S. Gegge Mappangewa
MASIH pagi. Perasaan aku baru memejamkan mata semenit, setelah bangun shalat subuh tadi. Aku bahkan tertidur dengan mukenah yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintuku telah diketuk perlahan awalnya, lalu digedor keras. “Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar. Aku kenal betul suara itu. Milik Imah, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. Pagi-pagi begini mau apa, ya? Aku bahkan menutup kupingku dengan guling. Gedoran itu semakin tak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Imah, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru. Terpaksa aku bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen, semalam tidurku agak larut malam karena PR Fisika-ku yang tumben tak bisa kuselesaikan cepat. “Selamat pagi,” ributnya setelah kubukakan pintu kamar. “Aku dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, aku masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis. Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apapun! Aku cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuhku di tempat tidur. “Pemirsa, aku udah berhasil masuk ke kamar Lely. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,” “Nggak lucu!” ketusku sambil menutup telinga dengan guling. Imah tetap beraksi. Kudengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamarku. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya, terlalu kecil untuk siswa SMA sepertiku. Meski kesal, aku kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman. “Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Lely? Yuk, kita buka!” Kudengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi aku belum juga menggubrisnya. Toh, tak ada barang rahasia di dalamnya. “Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksaku untuk bangkit dari tempat tidur. Dompetku sudah ada berada di tangannya. “Jangan dibuka, Mah!” “Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan sekolah, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo Si Lely ini jadi bintang pelajar tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!” Aku tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap aku mendekat untuk mengambil dompetku. “Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Lely bintang pelajar kita ini, fans berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompetku. Melihat foto Denny, air mataku tiba-tiba meluruh begitu saja. Imah langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arahku dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam. “Sori, Ly! Aku cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy kamu. Lagian, nge-fans sama Denny, menurutku hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!” Aku menghapus air mataku. Mengambil dompetku dari tangan Imah. “Kamu mau maafin aku kan?” Imah tak punya salah, aku yang terlalu cengeng mungkin. Tapi aku janji, ini air mata terakhirku untuk Denny. Meski aku juga merasa punya quantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny. “Jujur, akhir-akhir ini aku ingin dekat sama kamu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi. Aku bisa mengerti, jika Imah ataupun teman kostku yang lain tak punya banyak waktu untuk bersamaku. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam sekolah, kuhabiskan bersama buku-buku pelajaranku. Aku tak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Aku selalu merasa lebih aman di kamar sendiri. Untungnya sikap dinginku itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena aku tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah. Jadi tidak sedikit pun ada kesan sombong yang kutampakkan, dan memang aku bukan orang seperti itu. Aku bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segala-galanya, lalu menyombongkan diri. Apalagi, alasanku cukup meyakinkan, aku harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, medali bintang pelajar tetap bisa kupertahankan. “Ly, boleh kan aku curhat ke kamu?” Belum juga kuiyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama-papanya, yang sedang kacau. “Di rumah nggak ada kedamaian, Ly! Kamu mungkin nggak tahu, aku ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Aku orang Jakarta asli. Rumahku di Pondok Indah. Aku ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!” Aku mungkin terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitarku. Tanpa kusadari, Imah butuh teman dan selama ini aku lebih akrab dengaan diriku sendiri, dengan permasalahanku sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya padaku. Aku terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkanku bahwa semua orang punya masalah. Aku ingin meraih pundak Imah, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan namaku. Aku dapat telpon dari Denny. “Denny siapa, Ly!” “Denny bintang sinetron itu,” ucapku santai. “Dia nelpon kamu?” tanyanya heran. Aku mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku memang tak pernah cerita tentang Denny. Aku masih lebih suka menyimpannya sendiri, dan menyimpannya sebagai semangat untukku. “Ada perlu apa Denny nelpon kamu?” tanyanya saat aku pulang dari menerima telepon. “Dia ngajak aku buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!” “Kalian akrab?” Imah semakin bingung. Akrab? Aku juga bingung mau jawab apa. Haruskah aku jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Imah baru saja menceritakan masalahnya untukku, kini giliranku. “Denny itu saudara sepupuku….” Mata Imah terbelalak. Terlebih saat ceritaku berlanjut tentang Mama Denny, tanteku, adik ibuku! Yang seolah tak ingin memandang ke arahku. Mama yang berkunjung ke rumahnya, disangkanya buat ngutang karena tiba saatnya untuk bayar uang sekolahku. Aku yang berkunjung ke sana, dipikirnya minta baju bekas yang mungkin sudah tak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka. “Tapi kok, Denny dan adiknya menelpon kamu untuk menemaninya belanja?” “Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.” Bukan sekali aku diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat kutemani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untukku, meskipun sebenarnya aku tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, aku terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untukku. “Tapi kenapa kamu mau menyimpan foto Denny dalam dompetmu?” Bukan untuk kubanggakan, bahwa aku ini sepupunya. Tapi untuk memberiku semangat. Setiap melihat fotonya, aku selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Aku tak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Aku harus mengangkat diriku sendiri! Aku yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, tidak harus dengan menjadi selebritis. Imah manggut-manggut. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamarku. Tapi tak lama kemudian, dia datang lagi. “Aku pamit dulu, Ly! Aku tiba-tiba rindu pada Mama dan Papaku. Aku nggak boleh lari dari masalah. Aku harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Aku bangga pada kamu, Lily. Aku mengidolakanmu!” ucapnya dalam pelukku. Menangis! Aku ikut menangis. Mungkin aku telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untukku. Kusimpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!*** lanjutan cerita......24.10.12
BAHASA STICKER, BAHASA NGE-STRIKE
Diposting oleh Gegge di 16.37 1 komentar
24.4.12
Lontara Rindu
Rindu adalah gelisah yang gulana. Mata bisa memejam tapi tanpa lena. Vito, remaja SMP, terpaksa harus patuh pada luka rindu pada ayah dan saudara kembarnya, Vino.
Cinta itu medan pertempuran. Medan laga yang kobaran apinya maha dahsyat. Halimah yang merasa tangguh untuk pertempuran itu, memilih silariang ketika cintanya pada Ilham tak mendapat restu. Benarkah Halimah tangguh untuk sebuah medan laga yang disebut cinta? Atau dia harus takluk di depan luka?
Guru bukan hanya berdiri di depan kelas. Tapi hadir di hati anak didik. Ketika kehadiran Pak Guru Amin dirindukan oleh siswanya, luka tiba-tiba datang bertandang karena Pak Amin dianggap menyebarkan fanatisme agama pada siswanya. Dia dan kesembilan siswanya di sebuah sekolah di daerah pegunungan di Sidrap, harus dipisah.
Bukan hanya air mata, tawa pun akan berderai di Lontara Rindu (Pemenang I Lomba Novel Republika 2011).
Diposting oleh Gegge di 08.02 15 komentar