
Oleh: S. Gegge Mappangewa
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.
Semua orang pasti kenal dengan Tana Toraja. Tapi Tana Luwu, mungkin sangat sedikit yang mengenal keberadaan kabupaten yang berjarak sekitar 500 KM dari Makassar ini. Padahal di Tana Luwu yang berbatasan dengan Tana Toraja inilah, karya sastra terpanjang di dunia, I La Galigo, berasal. Kalo epos Mahabarata jumlah barisnya antara 160.000-200.000, I La Galigo bahkan mencapai 300.000 baris panjangnya. (Hmmmm, setebal bantal mungkin ya, kalo dibukukan).
Luwu biasa juga dikenal sebagai Bumi Sawerigading. Itu karena Sawerigading adalah salah seorang tokoh utama dalam epos I La Galigo. Seperti halnya, karya sastra yang lain, I La Galigo juga bertemakan cinta. Cinta Sawerigading yang jatuh pada ladang hati yang tak tepat, yaitu pada adik kembarnya We Tenriabeng. Karena ditentang adat, Sawerigading berlayar meninggalkan Tana Luwu menuju daratan Cina, untuk mencari gadis yang mirip dengan We Tenriabeng, yaitu We Cudai.
Wah, kalo mau berpanjang lebar tentang I La Galigo, bisa sampe 300.000 baris nih. Nggak kalah asyiknya kalo kita jalan-jalan menyusuri salah satu kota di Tana Luwu, yaitu Palopo. Awalnya sih, kabupaten di Luwu cuman satu dan berpusat di Palopo sebagai kota administratif. Sekarang, setelah pemekaran, udah terbagi menjadi empat kabupaten. Tapi tetap aja, Palopo menjadi kota yang paling ramai di Luwu.
Salah satu obyek wisata yang sering dikunjungi di kota ini adalah Tanjung Ringgit. Meskipun namanya mirip-mirip dengan Tanjung Pinang dan Tanjung Periok, Tanjung Ringgit bukanlah pelabuhan besar. Laut Tanjung Ringgit hanya menjadi dermaga yang menghubungkan Palopo dengan Malangke yang juga masih wilayah Luwu. Malangke ini sangat dikenal sebagai penghasil jeruk manis. Jeruk Malangke, begitu orang biasa menyebutnya. Tanjung Ringgit nggak hanya berfungsi sebagai dermaga menuju Malangke, tapi juga bisa ditempati mancing, sekaligus tempat yang indah untuk menikmati sunset. Nggak heran, mulai sore hingga malam, pantai ini akan berubah menjadi pusat tenda kafe yang menyajikan berbagai jajanan khas Palopo.
Selain ke Tanjung Ringgit, kita juga bisa melepas penat di permandian air terjun Latuppa. Di akhir pekan, tempat ini biasanya ramai dikunjungi warga Palopo yang ingin menikmati sejuknya air sungai Latuppa. Ada air terjunnya, lho! Apalagi, setelah puas mandi, pulang bisa bawa oleh-oleh durian. Tempat ini biasanya banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal di Sulawesi Selatan kalo abis lebaran.
Jejak Sejarah di Kota Tua
Selain wisata alam Tanjung Ringgit dan air terjun Latuppa, Palopo punya tempat wisata bersejarah. Salah satunya adalah Mesjid Tua Palopo. Mesjid ini didirikan oleh Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Tiang utama mesjid ini menggunakan kayu Cinaduri, sedangkan dindingnya terbuat dari tembok yang masih berbahan perekat campuran putih telur. So, karena emang langka, mesjid ini udah dijadikan sebagai bangunan purbakala yang harus dilindungi. Jamaahnya banyak lho! Apalagi kalo Ramadhan, mesjid tua ini selalu ramai. Saking ramainya, jamaah biasa meluber sampai ke jalan raya. Orang yang berkunjung ke Palopo nggak dianggap ‘sah’ kunjungannya kalo belum ke mesjid tua ini.
Di jantung kota, terdapat tugu bergambarkan badik! Bukan melambangkan premanisme, tapi simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda. Namanya Tugu Toddopuli Temmalara! Masih selokasi dengan tugu ini, ada Rumah Datu dan Museum Palopo. Sesuai dengan namanya, Rumah Datu ini adalah Raja Luwu terdahulu. Bangunannya terbuat dari kayu jati dengan arsitek rumah adat Luwu. Sekarang ‘keraton’ ini dihuni oleh keluarga keturunan Raja Luwu. Karena ini rumah tinggal para keluarga Raja Luwu, jadi nggak terbuka untuk umum. Tapi halamannya sering dimanfaatkan untuk acara pegelaran seni. Spesial untuk acara adat, rumah yang sangat dijaga kelestariannya ini bisa dimanfaatkan keseluruhannya.
Di samping bangunan Rumah Datu terdapat Museum Palopo. Dari arsitekturnya, bangunan ini melukiskan jejak peninggalan jaman Belanda. Isinya banyak ‘bercerita’ tentang masa lalu. Mulai dari perlengkapan perang hingga peninggalan khas Tana Luwu seperti pelaminan, baju adat dan perabot rumah tangga. Sayangnya, untuk ngambil foto di museum ini harus ada ijin dari pihak pariwisata.
Kota Sejahtera
Palopo juga sangat dikenal sebagai penghasil buah. Durian, rambutan, langsat, dan jeruk, semua melimpah di kota ini! Nggak ketinggalan sagunya. Karena sagunya, Palopo dikenal sebagai Kota Kapurung. Kapurung adalah makanan khas Palopo yang terbuat dari sagu berkuah yang dicampur dengan sayuran hijau. Selain buah-buahan, Palopo dikenal sebagai penghasil cengkeh dan kakao. Jangan heran jika pertumbuhan ekonomi di kota ini sangat meningkat dibandingkan dengan kota lain di Sulawesi Selatan. So, sangat murah kalo ingin belanja buah. Tapi belanja pakaian dan sembako, harganya di atas rata-rata. Tapi itu tetap nggak ngaruh buat warganya yang punya penghasilan dari perkebunan.
Ya, meski Palopo nggak punya tempat wisata yang berkelas dunia seperti Tana Toraja, kota ini punya banyak jejak sejarah. Beberapa artikel menyebutkan, Islam pertama kali masuk di Sulawesi Selatan melalui bumi I Lagaligo ini. Sayangnya, sastra I Lagaligo yang masih banyak menganggapnya sebagai mitos ini, tak meninggalkan jejak kecuali cerita I Lagaligo yang berkembang di masyarakat. Karya sastra yang berbahasa Bugis dan ditulis dengan huruf Lontara’(aksara Bugis), naskah aslinya berada di Belanda. So, kalo mau melihat naskah asli I La Galigo jangan berlayar ke Palopo, tapi ke negeri kincir angin itu.*** Jazakillah to Ainil Rachimi di Palopo
27.4.09
Epos La Galigo (Termuat di Annida Edisi April 2009)
Diposting oleh Gegge di 22.14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
ada arsip-nya tidak, daeng? Annida yg muat La Galigo ini?
salam kenal :)
bagus sekali ini postingan artikelnya mengalir, jadi seneng dan mudah bacanya, ditunggu postingan lainnya
mas itu fotonya dimana ya? sepertinya suasananya keren banget untuk jeprat jepret ya
kalau kesana apakah ada biaya masuk tiketing? kira kira untuk rombongan adakah harga spesial? makasih
saya senang sekali dengan postingannya yang natural natural, ditunggu artikel lainnya gan
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =)) Posting Komentar